Sabtu, 24 Agustus 2024

Kopi Pahit di Wailela

Di pinggir pantai Wailela, sebuah kafe kecil berdiri dengan tenang. Suara ombak yang bergulung-gulung menjadi latar belakang yang sempurna untuk sebuah pertemuan yang telah lama dinanti. Beta duduk di sudut kafe, menatap secangkir kopi pahit di depannya yang sudah mulai mendingin. Di luar jendela, matahari perlahan-lahan tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah.

Beta telah menunggu Aprilia, perempuan yang selalu hadir di pikirannya sejak pertemuan pertama mereka. Hari ini seharusnya menjadi hari istimewa—hari di mana mereka akan bertemu kembali setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Namun, waktu terus berjalan, dan Aprilia belum juga datang.

Secangkir kopi yang semula hangat kini telah dingin. Beta menatap cangkir itu dengan perasaan campur aduk. Kopi pahit ini menjadi lambang dari harapan yang perlahan-lahan mulai memudar, seiring detik yang terus berdetak. Di setiap suara gesekan pintu kafe yang terbuka, Beta selalu berharap melihat Aprilia masuk dengan senyuman hangatnya, namun harapan itu pupus setiap kali melihat bahwa itu hanya pengunjung lain.

"Apakah dia akan datang?" pikir Beta. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menerpa pantai. Semua kenangan bersama Aprilia kembali membanjiri pikirannya—senyumnya, tawa ringannya, cara bicaranya yang selalu tenang namun penuh makna. Beta merindukan semua itu, dan hari ini seharusnya menjadi momen di mana semua kenangan itu bisa kembali hidup.

Namun, hari semakin gelap, dan kafe mulai sepi. Satu per satu pengunjung pergi, meninggalkan Beta sendiri dengan secangkir kopi yang semakin dingin. Beta menghela napas, lalu menyesap kopi itu. Rasanya pahit, tidak lagi menyisakan kehangatan yang bisa menghibur hati. Sama seperti hatinya yang mulai merasa kosong.

Mungkin Aprilia memang tidak akan datang. Mungkin ada sesuatu yang menghalanginya, atau mungkin dia telah melupakan janji mereka. Beta menatap laut yang tenang, mencari ketenangan di balik ketidakpastian ini. 

Waktu terus berlalu, dan akhirnya Beta memutuskan untuk berdiri. Ia meninggalkan beberapa lembar uang di meja, lalu berjalan keluar dari kafe. Langit kini berwarna biru gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang mulai bermunculan. Dengan langkah yang perlahan, Beta meninggalkan kafe pinggir pantai itu, dengan hati yang sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Namun di dalam hati kecilnya, Beta masih menyimpan harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, di tempat yang berbeda atau waktu yang lain, mereka akan bertemu kembali. Dan mungkin saat itu, kopi yang dinikmati tidak akan lagi menjadi dingin.

0 komentar:

Posting Komentar