Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Selasa, 27 Agustus 2024

Jaga Kata-katamu Jika Kamu Mau Selamat

Belakang ini ada sebuah tranding topic pembicaraan tentang twit twit lama yang naik lagi ke permukaan dari salah seorang kandidat kepala daerah. Pasalnya cuitan ini tidak menguntungkan bagi si kandidat, malah justru melemahkannya. Maka saya ingat pelajaran Mahfudzat dulu bahwa:

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

"Keselamatan Manusia dalam Penjagaan Lisannya"

Di era digital dan media sosial yang berkembang pesat, menjaga lisan atau kata-kata yang kita ucapkan dan tuliskan menjadi semakin penting. Lisan, dalam hal ini, tidak hanya merujuk pada apa yang kita katakan secara langsung, tetapi juga mencakup apa yang kita tulis di media sosial, pesan teks, dan platform digital lainnya. Kemampuan untuk mengendalikan lisan adalah salah satu aspek penting dari keselamatan manusia, baik secara pribadi maupun dalam hubungan sosial dan profesional.

Di dunia digital, setiap kata yang diucapkan atau dituliskan dapat memiliki dampak yang luas dan tahan lama. Pesan yang salah atau kurang bijaksana dapat dengan mudah disebarluaskan dan diterima oleh ribuan, bahkan jutaan orang dalam hitungan detik. 

Apa yang kita katakan atau tulis secara online dapat memengaruhi bagaimana orang lain melihat kita. Sebuah komentar yang tidak pantas atau salah dapat merusak reputasi seseorang dan bahkan mengancam karier mereka.
  
Lisan yang tidak terjaga dapat merusak hubungan sosial, baik dengan teman, keluarga, atau rekan kerja. Misunderstanding atau komentar yang tidak sensitif dapat menimbulkan konflik yang sulit diperbaiki.

Di beberapa negara, kata-kata yang diucapkan atau dituliskan di dunia digital dapat memiliki konsekuensi hukum. Misalnya, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau penyebaran informasi palsu dapat membawa pelakunya ke ranah hukum. 

Media sosial memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk mengekspresikan diri, tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam menjaga lisan di media sosial antara lain:

Anonimitas di internet sering kali membuat orang merasa aman untuk mengatakan hal-hal yang tidak akan mereka ucapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti bullying, trolling, atau penyebaran ujaran kebencian.

Media sosial mendorong pengguna untuk bereaksi dengan cepat terhadap suatu peristiwa atau isu. Namun, reaksi yang terburu-buru sering kali menghasilkan pernyataan yang kurang dipikirkan dan dapat menimbulkan masalah.

Komunikasi digital sering kali kurang dalam konteks non-verbal seperti ekspresi wajah dan nada suara, yang dapat menyebabkan salah pengertian dan interpretasi yang salah.

Menjaga lisan di era digital membutuhkan kesadaran dan disiplin. Sebelum mengirimkan pesan atau membuat posting, pikirkan terlebih dahulu dampak dari kata-kata tersebut. Apakah kata-kata itu bisa disalahpahami? Apakah ada kemungkinan menyinggung perasaan orang lain?

Jangan menulis atau berkomentar saat marah atau emosi. Tindakan yang diambil saat emosi sering kali tidak bijaksana dan dapat berakibat buruk.

Jangan menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hoaks dan ujaran kebencian hanya akan merugikan orang lain dan diri sendiri.

Berhati-hatilah dalam membagikan informasi pribadi di media sosial. Kata-kata yang tidak sengaja atau informasi pribadi yang dibagikan bisa saja disalahgunakan.

Penjagaan lisan di era digital dan media sosial adalah aspek penting dalam menjaga keselamatan manusia. Dengan perkembangan teknologi dan kebebasan berekspresi yang semakin luas, tanggung jawab untuk mengendalikan apa yang kita katakan dan tuliskan semakin besar. Dengan berpikir sebelum berbicara, mengendalikan emosi, dan selalu mempertimbangkan dampak dari setiap kata, kita dapat menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial, melindungi reputasi pribadi, dan menghindari konflik atau masalah hukum yang tidak perlu. Menjaga lisan adalah salah satu kunci untuk keselamatan dan kesejahteraan di dunia digital yang kompleks ini.

Selesaikan Tugasmu Sebaik-baiknya



Dulu, ketika saya merasa berat untuk menulis tesis di Universitas Ankara Turki, Ibuku bilang, "selesaikan tugasmu dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada yang kamu kejar, kecuali belajar." Kalimat ini menjadi jimat ketika semangat berkurang. Maka saya berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan tugas sebaik baiknya, karena ini juga bagian dari pelajaran Mahfudzat di Gontor, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ. Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan ini dengan selesai tuntas dikerjakan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan pada berbagai macam pekerjaan dan tanggung jawab. Baik dalam konteks profesional maupun pribadi, pekerjaan selalu ada untuk diselesaikan. Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada melakukan pekerjaan itu sendiri, tetapi juga bagaimana kita menyelesaikannya dengan baik. Sebuah pekerjaan tanpa penyelesaian tidak hanya berarti waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia, tetapi juga bisa berdampak negatif pada hasil akhir yang kita harapkan.

Penyelesaian adalah bagian krusial dari setiap pekerjaan. Tanpa penyelesaian, sebuah tugas atau proyek hanya akan menjadi sekumpulan upaya yang tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Menyelesaikan pekerjaan bukan hanya tentang "menyelesaikan tugas," tetapi juga memastikan bahwa setiap bagian dari pekerjaan tersebut mencapai standar kualitas yang diharapkan. Ketika sebuah pekerjaan selesai dengan baik, hasilnya dapat memberikan dampak yang signifikan, baik itu dalam bentuk kepuasan pribadi, pengakuan profesional, atau hasil konkret yang diinginkan.

Setiap pekerjaan memiliki tantangannya sendiri, dan untuk menyelesaikannya dengan sukses, diperlukan strategi yang tepat. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa membantu:

Perencanaan yang Matang: Sebelum memulai pekerjaan, sangat penting untuk merencanakan langkah-langkah yang akan diambil. Perencanaan yang baik membantu mengidentifikasi tujuan, alur kerja, sumber daya yang dibutuhkan, dan potensi hambatan yang mungkin muncul.

Prioritas dan Manajemen Waktu: Setiap pekerjaan harus diprioritaskan berdasarkan urgensi dan dampaknya. Manajemen waktu yang efektif akan memastikan bahwa pekerjaan selesai tepat waktu tanpa mengorbankan kualitas.

Pemecahan Masalah: Tidak jarang dalam proses penyelesaian pekerjaan, kita dihadapkan pada masalah atau hambatan. Kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif adalah kunci untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Ini melibatkan kemampuan untuk berpikir kritis, mencari solusi alternatif, dan tetap tenang di bawah tekanan.

Kolaborasi dan Komunikasi: Banyak pekerjaan yang membutuhkan kerja sama dengan orang lain. Komunikasi yang jelas dan kolaborasi yang baik akan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki pemahaman yang sama dan bekerja menuju tujuan yang sama.

Evaluasi dan Penyesuaian: Setelah pekerjaan selesai, evaluasi sangat penting untuk melihat apa yang berhasil dan apa yang tidak. Ini memungkinkan untuk melakukan penyesuaian di masa depan dan terus meningkatkan cara kita bekerja.

Menyelesaikan pekerjaan dengan baik memiliki banyak manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari segi profesional, penyelesaian yang efektif dapat meningkatkan reputasi, membuka peluang karir, dan memberikan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan. Dari segi pribadi, ini memberikan rasa pencapaian dan kebanggaan diri.

Di tingkat organisasi, penyelesaian tugas dengan baik berkontribusi pada keberhasilan keseluruhan tim dan perusahaan. Pekerjaan yang diselesaikan tepat waktu dan dengan kualitas tinggi membantu mencapai tujuan organisasi, meningkatkan efisiensi, dan mendukung budaya kerja yang positif.

Konsistensi adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan tidak hanya selesai, tetapi juga diselesaikan dengan standar yang tinggi. Konsistensi dalam penyelesaian pekerjaan mencerminkan komitmen terhadap kualitas dan profesionalisme. Ini membangun kepercayaan baik dari rekan kerja, atasan, maupun klien.

Seringkali, kita dihadapkan pada hambatan yang dapat menghalangi penyelesaian pekerjaan. Ini bisa berupa kurangnya motivasi, gangguan dari luar, atau bahkan ketidakpastian dalam langkah-langkah yang harus diambil. Untuk mengatasi ini, penting untuk tetap fokus pada tujuan akhir, mencari bantuan jika diperlukan, dan tetap fleksibel dalam menghadapi perubahan atau tantangan yang muncul.

Setiap pekerjaan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk belajar, berkembang, dan memberikan kontribusi yang berarti. Namun, nilai sebenarnya dari pekerjaan terletak pada penyelesaiannya. Dengan perencanaan yang baik, prioritas yang jelas, kemampuan memecahkan masalah, dan konsistensi, setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan membawa dampak positif yang signifikan. Penyelesaian yang efektif bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi tentang bagaimana kita memastikan bahwa hasilnya memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang kita tetapkan sejak awal. Dengan demikian, kita tidak hanya bekerja untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga untuk mencapai hasil yang berkualitas dan bermakna.

Senin, 26 Agustus 2024

"Mustahil bukanlah fakta. Ia adalah pendapat,"


Ungkapan "Mustahil bukanlah fakta. Ia adalah pendapat," yang diucapkan oleh Muhammad Ali, adalah sebuah pernyataan yang mendalam dan menggugah, menggambarkan keyakinannya terhadap kemampuan manusia untuk melampaui batasan yang dipersepsikan. Ali, seorang petinju legendaris yang dikenal bukan hanya karena keterampilannya di ring, tetapi juga karena kepribadian dan pandangannya yang berani, menggunakan kalimat ini untuk menantang pandangan konvensional tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin. 

Pada intinya, Ali ingin menegaskan bahwa batasan-batasan yang sering kita anggap sebagai 'mustahil' sebenarnya hanyalah konstruksi mental yang kita buat sendiri. Kita sering kali terbatas bukan oleh kenyataan yang ada di depan kita, melainkan oleh cara kita melihat kenyataan itu. Bagi Ali, "mustahil" bukanlah kenyataan objektif yang tidak bisa diubah, melainkan sebuah opini atau persepsi yang dapat kita tantang dan ubah.

Dalam kalimat ini, Ali membuat perbedaan yang tajam antara fakta dan pendapat. Fakta adalah sesuatu yang objektif dan tak terbantahkan, misalnya, matahari terbit dari timur setiap hari. Namun, "mustahil" bukanlah sebuah fakta seperti itu; ia adalah sebuah opini yang didasarkan pada pemahaman, pengetahuan, dan kepercayaan seseorang pada saat tertentu. Opini ini bisa berubah, terutama ketika seseorang memiliki tekad untuk mengubah keadaan.

Karir Muhammad Ali adalah bukti nyata dari keyakinannya ini. Banyak yang menganggap mustahil bagi seorang pria kulit hitam pada zamannya untuk mencapai kesuksesan dan pengaruh yang ia capai, terutama dalam dunia yang sarat dengan rasisme dan ketidaksetaraan. Ali menghadapi tantangan yang tampaknya mustahil, baik di dalam maupun di luar ring. Ketika ia pertama kali mengumumkan dirinya sebagai yang "terbesar," banyak orang yang meremehkannya, menganggap pernyataannya sebagai kesombongan. Namun, Ali tidak melihat batasan-batasan ini sebagai fakta yang tak terbantahkan. Ia melihatnya sebagai pendapat yang bisa dia tantang dan buktikan salah. 

Pesan ini juga relevan bagi kita semua. Ketika kita dihadapkan pada rintangan yang tampaknya tidak dapat diatasi, kita sering kali dengan cepat menganggapnya sebagai mustahil. Namun, jika kita mendekati tantangan dengan pola pikir bahwa "mustahil" hanya sebuah opini, kita membuka diri kita pada kemungkinan untuk berhasil. Misalnya, ketika seseorang berusaha mencapai tujuan yang sangat ambisius—seperti memulai bisnis dari nol, menaklukkan rintangan fisik, atau mengubah kebiasaan hidup yang buruk—ada banyak yang mungkin mengatakan bahwa itu mustahil. Namun, jika kita memandang ini sebagai pendapat, bukan fakta, kita bisa termotivasi untuk mencari jalan dan strategi baru yang pada akhirnya bisa membuat yang mustahil menjadi mungkin.

Ungkapan Muhammad Ali ini mengajarkan kita untuk tidak membiarkan batasan-batasan mental menghalangi kita. Dengan keyakinan yang kuat, tekad, dan keberanian untuk terus berusaha, kita bisa membuktikan bahwa apa yang dianggap mustahil hanyalah pendapat yang bisa diubah. Ali adalah contoh hidup dari filosofi ini, dan warisannya terus menginspirasi banyak orang untuk menantang apa yang mereka anggap tidak mungkin.

Jangan Jadi Kambing



Salah satu pesan yang masih kita ingat di Gontor adalah "Jangan jadi kambing," kata Kyai Kami, Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.

Jangan jadi kambing. Kambing mungkin memiliki kehidupan yang tampaknya nyaman: mereka memiliki kandang untuk berlindung, makanan yang cukup untuk dimakan, dan kemampuan untuk berkembang biak. Dari sudut pandang ini, hidup mereka tampak mirip dengan manusia. Mereka memenuhi kebutuhan dasar mereka, memiliki tempat tinggal, makanan, dan meneruskan keturunan. Namun, di sinilah letak perbedaannya—manusia tidak boleh menjalani hidup seperti kambing.

Sebagai manusia, kita memiliki kapasitas untuk berpikir, bermimpi, dan meraih sesuatu yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Manusia dilahirkan dengan potensi yang jauh lebih besar daripada sekadar makan, tidur, dan berkembang biak. Kita memiliki akal budi yang memungkinkan kita untuk merenung, berinovasi, menciptakan, dan membangun sesuatu yang memiliki dampak jauh melampaui kehidupan kita sendiri. Kita memiliki hati nurani yang memandu kita untuk bertindak dengan moral dan etika, untuk peduli terhadap sesama, dan untuk menjalani hidup dengan tujuan yang lebih tinggi.

Menjadi manusia berarti mengambil tanggung jawab atas hidup kita, untuk tidak sekadar mengikuti naluri dasar atau rutinitas yang monoton. Kita diajak untuk hidup dengan kesadaran penuh, untuk menemukan makna dan tujuan di balik tindakan kita, dan untuk berkontribusi kepada dunia di sekitar kita. Kehidupan yang hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik tanpa memikirkan tujuan yang lebih besar adalah kehidupan yang terbuang sia-sia.

Kambing hidup dengan mengikuti naluri, tanpa visi, tanpa impian, dan tanpa ambisi. Mereka menerima hidup apa adanya, terikat pada siklus dasar kelangsungan hidup. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan hidupnya, untuk menentukan takdirnya sendiri, dan untuk berusaha mencapai sesuatu yang lebih dari sekadar eksistensi. Kita dipanggil untuk hidup dengan semangat, untuk mengejar mimpi, dan untuk meninggalkan jejak yang bermakna di dunia ini.

Maka dari itu, jangan biarkan diri kita terjebak dalam kehidupan yang serba monoton dan terbatas seperti kambing. Jangan hanya puas dengan kenyamanan atau rutinitas sehari-hari. Manusia tidak boleh hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Kita harus terus mencari, belajar, dan berkembang. Kita harus menjalani hidup dengan semangat yang membara, selalu mencari cara untuk membuat dunia ini lebih baik, untuk menciptakan sesuatu yang akan dikenang, dan untuk menjalani hidup dengan penuh makna.

Menjadi manusia berarti lebih dari sekadar bertahan hidup—ini tentang mencapai potensi penuh kita, tentang menjalani hidup dengan integritas, semangat, dan tekad untuk membuat perbedaan. Jangan jadi kambing; jadilah manusia yang seutuhnya, yang hidup dengan tujuan dan makna, yang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.

Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan dapat apa-apa, maka ia tidak bisa apa-apa, dan akhirnya tidak akan jadi apa-apa.



Orang yang tidak memiliki keinginan atau ambisi dalam hidup, tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka yang tidak berani bermimpi atau mengambil langkah untuk mencapai sesuatu, pada akhirnya akan terjebak dalam keterbatasan diri mereka sendiri. Tanpa keinginan, seseorang tidak akan memiliki dorongan untuk bertindak atau belajar. Tanpa tindakan, mereka tidak akan pernah mengembangkan keterampilan atau kemampuan. Dan tanpa kemampuan, mereka tidak akan pernah mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup.

Keberhasilan tidak datang dengan sendirinya; ia memerlukan usaha, tekad, dan keyakinan bahwa apa yang kita inginkan dapat dicapai. Namun, ketika seseorang memilih untuk tidak menginginkan apa pun, mereka secara otomatis menutup pintu terhadap semua kemungkinan. Hidup mereka menjadi stagnan, terhenti di satu titik tanpa perkembangan atau pencapaian. Mereka mungkin akan merasa nyaman dalam zona aman, tetapi kenyamanan ini hanya sementara dan sering kali berujung pada penyesalan.

Lebih dari itu, tanpa keinginan atau tujuan, seseorang kehilangan arah dalam hidup. Mereka tidak memiliki sesuatu untuk dikejar, tidak ada alasan untuk berkembang, dan akhirnya mereka hanya mengapung di arus kehidupan tanpa arah yang jelas. Dan ketika hari-hari berlalu tanpa perubahan atau pertumbuhan, mereka akan menyadari bahwa mereka telah kehilangan banyak peluang.

Pada akhirnya, orang yang tidak mau apa-apa tidak akan menjadi apa-apa. Mereka tidak akan dikenal karena prestasi mereka, karena tidak ada yang mereka perjuangkan. Mereka tidak akan meninggalkan warisan atau dampak yang berarti, karena mereka tidak pernah mengambil langkah untuk membuat perbedaan. Hidup mereka mungkin tenang, tetapi tidak penuh; mereka mungkin tidak menghadapi banyak kegagalan, tetapi juga tidak pernah merasakan manisnya kesuksesan.

Maka dari itu, penting bagi setiap orang untuk memiliki keinginan, untuk bermimpi, dan untuk berusaha mewujudkannya. Keinginan adalah api yang menggerakkan kita menuju tujuan, dan dengan usaha serta ketekunan, kita dapat meraih apa yang kita inginkan, mengembangkan diri menjadi lebih baik, dan pada akhirnya, menjadi seseorang yang berarti.

Ini adalah penafsiran dari apa yang disampaikan Almarhum Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA "Orang yang tidak mau apa-apa, tidak akan dapat apa-apa, maka ia tidak bisa apa-apa, dan akhirnya tidak akan jadi apa-apa."

Sabtu, 24 Agustus 2024

Kopi Pahit di Wailela

Di pinggir pantai Wailela, sebuah kafe kecil berdiri dengan tenang. Suara ombak yang bergulung-gulung menjadi latar belakang yang sempurna untuk sebuah pertemuan yang telah lama dinanti. Beta duduk di sudut kafe, menatap secangkir kopi pahit di depannya yang sudah mulai mendingin. Di luar jendela, matahari perlahan-lahan tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah.

Beta telah menunggu Aprilia, perempuan yang selalu hadir di pikirannya sejak pertemuan pertama mereka. Hari ini seharusnya menjadi hari istimewa—hari di mana mereka akan bertemu kembali setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Namun, waktu terus berjalan, dan Aprilia belum juga datang.

Secangkir kopi yang semula hangat kini telah dingin. Beta menatap cangkir itu dengan perasaan campur aduk. Kopi pahit ini menjadi lambang dari harapan yang perlahan-lahan mulai memudar, seiring detik yang terus berdetak. Di setiap suara gesekan pintu kafe yang terbuka, Beta selalu berharap melihat Aprilia masuk dengan senyuman hangatnya, namun harapan itu pupus setiap kali melihat bahwa itu hanya pengunjung lain.

"Apakah dia akan datang?" pikir Beta. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menerpa pantai. Semua kenangan bersama Aprilia kembali membanjiri pikirannya—senyumnya, tawa ringannya, cara bicaranya yang selalu tenang namun penuh makna. Beta merindukan semua itu, dan hari ini seharusnya menjadi momen di mana semua kenangan itu bisa kembali hidup.

Namun, hari semakin gelap, dan kafe mulai sepi. Satu per satu pengunjung pergi, meninggalkan Beta sendiri dengan secangkir kopi yang semakin dingin. Beta menghela napas, lalu menyesap kopi itu. Rasanya pahit, tidak lagi menyisakan kehangatan yang bisa menghibur hati. Sama seperti hatinya yang mulai merasa kosong.

Mungkin Aprilia memang tidak akan datang. Mungkin ada sesuatu yang menghalanginya, atau mungkin dia telah melupakan janji mereka. Beta menatap laut yang tenang, mencari ketenangan di balik ketidakpastian ini. 

Waktu terus berlalu, dan akhirnya Beta memutuskan untuk berdiri. Ia meninggalkan beberapa lembar uang di meja, lalu berjalan keluar dari kafe. Langit kini berwarna biru gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang mulai bermunculan. Dengan langkah yang perlahan, Beta meninggalkan kafe pinggir pantai itu, dengan hati yang sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Namun di dalam hati kecilnya, Beta masih menyimpan harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, di tempat yang berbeda atau waktu yang lain, mereka akan bertemu kembali. Dan mungkin saat itu, kopi yang dinikmati tidak akan lagi menjadi dingin.

Sabtu, 17 Agustus 2024

Lelaki Berbaju Hitam di Kampus Inha University



Di kampus Inha University, Incheon, ada seorang lelaki yang dikenal dengan penampilannya yang mencolok. Namanya adalah Joon-suk, dan ia selalu terlihat dengan baju hitam, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari jauh, ia tampak seperti sosok misterius yang sulit didekati, seakan-akan ia membatasi jarak antara dirinya dan orang lain dengan aura dingin yang mengelilinginya.

Joon-suk dikenal sebagai mahasiswa yang sangat cerdas dan berbakat, tetapi juga terkenal karena sifatnya yang sulit ditaklukkan. Ia jarang berbicara, jarang tersenyum, dan sering kali mengabaikan keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Banyak yang bertanya-tanya tentang alasan di balik sikapnya yang misterius itu, tetapi tidak ada yang berhasil menguak rahasianya.

Segalanya berubah ketika Merve, seorang mahasiswi asal Turki, tiba di kampus Inha University untuk program pertukaran pelajar. Merve adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan selalu tersenyum pada setiap kesempatan. Keduanya bertemu untuk pertama kalinya di ruang perpustakaan saat Merve kebingungan mencari buku referensi untuk tugasnya.

“Apakah kamu bisa membantuku mencari buku ini?” tanya Merve dengan aksen Turki yang kental, sambil menunjukkan daftar buku di tangannya.

Joon-suk yang kebetulan berada di dekat rak buku, menoleh sejenak. Ia melihat ekspresi frustasi Merve dan tanpa berkata sepatah kata pun, ia berdiri dan mengambil buku yang dicari Merve dari rak.

Merve sangat berterima kasih. “Terima kasih banyak! Aku benar-benar tidak tahu harus mencari ke mana.”

Joon-suk hanya mengangguk dan kembali ke mejanya. Namun, Merve merasa ada sesuatu yang berbeda tentang lelaki itu dan penasaran. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang lebih.

Hari demi hari, Merve terus berusaha untuk mengenal Joon-suk. Ia sering kali mencoba mengajaknya berbicara, membawakan makanan khas Turki, atau sekadar menyapa. Joon-suk awalnya tetap menjaga jarak, tetapi perlahan-lahan ia mulai merespons sapaan Merve dengan sedikit senyum.

Suatu sore, saat hujan turun deras di luar, Merve terlihat kedinginan di halte bus. Joon-suk kebetulan lewat dan melihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri Merve dan menawarkan payungnya.

“Kenapa kamu masih di sini? Bus bisa datang kapan saja,” ujar Joon-suk dengan nada lembut yang jarang terdengar dari mulutnya.

Merve menatapnya dengan kejutan dan rasa terima kasih. “Aku hanya menunggu bus berikutnya. Terima kasih banyak.”

Hari-hari berikutnya, Joon-suk mulai lebih terbuka. Ia mulai membantu Merve dengan tugas-tugasnya, dan perlahan-lahan, Merve melihat perubahan yang signifikan dalam diri Joon-suk. Ia tidak lagi terlihat dingin dan tertutup; sebaliknya, Joon-suk menjadi lebih hangat dan peduli.

Suatu malam, saat mereka duduk bersama di kafe kampus setelah menghadiri acara budaya Turki yang Merve selenggarakan, Joon-suk membuka percakapan dengan lebih mendalam.

“Merve, aku ingin berterima kasih. Kamu telah mengubah banyak hal dalam hidupku,” katanya sambil memandang mata Merve yang penuh rasa ingin tahu.

Merve tersenyum. “Aku hanya menjadi diriku sendiri. Aku senang bisa membantu.”

Joon-suk mengangguk. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku sebelum kamu datang. Sekarang aku merasa lebih baik. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk berubah.”

Merve hanya bisa tersenyum bahagia, melihat lelaki berbaju hitam yang dulu dingin dan sulit didekati kini telah berubah menjadi seseorang yang penuh perhatian dan peduli. Mereka terus berinteraksi dan menjalin persahabatan yang mendalam, dan Joon-suk menemukan bahwa cinta dan perhatian Merve telah membuka hatinya, menjadikannya pribadi yang lebih baik dan lebih bahagia.

Pertemuan Tak Terduga di Masjid Itaewon Seoul



Misbah menghela napas panjang ketika ia melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Itaewon. Udara musim gugur Seoul yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma dedaunan yang mulai berguguran. Ia baru saja menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dan merasa perlu menenangkan pikiran. Masjid Itaewon, tempat yang sering ia kunjungi sejak tiba di Korea untuk program pertukaran pelajar, adalah tujuan utamanya hari itu. Di sana, ia selalu merasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota yang sibuk.

Masjid Itaewon tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebagai satu-satunya masjid besar di Seoul, tempat ini menjadi pusat bagi komunitas Muslim dari berbagai negara yang tinggal di Korea. Misbah menyukai keberagaman itu, karena selalu mengingatkannya pada rumahnya di Indonesia, di mana perbedaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Ketika Misbah memasuki area wudhu, ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang akan mengubah hari-harinya ke depan. Di sudut ruangan, seorang wanita muda berkerudung sedang membasuh tangannya dengan air dingin. Matanya yang sipit dan kulitnya yang pucat menunjukkan bahwa ia adalah orang Korea, tetapi kerudung yang dikenakannya mengundang tanya di benak Misbah.

Setelah selesai berwudhu, Misbah dan wanita itu secara bersamaan menuju ruang shalat. Mereka saling bertukar senyum singkat sebelum keduanya tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Usai shalat, mereka saling menatap sejenak, dan Misbah memutuskan untuk menyapa lebih dulu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Misbah dengan senyum hangat.

“Wa’alaikumsalam,” jawab wanita itu dengan sedikit ragu, tetapi tetap tersenyum. 

“Apakah kamu orang Korea?” tanya Misbah dengan nada ramah.

Wanita itu mengangguk pelan. “Ya, namaku Jiyun. Aku baru saja menjadi mualaf beberapa bulan yang lalu,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Korea yang kental.

Misbah merasa kagum sekaligus penasaran. “Namaku Misbah. Aku dari Indonesia, dan sedang belajar di sini selama satu semester. Senang bertemu denganmu, Jiyun.”

“Senang bertemu denganmu juga, Misbah,” jawab Jiyun. “Aku selalu senang bertemu dengan sesama Muslim di sini. Rasanya seperti menemukan keluarga di tempat yang jauh.”

Mereka melanjutkan percakapan sambil berjalan keluar dari masjid. Misbah merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Jiyun. Ketika mereka sampai di luar, perut Misbah tiba-tiba berbunyi, membuat Jiyun tertawa kecil.

“Kau lapar, Misbah?” tanya Jiyun sambil tersenyum. “Ada rumah makan Turki di dekat sini yang menyajikan kebab terbaik. Mungkin kita bisa makan bersama?”

Misbah tidak bisa menolak tawaran itu. “Kedengarannya enak. Ayo!”

Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan Itaewon yang ramai, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah makan Turki yang sederhana namun nyaman. Aroma kebab yang menggiurkan langsung menyambut mereka ketika pintu rumah makan dibuka. Mereka duduk di meja di dekat jendela, memesan kebab, dan melanjutkan percakapan mereka yang sebelumnya tertunda.

Jiyun bercerita tentang perjalanannya menemukan Islam, tentang bagaimana ia merasa kosong meskipun memiliki segala yang ia butuhkan di dunia ini. Hingga suatu hari, ia menemukan sebuah buku tentang Islam di perpustakaan universitasnya, yang kemudian mengubah hidupnya selamanya. “Aku menemukan kedamaian yang selama ini kucari,” kata Jiyun dengan mata berbinar.

Misbah mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa kagum pada keberanian Jiyun untuk mencari kebenaran dan mengikuti hatinya, meski harus menghadapi banyak tantangan di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.

Malam itu, kebab yang mereka makan terasa lebih nikmat karena disertai dengan percakapan yang mendalam dan penuh makna. Misbah merasa ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan tak terduga ini. Mungkin, itu adalah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan cinta yang tumbuh dari hati yang saling memahami.

Hari-hari berikutnya, Misbah dan Jiyun semakin sering bertemu. Mereka tidak hanya menjadi teman baik, tetapi juga menemukan kenyamanan satu sama lain dalam menghadapi kehidupan di negeri orang. Mereka saling mendukung dalam menjalani ibadah, belajar, dan berbagi cerita.

Hingga suatu hari, di masjid yang sama tempat mereka pertama kali bertemu, Misbah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Jiyun. “Jiyun, pertemuan kita di sini bukanlah suatu kebetulan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam antara kita. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita terus bersama, bukan hanya sebagai teman, tetapi lebih dari itu.”

Jiyun terdiam sejenak, namun senyum lembutnya kemudian muncul di wajahnya. “Misbah, aku juga merasakan hal yang sama. Aku bahagia kita dipertemukan di sini, dan aku berharap kita bisa bersama-sama menjalani hidup ini dalam cinta dan iman.”

Dengan restu dari keluarga dan sahabat, Misbah dan Jiyun akhirnya menikah dalam sebuah upacara sederhana di Masjid Itaewon, tempat yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Cinta mereka, yang dimulai dari pertemuan tak terduga di sebuah masjid di negeri asing, kini tumbuh semakin kuat, berakar dalam iman yang mereka bagikan, dan berkembang dalam kasih sayang yang tulus.

Begitulah, pertemuan tak terduga di Masjid Itaewon mengubah hidup Misbah dan Jiyun selamanya, menjadi kisah cinta yang indah antara dua hati yang dipertemukan oleh takdir, di bawah naungan cinta Ilahi.

Kisah Kasih antara Tokyo dan Ibaraki


Alya menatap keluar jendela kereta yang melaju cepat dari Tokyo menuju Ibaraki. Pemandangan kota yang padat perlahan berganti dengan hamparan sawah hijau dan perbukitan yang menenangkan. Perjalanan ini sudah menjadi rutinitas baginya, setiap akhir pekan ia selalu meluangkan waktu untuk berkunjung ke Ibaraki, bukan hanya untuk menenangkan diri dari hiruk-pikuk Tokyo, tetapi juga karena alasan yang lebih dalam—Ken.

Alya adalah seorang mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Keio, salah satu universitas bergengsi di Tokyo. Awalnya, ia merasa canggung dan kesepian di negeri yang begitu jauh dari rumah, namun pertemuannya dengan Ken, seorang pemuda Jepang yang penuh kehangatan dan perhatian, mengubah segalanya. Mereka bertemu di sebuah seminar budaya yang diadakan oleh kampus, dan sejak itu, hubungan mereka tumbuh semakin dekat.

Ken adalah seorang arsitek muda yang tinggal di Ibaraki. Ia memiliki ketertarikan mendalam terhadap budaya dan bahasa Indonesia, yang membuatnya sering bertukar pikiran dengan Alya. Dari pertemuan yang sederhana di sebuah acara kampus, mereka mulai sering bertemu, berbicara tentang banyak hal—mulai dari seni, budaya, hingga kehidupan sehari-hari. Ketulusan Ken dalam mendengarkan dan memperhatikan membuat Alya jatuh hati. Namun, ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya, yakni perbedaan keyakinan mereka.

Suatu hari, di tengah perjalanan mereka mengunjungi sebuah galeri seni di Tokyo, Ken mengungkapkan sesuatu yang membuat jantung Alya berdegup kencang. “Alya, aku selalu penasaran dengan keyakinanmu, dengan Islam. Aku ingin belajar lebih banyak, bukan hanya karena kamu, tapi karena aku merasa ada sesuatu yang memanggilku.”

Alya terkejut, namun juga merasa terharu. Ia tak pernah memaksa Ken untuk berubah, tetapi mendengar niat Ken yang tulus untuk memahami Islam membuatnya merasa lega. Mereka mulai berdiskusi lebih dalam tentang agama, dan Alya sering mengajak Ken ke Masjid At Taqwa di Ibaraki, satu-satunya masjid di daerah itu yang sering ia kunjungi saat merasa rindu dengan suasana keislaman.

Masjid At Taqwa di Ibaraki menjadi saksi perjalanan spiritual Ken. Setiap kali mereka berkunjung, Ken akan duduk di pojok, mendengarkan khotbah, dan sesekali bertanya pada imam masjid tentang hal-hal yang belum ia pahami. Perlahan, Ken mulai mengerti dan merasakan kedamaian dalam Islam. Alya melihat perubahan dalam diri Ken, dari seorang pemuda yang penasaran menjadi seseorang yang benar-benar ingin menemukan jalan hidup yang baru.

Akhirnya, pada suatu hari yang cerah, di hadapan para jamaah dan Alya yang berdiri di sampingnya, Ken mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid At Taqwa. “Ashhadu an la ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadan rasulullah,” suaranya tenang dan penuh keyakinan.

Alya tak bisa menahan air mata kebahagiaannya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah keputusan besar yang diambil Ken bukan karena cinta padanya semata, tetapi karena cinta pada kebenaran yang ia temukan dalam Islam.

Setelah prosesi tersebut, Ken dan Alya berjalan keluar masjid bersama, angin sepoi-sepoi Ibaraki menyambut mereka. “Terima kasih, Alya, karena telah membimbingku. Bukan hanya pada jalan Islam, tetapi juga dalam hidupku,” kata Ken sambil menggenggam tangan Alya.

“Ini semua adalah kehendak-Nya, Ken. Aku hanya menjadi jalan bagi pencarianmu,” jawab Alya dengan senyum yang menenangkan.

Hubungan mereka semakin erat, kini bukan hanya diikat oleh cinta yang mendalam, tetapi juga oleh keyakinan yang sama. Setiap perjalanan mereka dari Tokyo ke Ibaraki dan sebaliknya selalu diisi dengan perbincangan hangat, bukan hanya tentang kehidupan dan cinta, tetapi juga tentang iman yang kini mereka bagikan.

Kisah kasih antara Tokyo dan Ibaraki ini bukan hanya tentang dua hati yang bertemu, tetapi juga tentang perjalanan menemukan kebenaran, tentang bagaimana cinta dan keyakinan dapat berjalan seiring, dan bagaimana seorang pemuda Jepang bernama Ken menemukan kedamaian dalam Islam di bawah bimbingan lembut seorang mahasiswi Indonesia di Universitas Keio.

Titimangsa di Kafe Ulus Ankara


Winda duduk di sudut kafe kecil di Ulus, Ankara, mengaduk kopinya yang sudah dingin. Kafe ini adalah tempat favoritnya, tempat di mana dia sering merenung, menulis, dan melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Namun, hari ini pikirannya tak bisa tenang. Hisam, pria yang akhir-akhir ini mendekatinya dengan perhatian tulus, terus muncul di benaknya. Namun, bersama dengan bayangannya, muncul sosok lain—Khedira.

Khedira adalah bagian dari masa lalu Winda, bagian yang belum sepenuhnya selesai. Mereka pernah berbagi cinta yang begitu dalam, namun waktu dan jarak memisahkan mereka. Hubungan mereka berakhir tanpa kata-kata, hanya menyisakan perasaan yang menggantung dan pertanyaan yang tak terjawab.

Hisam, di sisi lain, hadir dengan segala kebaikannya. Dia membawa kehangatan dan kenyamanan yang membuat Winda merasa aman. Tapi setiap kali Winda mulai membiarkan dirinya jatuh hati pada Hisam, bayangan Khedira kembali mengganggu pikirannya. Apakah dia benar-benar siap melupakan masa lalu dan membuka hati untuk seseorang yang baru?

Suatu malam, Winda bermimpi tentang Khedira. Dalam mimpinya, mereka duduk berdua di kafe yang sama, membicarakan hal-hal kecil seperti dulu. Khedira tersenyum padanya, senyum yang selalu membuat hatinya berdebar. Ketika Winda terbangun, perasaan rindu yang tak tertahankan menguasai dirinya. Dia tahu, mimpi itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah tanda bahwa kisah mereka belum benar-benar usai.

Pagi itu, Winda memutuskan untuk pergi ke kafe di Ulus. Mungkin dia hanya ingin mencari ketenangan, atau mungkin dia berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Ketika dia tiba di sana, suasana kafe sama seperti biasanya—tenang dan hangat. Namun, saat dia masuk, jantungnya hampir berhenti.

Di sudut kafe, di meja yang biasa dia duduki, ada Khedira. Dia terlihat seperti yang Winda ingat—tenang, dengan senyum yang membuat segala kekhawatirannya lenyap. Winda berdiri membeku, tak percaya bahwa sosok yang selama ini hanya hadir dalam mimpinya kini benar-benar ada di hadapannya.

“Khedira?” suara Winda terdengar pelan, hampir berbisik.

Khedira menoleh, dan saat mata mereka bertemu, Winda merasakan semua perasaan lama kembali. “Winda,” jawab Khedira dengan lembut, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.

Mereka duduk bersama, dan untuk beberapa saat, tak ada kata yang terucap. Keheningan itu tidak canggung, tapi penuh dengan makna yang hanya mereka berdua yang mengerti.

“Aku sering datang ke sini, berharap bisa melihatmu lagi,” kata Khedira akhirnya, memecah keheningan. “Tapi aku tak pernah berani menghubungimu. Aku takut kau sudah melupakanku.”

Winda menatap kopinya, mencoba menyusun kata-kata. “Aku tidak pernah melupakanmu, Khedira. Tapi hidup terus berjalan. Ada Hisam yang sekarang mengisi hariku.”

Khedira tersenyum, meski ada kesedihan di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin tahu, apakah kita masih punya kesempatan?”

Winda terdiam. Pertanyaan itu adalah yang paling ditakutinya. Dia tahu bahwa di lubuk hatinya, perasaannya pada Khedira masih ada. Namun, ada Hisam, yang juga pantas mendapatkan kesempatan. Winda harus memilih antara masa lalu yang belum selesai dan masa depan yang menunggu.

“Waktu tak bisa diulang, Khedira,” jawab Winda akhirnya. “Apa yang kita miliki adalah kenangan yang indah, tapi aku tak bisa terus hidup di masa lalu. Hisam mungkin adalah kesempatan baru yang harus aku ambil.”

Khedira mengangguk pelan, menerima kenyataan yang pahit itu. “Aku hanya ingin kau bahagia, Winda. Apa pun pilihanmu, aku akan selalu menghargainya.”

Dengan kata-kata itu, Khedira berdiri, memberikan senyum terakhir sebelum pergi meninggalkan kafe. Winda menatapnya hingga bayangannya menghilang di balik pintu. Air mata mengalir di pipinya, tapi hatinya lebih ringan. Dia tahu, pertemuan ini adalah cara semesta untuk menutup bab lama dan membiarkannya membuka yang baru.

Winda menghirup napas dalam-dalam, merasakan kesegaran pagi Ankara. Kini, dia siap untuk melangkah maju, memberikan hatinya kepada Hisam, dengan perasaan lega bahwa kisahnya dengan Khedira telah menemukan akhirnya.

Cinta di Bawah Langit Kapadokya



Amira duduk di bangku taman kampus Erciyes University, menatap pemandangan Gunung Erciyes yang megah di kejauhan. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Turki, dia selalu terpesona oleh keindahan alamnya. Namun, ada satu hal yang lebih memikat hatinya—Mehmet.

Mehmet adalah mahasiswa asal Turki yang ramah dan cerdas, selalu siap membantu Amira ketika dia mengalami kesulitan dengan bahasa Turki atau materi kuliah. Persahabatan mereka tumbuh dengan cepat, namun ada sesuatu yang lebih dalam yang Amira rasakan setiap kali berada di dekat Mehmet.

Namun, hubungan mereka berjalan tanpa status. Keduanya saling peduli, saling menjaga, namun tidak ada kata yang pernah terucap tentang apa yang mereka rasakan. Amira sering bertanya-tanya, apakah Mehmet merasakan hal yang sama? Atau apakah dia hanya seorang sahabat bagi lelaki itu?

Suatu hari, Mehmet mengajak Amira untuk mengunjungi Kapadokya, tempat yang terkenal dengan balon udaranya yang indah dan formasi batuan yang menakjubkan. Mereka pergi pada akhir pekan, menikmati perjalanan panjang melalui jalan berliku yang dihiasi pemandangan yang memesona.

Setibanya di Kapadokya, Mehmet mengajak Amira untuk naik balon udara di pagi hari. Saat matahari terbit, mereka terbang di atas lembah-lembah yang dipenuhi cerobong peri yang legendaris. Udara dingin pagi hari terasa sejuk di kulit, namun hati Amira hangat oleh kehadiran Mehmet di sampingnya.

Di tengah-tengah penerbangan, Mehmet memecah keheningan. “Amira,” katanya pelan, suaranya terdengar lembut di tengah deru angin, “aku sudah lama ingin mengatakan sesuatu padamu.”

Amira menoleh, jantungnya berdebar kencang. “Apa itu, Mehmet?”

“Aku…,” Mehmet terdiam sejenak, menatap ke arah matahari yang perlahan muncul di ufuk timur. “Aku menyayangimu, lebih dari sekadar teman. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin kita lebih dari sekadar sahabat.”

Amira terkejut, namun hatinya terasa ringan. Ternyata, perasaan yang selama ini ia simpan dalam hati juga dirasakan oleh Mehmet. “Mehmet,” jawab Amira lembut, “aku juga menyayangimu. Aku selalu takut mengungkapkannya karena aku tidak ingin merusak persahabatan kita.”

Mehmet tersenyum, senyum yang hangat dan penuh rasa lega. “Maka kita tidak perlu takut lagi, Amira. Kita bisa memulai sesuatu yang lebih, sesuatu yang indah.”

Di bawah langit Kapadokya yang dipenuhi warna-warna matahari terbit, Amira dan Mehmet saling memandang dengan penuh cinta. Hubungan yang tanpa status itu kini menemukan arah yang jelas, memadu kasih dalam hangatnya cinta yang tulus. Mereka menyadari bahwa takdir telah membawa mereka bersama, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga sebagai pasangan yang saling melengkapi. 

Mereka kembali ke Erciyes University dengan hati yang penuh kebahagiaan, siap untuk menulis babak baru dalam kisah cinta mereka di negeri yang penuh keajaiban.

Selasa, 13 Agustus 2024

Di Bawah Bayang Bayang Mevlana

Najwa berdiri di depan makam Mevlana Jalaluddin Rumi di Konya, Turki. Kota ini selalu membawa ketenangan dalam hatinya, seolah-olah setiap sudutnya dipenuhi dengan doa dan puisi. Tapi hari ini, ia merasa hatinya tak tenang. Ada sebuah harapan yang begitu kuat mengguncang relung hatinya, harapan untuk menaklukkan hati seorang lelaki yang telah lama mengisi mimpinya—Ahmet. 

Ahmet adalah pria yang penuh dengan misteri. Ia selalu tersenyum dengan cara yang menenangkan, namun di balik senyumnya, Najwa merasa ada tembok tinggi yang sulit ditembus. Setiap kali mereka berbincang, Najwa selalu merasakan getaran di hatinya, seolah-olah setiap kata Ahmet adalah bait puisi yang indah. Namun, rasa takut akan penolakan selalu menghantuinya. 

Di tengah kesibukannya mempelajari literatur Turki, Najwa kerap memikirkan cara untuk bisa lebih dekat dengan Ahmet. Ia tahu Ahmet sering mengunjungi tempat-tempat suci di Konya, mencari kedamaian dan inspirasi. Itulah sebabnya hari ini, ia memberanikan diri untuk mengikuti jejak Ahmet, berharap bisa memahami lebih dalam apa yang membuat pria itu begitu mempesona. 

Saat Najwa melangkah masuk ke dalam kompleks makam Mevlana, ia merasa hatinya sedikit lebih tenang. Tempat ini begitu sunyi, namun penuh dengan kehidupan dalam setiap bisikan angin dan aroma dupa yang menguar. Najwa duduk di salah satu bangku, matanya tertuju pada nisan yang terukir indah, sambil berdoa dalam hati. 

Tak lama kemudian, ia melihat sosok yang dikenalnya berjalan perlahan menuju tempat yang sama. Ahmet. Dengan sikap penuh hormat, Ahmet berdiri di depan makam, menundukkan kepala, dan berdoa. Najwa memperhatikannya dari kejauhan, mengagumi keseriusan dan kelembutan hati pria itu. 

"Ahmet," panggil Najwa dengan suara pelan setelah Ahmet selesai berdoa. Ia memberanikan diri untuk mendekat, meskipun hatinya berdebar-debar. Ahmet tersenyum ketika melihat Najwa. "Najwa, apa yang membawamu ke sini?" "Keindahan tempat ini," jawab Najwa sambil tersenyum. "Dan… mungkin juga ingin mencari jawaban atas sesuatu." 

Ahmet menatapnya, seolah-olah memahami bahwa ada lebih banyak yang ingin disampaikan oleh Najwa. "Kau selalu mencari jawaban, Najwa. Itulah yang membuatmu berbeda." Najwa tertawa pelan. 
"Dan mungkin itulah yang membuatmu sulit untuk didekati." Ahmet tersenyum simpul, seakan menyadari ke mana arah percakapan ini. 

"Mungkin. Tapi setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menjaga hatinya." Najwa mengangguk pelan. "Dan aku ingin tahu, bagaimana caramu menjaga hatimu?" 

Ahmet terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan tenang, "Dengan sabar, Najwa. Dengan memberi waktu untuk memahami perasaan, baik itu cinta maupun ketakutan." 

 Najwa merasakan harapan tumbuh di hatinya. Mungkin ini bukanlah jawaban yang pasti, tapi setidaknya ia tahu bahwa Ahmet juga memiliki perasaan yang sama. Mereka kemudian duduk bersama, berbincang tentang kehidupan, mimpi, dan cinta yang perlahan tumbuh di antara mereka. 

Di bawah bayang-bayang Mevlana, Najwa menemukan kekuatan untuk tetap berharap. Ia tahu, jalan untuk menaklukkan hati Ahmet mungkin panjang dan penuh dengan liku, tetapi dengan ketulusan dan kesabaran, ia yakin suatu hari Ahmet akan membuka hatinya sepenuhnya untuknya. 

Dan pada saat itu, mereka akan berjalan bersama, melangkah menuju masa depan yang penuh dengan puisi cinta yang indah.