Hari ini 10 Desember satu tahun lalu adalah hari perdana
kajian keilmuan pelajar Indonesia di Ankara. Kajian yang kami sepakati bernama
Gema Ilmiah Ankara (GIA) dilakukan setiap sabtu dua pekan sekali di kantor
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Pada kajian perdana itu saya memaparkan tentang Jurnalistik
Dasar. Saat itu memang tidak terlalu banyak yang datang untuk berdiskusi, hanya
belasan pelajar saja. Tapi berjalannya waktu, bertambah pula anggota yang
datang untuk kajian ini. Hingga Sabtu 8 Desember kemarin ruang lantai 4 KBRI
itu dipenuhi peserta diskusi hingga mencapai 50 orang lebih.
Berdirinya GIA ini awalnya dari obrolan ringan antara saya,
Baiquni dan Ahmad Faris. Saat itu kami merasa sebagai pelajar tidak lengkap
jika tidak ada diskusi diantara kami. Diskusi bagi kami, selain bercengkrama
dengan ilmu pengetahuan juga dapat menambah kehangatan pertemanan dan
persaudaraan diantara para pelajar.
Dari obrolan itu disepakati siapa yang memaparkan kajian
untuk perdana, siapa yang mengundang peserta kajian dan siapa yang meminta ijin
untuk tempat diskusi. Kami bertiga berbagi tugas. Saya menjadi pemateri pertama
dan yang lainnya menyiapkan semuanya.
Dalam kajian perdana itu kami paparkan tentang keinginan
kami akan adanya ruang diskusi bersama yang egaliter. Diskusi ilmiah yang tidak
kaku, tidak formal. Kami ingin kajian yang kami lakukan ini berbentuk pemaparan
yang dibingkai dalam bahasa yang lebih populer tanpa mengurangi inti dari
sebuah kajian yang dipaparkan.
Kajian Perdana GIA |
Dan saat itu kami sepakati wadah kajian ini bernama GIA
sekaligus memilih siapa saja yang menjadi koordinator dan struktur lainnya yang
dianggap perlu. Terpilihlah Chani, mahasiswi Hubungan Internasional di
Universitas Bilkent sebagai koordinatornya yang dibantu juga oleh Putri,
Husein, Juli dan lainnya.
Putri, Husein dan Juli sudah tidak aktif lagi pada semester
ini. Putri dan Juli mendapat beasiswa Erasmus selama enam bulan di Belanda,
sementara Husein sudah lulus kuliah. Semester depan bagian Chani yang akan
berangkat ke Belanda juga dengan beasiswa Erasmus selama satu semester.
Meski begitu, tidak ada kata patah semangat meski sudah
bergani pengurus. Sebab organisasi kajian ini diberdayakan layaknya
kekeluargaan. Semuanya saling mengisi dan membantu. Agar kajian ini berjalan
dengan lebih seru, kami semuanya sepakat untuk mengumpulkan dana sebanyak 1 TL
(Rp. 5 ribu) dari setiap peserta pada setiap pertemuan.
Dana itu digunakan untuk membeli makanan dan minuman yang
disajikan saat kajian berlangsung. Ada satu makanan yang selalu menyertai
diskusi kami yaitu cekirdek alias kwaci. Saya juga termasuk penyuka cekirdek
ini. Makannya awet tapi tidak membuat kenyang, hehehe.
Setelah berjalan sekitar tiga bulan, kajian kami mulai
terdengar. Ibu-ibu KBRI Ankara yang biasa melakukan pengajian dan kajian Islam
juga ada yang tertarik untuk mengikuti acara kajian GIA. Tapi lebih dari itu,
ibu-ibu itu juga dengan sukarela memberikan makanan masakan Indonesia yang
disajikan setelah kajian.
Pemberian makanan Indonesia ini sebenarnya bukan tujuan
utama kami. Tujuan kami adalah adanya tempat belajar bersama. Menuntut ilmu.
Bahwa kemudian ada pemberian makanan itu hanya sebagai hadiah untuk kami para
pelajar yang jarang merasakan masakan Indonesia di Turki ini.
Harapan kami GIA tidak hanya berjalan dalam satu tahun saja tapi terus berlangsung hingga kapan pun. Hingga suatu saat GIA tidak hanya menginspirasi mahasiswa Indonesia di Turki tetapi juga mampu menjadi solusi bagi Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar