Sabtu, 17 Agustus 2024

Pertemuan Tak Terduga di Masjid Itaewon Seoul



Misbah menghela napas panjang ketika ia melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Itaewon. Udara musim gugur Seoul yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma dedaunan yang mulai berguguran. Ia baru saja menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dan merasa perlu menenangkan pikiran. Masjid Itaewon, tempat yang sering ia kunjungi sejak tiba di Korea untuk program pertukaran pelajar, adalah tujuan utamanya hari itu. Di sana, ia selalu merasa damai, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota yang sibuk.

Masjid Itaewon tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebagai satu-satunya masjid besar di Seoul, tempat ini menjadi pusat bagi komunitas Muslim dari berbagai negara yang tinggal di Korea. Misbah menyukai keberagaman itu, karena selalu mengingatkannya pada rumahnya di Indonesia, di mana perbedaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Ketika Misbah memasuki area wudhu, ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang akan mengubah hari-harinya ke depan. Di sudut ruangan, seorang wanita muda berkerudung sedang membasuh tangannya dengan air dingin. Matanya yang sipit dan kulitnya yang pucat menunjukkan bahwa ia adalah orang Korea, tetapi kerudung yang dikenakannya mengundang tanya di benak Misbah.

Setelah selesai berwudhu, Misbah dan wanita itu secara bersamaan menuju ruang shalat. Mereka saling bertukar senyum singkat sebelum keduanya tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Usai shalat, mereka saling menatap sejenak, dan Misbah memutuskan untuk menyapa lebih dulu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Misbah dengan senyum hangat.

“Wa’alaikumsalam,” jawab wanita itu dengan sedikit ragu, tetapi tetap tersenyum. 

“Apakah kamu orang Korea?” tanya Misbah dengan nada ramah.

Wanita itu mengangguk pelan. “Ya, namaku Jiyun. Aku baru saja menjadi mualaf beberapa bulan yang lalu,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Korea yang kental.

Misbah merasa kagum sekaligus penasaran. “Namaku Misbah. Aku dari Indonesia, dan sedang belajar di sini selama satu semester. Senang bertemu denganmu, Jiyun.”

“Senang bertemu denganmu juga, Misbah,” jawab Jiyun. “Aku selalu senang bertemu dengan sesama Muslim di sini. Rasanya seperti menemukan keluarga di tempat yang jauh.”

Mereka melanjutkan percakapan sambil berjalan keluar dari masjid. Misbah merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Jiyun. Ketika mereka sampai di luar, perut Misbah tiba-tiba berbunyi, membuat Jiyun tertawa kecil.

“Kau lapar, Misbah?” tanya Jiyun sambil tersenyum. “Ada rumah makan Turki di dekat sini yang menyajikan kebab terbaik. Mungkin kita bisa makan bersama?”

Misbah tidak bisa menolak tawaran itu. “Kedengarannya enak. Ayo!”

Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan Itaewon yang ramai, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah makan Turki yang sederhana namun nyaman. Aroma kebab yang menggiurkan langsung menyambut mereka ketika pintu rumah makan dibuka. Mereka duduk di meja di dekat jendela, memesan kebab, dan melanjutkan percakapan mereka yang sebelumnya tertunda.

Jiyun bercerita tentang perjalanannya menemukan Islam, tentang bagaimana ia merasa kosong meskipun memiliki segala yang ia butuhkan di dunia ini. Hingga suatu hari, ia menemukan sebuah buku tentang Islam di perpustakaan universitasnya, yang kemudian mengubah hidupnya selamanya. “Aku menemukan kedamaian yang selama ini kucari,” kata Jiyun dengan mata berbinar.

Misbah mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa kagum pada keberanian Jiyun untuk mencari kebenaran dan mengikuti hatinya, meski harus menghadapi banyak tantangan di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim.

Malam itu, kebab yang mereka makan terasa lebih nikmat karena disertai dengan percakapan yang mendalam dan penuh makna. Misbah merasa ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan tak terduga ini. Mungkin, itu adalah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan cinta yang tumbuh dari hati yang saling memahami.

Hari-hari berikutnya, Misbah dan Jiyun semakin sering bertemu. Mereka tidak hanya menjadi teman baik, tetapi juga menemukan kenyamanan satu sama lain dalam menghadapi kehidupan di negeri orang. Mereka saling mendukung dalam menjalani ibadah, belajar, dan berbagi cerita.

Hingga suatu hari, di masjid yang sama tempat mereka pertama kali bertemu, Misbah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Jiyun. “Jiyun, pertemuan kita di sini bukanlah suatu kebetulan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam antara kita. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita terus bersama, bukan hanya sebagai teman, tetapi lebih dari itu.”

Jiyun terdiam sejenak, namun senyum lembutnya kemudian muncul di wajahnya. “Misbah, aku juga merasakan hal yang sama. Aku bahagia kita dipertemukan di sini, dan aku berharap kita bisa bersama-sama menjalani hidup ini dalam cinta dan iman.”

Dengan restu dari keluarga dan sahabat, Misbah dan Jiyun akhirnya menikah dalam sebuah upacara sederhana di Masjid Itaewon, tempat yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Cinta mereka, yang dimulai dari pertemuan tak terduga di sebuah masjid di negeri asing, kini tumbuh semakin kuat, berakar dalam iman yang mereka bagikan, dan berkembang dalam kasih sayang yang tulus.

Begitulah, pertemuan tak terduga di Masjid Itaewon mengubah hidup Misbah dan Jiyun selamanya, menjadi kisah cinta yang indah antara dua hati yang dipertemukan oleh takdir, di bawah naungan cinta Ilahi.

0 komentar:

Posting Komentar