Sabtu, 17 Agustus 2024

Titimangsa di Kafe Ulus Ankara


Winda duduk di sudut kafe kecil di Ulus, Ankara, mengaduk kopinya yang sudah dingin. Kafe ini adalah tempat favoritnya, tempat di mana dia sering merenung, menulis, dan melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Namun, hari ini pikirannya tak bisa tenang. Hisam, pria yang akhir-akhir ini mendekatinya dengan perhatian tulus, terus muncul di benaknya. Namun, bersama dengan bayangannya, muncul sosok lain—Khedira.

Khedira adalah bagian dari masa lalu Winda, bagian yang belum sepenuhnya selesai. Mereka pernah berbagi cinta yang begitu dalam, namun waktu dan jarak memisahkan mereka. Hubungan mereka berakhir tanpa kata-kata, hanya menyisakan perasaan yang menggantung dan pertanyaan yang tak terjawab.

Hisam, di sisi lain, hadir dengan segala kebaikannya. Dia membawa kehangatan dan kenyamanan yang membuat Winda merasa aman. Tapi setiap kali Winda mulai membiarkan dirinya jatuh hati pada Hisam, bayangan Khedira kembali mengganggu pikirannya. Apakah dia benar-benar siap melupakan masa lalu dan membuka hati untuk seseorang yang baru?

Suatu malam, Winda bermimpi tentang Khedira. Dalam mimpinya, mereka duduk berdua di kafe yang sama, membicarakan hal-hal kecil seperti dulu. Khedira tersenyum padanya, senyum yang selalu membuat hatinya berdebar. Ketika Winda terbangun, perasaan rindu yang tak tertahankan menguasai dirinya. Dia tahu, mimpi itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah tanda bahwa kisah mereka belum benar-benar usai.

Pagi itu, Winda memutuskan untuk pergi ke kafe di Ulus. Mungkin dia hanya ingin mencari ketenangan, atau mungkin dia berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Ketika dia tiba di sana, suasana kafe sama seperti biasanya—tenang dan hangat. Namun, saat dia masuk, jantungnya hampir berhenti.

Di sudut kafe, di meja yang biasa dia duduki, ada Khedira. Dia terlihat seperti yang Winda ingat—tenang, dengan senyum yang membuat segala kekhawatirannya lenyap. Winda berdiri membeku, tak percaya bahwa sosok yang selama ini hanya hadir dalam mimpinya kini benar-benar ada di hadapannya.

“Khedira?” suara Winda terdengar pelan, hampir berbisik.

Khedira menoleh, dan saat mata mereka bertemu, Winda merasakan semua perasaan lama kembali. “Winda,” jawab Khedira dengan lembut, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.

Mereka duduk bersama, dan untuk beberapa saat, tak ada kata yang terucap. Keheningan itu tidak canggung, tapi penuh dengan makna yang hanya mereka berdua yang mengerti.

“Aku sering datang ke sini, berharap bisa melihatmu lagi,” kata Khedira akhirnya, memecah keheningan. “Tapi aku tak pernah berani menghubungimu. Aku takut kau sudah melupakanku.”

Winda menatap kopinya, mencoba menyusun kata-kata. “Aku tidak pernah melupakanmu, Khedira. Tapi hidup terus berjalan. Ada Hisam yang sekarang mengisi hariku.”

Khedira tersenyum, meski ada kesedihan di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin tahu, apakah kita masih punya kesempatan?”

Winda terdiam. Pertanyaan itu adalah yang paling ditakutinya. Dia tahu bahwa di lubuk hatinya, perasaannya pada Khedira masih ada. Namun, ada Hisam, yang juga pantas mendapatkan kesempatan. Winda harus memilih antara masa lalu yang belum selesai dan masa depan yang menunggu.

“Waktu tak bisa diulang, Khedira,” jawab Winda akhirnya. “Apa yang kita miliki adalah kenangan yang indah, tapi aku tak bisa terus hidup di masa lalu. Hisam mungkin adalah kesempatan baru yang harus aku ambil.”

Khedira mengangguk pelan, menerima kenyataan yang pahit itu. “Aku hanya ingin kau bahagia, Winda. Apa pun pilihanmu, aku akan selalu menghargainya.”

Dengan kata-kata itu, Khedira berdiri, memberikan senyum terakhir sebelum pergi meninggalkan kafe. Winda menatapnya hingga bayangannya menghilang di balik pintu. Air mata mengalir di pipinya, tapi hatinya lebih ringan. Dia tahu, pertemuan ini adalah cara semesta untuk menutup bab lama dan membiarkannya membuka yang baru.

Winda menghirup napas dalam-dalam, merasakan kesegaran pagi Ankara. Kini, dia siap untuk melangkah maju, memberikan hatinya kepada Hisam, dengan perasaan lega bahwa kisahnya dengan Khedira telah menemukan akhirnya.

0 komentar:

Posting Komentar