Setelah Winter, panitia penjemput peserta SI PPI
Dunia 2012, memesankan taksi untuk kami, taksi hitam yang kami tumpangi
meluncur ke tempat penginapan dekat kampus Universitas Jawaharlal Nehru. Mata kami
langsung melihat alam sekitar New Delhi. Ada beberapa orang yang duduk beristirahat
di atas rumput taman kota. Jalanan dari bandara Indira Gandhi masih bersih dan
lapang hingga kami sampai pada jalan yang penuh dengan kendaraan. Macet.
Seperti Jakarta yang doyan macet, begitu pun New Delhi.
Kendaraan-kendaraan tua banyak menghiasi jalan-jalan di ibukota India itu. Agar
tidak stress dengan macet saya mencoba mencairkan suasana dengan bertanya pada
sopir taksi itu. Rahul nama sopir taksi kami. Ia katakan bahwa New Delhi sudah
terbiasa dengan kemacetan.
Rahul tahu bagaimana menyimpan stress karena macet
dan mengubahnya menjadi sebuah hiburan. Ia menyalakan musik India dan mulai
berdendang. Tangannya bergerak seirama alunan lagu dengan memukul setir mobil
seperti halnya pemain musik yang memukul kendang. Kepalanya bergoyang ke kanan dan
ke kiri.
Kami yang berada di belakang Rahul senyum-senyum
melihat tingkah laku sopir taksi hitam tua ini. Dan saya menyeletuk, “Kita kok kayak
syuting film India saja.” Sontak kami tertawa bersama. Hahaha.
Tapi di pertengahan kemacetan Rahul melihat alamat
yang diberikan oleh Winter. Rahul mengernyitkan dahi, tanda ia tak mengenal
alamat itu. Ia turunkan kaca mobil dan bertanya kepada sopir mobil yang berada
persis di sampingnya. Si sopir tetangga menggeleng kepala khas India tanda ia
pun tak tahu alamat itu.
Rambut Rahul yang mengkilap dan tersisir rapi itu
menandakan ia percaya diri. Meski ia terlihat ragu dengan alamat yang kami
tuju, namun ia tetap maju dan tak berhenti kecuali terjebak macet dan lampu
merah. Bahkan Rahul pun lihai dalam menyetir. Si hitam yang kami tumpangi ini
hampir menyerempet mobil. Sangat tipis. Jaraknya hanya berkisar tiga
sentimeter. Dan kami pun selamat sampai tujuan.
Setelah kami membayar taksi sebesar 600 rupe alias
Rp 120 ribu (1 rupe samadengan Rp.200), Rahul menurunkan barang-barang bawaan
kami. Ia sempat meminta tips tambahan. Tapi kami membayar sesuai perjanjian
awal. Taksi yang kami tumpang itu sangat sederhana dan sudah tua, tak mimiliki
argo dan tak ber-ac. Dan kami baru tersadar kalau taksi yang kami tumpangi itu tak
berspion!
Pantas saja Rahul tenang saat menyalip mobil. Ia tak
takut spionnya patah, karena memang tak memiliki spion. Dan tak takut mobilnya
lecet karena memang mobilnya sudah tua. Dan mungkin banyak sopir di India
seperti Rahul yang tidak pernah stress dengan kemacetan dan lebih memilih
hiburan dengan musik India.
Rupanya polisi India tidak pernah mempermasalahkan
tentang mobil yang tak berspion. Bahkan menurut teman kami, Rahma Nita, panitia
dan alumnus S3 di India, setiap orang yang akan membeli mobil di India ditanya,
apakah ia mau memakai spion atau tidak.
Para pemilik mobil yang tak berspion lebih memilih
menggunakan cermin yang menggantung di dalam mobil untuk melihat kendaraan yang
berada di belakangnya. Di jalan kami juga melihat mobil yang berspion tapi
tidak digunakan dengan baik sebab spion itu ditekuk dan tidak terlihat
cerminnya. Jadi jangan aneh jika anda melihat mobil-mobil di India yang tak
berspion.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar