Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Minggu, 22 Juni 2025

Belajar pada Yunus Emre (Sebuah Puisi)

Di tanah Anatolia yang bersahaja,

terdengar nyanyian jiwa merdeka.

Yunus Emre, sang fakir mulia,

membawa cinta dalam tiap kata.


Ia tak menuntut mahkota dunia,

tak haus pujian, tak gila tahta.

Hanya seutas doa di dada,

dan kasih bagi sesama manusia.


“Tak perlu tinggi engkau bicara,

jika hatimu masih gersang tiada rasa.

Lebih mulia satu kasih yang nyata,

daripada sejuta teori tak bermakna.”


Ia menulis bukan untuk dipuja,

tapi agar manusia tak saling mencela.

“Siapa mencintai tanpa pamrih dunia,

itulah hamba sejati Sang Esa.”


Yunus tak mengenal kasta dan golongan,

baginya semua manusia bersaudara sepadan.

Ia peluk kafir dan mukmin dalam kedamaian,

karena Tuhan tak memandang perbedaan.


Ilmu bukanlah bekal semata,

jika tak menyentuh laku dan rasa.

"Adab dan kasih lebih utama,

daripada gelar dan pujian semu belaka."


“Jangan kau cari Tuhan di langit tinggi,

jika tetanggamu masih kau abaikan hati.

Karena Sang Cinta hadir di sini,

di wajah fakir, di tangan yang memberi.”


Ia ajarkan kita menjadi manusia,

bukan hanya pandai bercerita.

Tapi rendah hati seperti semesta,

yang memberi tanpa ingin disanjung jua.


O Yunus, namamu harum abadi,

meski ragamu telah lama pergi.

Kata-katamu menembus sunyi,

menggugah nurani kami yang sepi.


Kami belajar pada puisi sucimu,

pada tangis rindu dalam doamu.

Bahwa jalan menuju Yang Satu,

adalah cinta, sabar, dan hati yang bersatu.




Yunus Emre Enstitusu, Bintaro, 22 Juni 2024

Selasa, 17 Juni 2025

Kita yang Tak Pernah Jadi Apa-apa (Sebuah Cerpen tentang Cinta tanpa Status)

 Di bawah langit biru Jakarta yang gerah dan penuh polusi, kampus itu tetap menjadi tempat lahirnya gagasan dan pertemuan. Di sanalah Sarah dikenal sebagai sosok mahasiswi berparas menawan dan cerdas. Rambutnya yang sebahu, dibalut jilbab pastel, serta senyumnya yang menenangkan, menjadikannya sorotan banyak mata. Tapi bukan hanya parasnya yang memikat, ia juga ketua BEM—pembicara ulung, negosiator andal, dan tokoh mahasiswa yang disegani.

Namun ada satu wajah yang tak pernah tertarik menatap Sarah dengan kekaguman seperti lainnya. Wajah itu milik Karim—mahasiswa tingkat akhir, dikenal sebagai pemikir muda yang sering menulis opini di berbagai media nasional. Ia kerap menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar di kampus, tetapi tetap menjaga jarak dari keramaian. Sosok yang teduh, tenang, dan tidak pernah terlihat terburu-buru.

Sarah memperhatikannya sejak pertama kali menghadiri seminar bertema “Krisis Etika dalam Kepemimpinan Politik Mahasiswa.” Saat itu Karim menyampaikan opini tentang peran mahasiswa bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi pembangun narasi alternatif yang lebih sehat dan beradab. Sarah terpaku. Kata-katanya tak melengking, tapi menusuk. Ketika forum bubar, Sarah mendekatinya.

“Mas Karim, tulisan-tulisanmu di Media Arah Baru menarik. Kamu bicara pakai hati,” ujarnya, dengan tangan menyodorkan kartu namanya.

Karim tersenyum simpul. “Terima kasih, Mbak Sarah. Saya juga dengar kamu Ketua BEM yang paling tegas di angkatan kita.”

Sejak saat itu, mereka mulai sering bertukar pesan. Awalnya soal seminar, lalu artikel. Lama-lama berlanjut menjadi diskusi panjang tentang buku, film, bahkan mimpi. Meskipun Karim bukan tipe romantis, ia selalu tahu bagaimana membuat Sarah merasa dipahami. Sarah, di sisi lain, merasa Karim seperti labirin yang ingin ia selami lebih dalam.

Tanpa sadar, keduanya menjalin hubungan. Tidak pernah ada pengakuan formal. Tak ada kata “pacaran,” apalagi “kekasih.” Tapi semua tahu, bahkan sahabat-sahabat mereka tahu, ada sesuatu di antara mereka.

Karim menemani Sarah di balik layar ketika ia lelah rapat. Sarah duduk di deretan paling depan setiap kali Karim menjadi pembicara. Di sudut kantin, mereka sering duduk berdua, berbagi nasi goreng dan tawa. Dalam sepi, mereka saling menemukan tempat pulang.

Suatu malam, usai mengisi seminar tentang literasi digital, Karim berjalan bersama Sarah menuju parkiran.

“Kamu capek?” tanya Sarah, menatap langit yang mulai muram.

“Capek itu biasa. Tapi bisa bicara sama kamu bikin aku tenang.”

Sarah tertawa kecil. “Kamu tahu, kadang aku mikir, kalau hubungan kita ini punya nama, kira-kira apa?”

Karim diam. Lalu ia menatap mata Sarah dalam-dalam. “Mungkin... ketenangan yang belum punya rumah.”

Sarah mengangguk pelan, seperti mengerti. “Kalau suatu hari aku harus pergi, kamu bakal cari rumah yang lain?”

“Entah. Tapi rumah bukan cuma tempat tinggal. Kadang rumah itu orang yang bikin kita betah.”

Namun hidup selalu punya kejutan. Suatu pagi, ayah Sarah memanggilnya ke ruang tamu. Duduk di sana, seorang lelaki muda bersorban rapi, berdiri penuh wibawa. Ia adalah putra seorang tokoh agama yang cukup dikenal.

“Namanya Fahmi,” kata ayahnya. “Keluarga kita sudah lama kenal. Dia berniat serius. Sudah waktunya kamu dipertemukan dengan seseorang yang bisa menjaga kamu.”

Sarah menatap ayahnya, lalu menatap lelaki itu. Dalam dadanya, hatinya menjerit. “Tapi Ayah, aku masih kuliah...”

“Justru itu. Menikah bukan penghalang. Ayah cuma minta kamu pertimbangkan baik-baik. Ini bukan tentang menolak jodoh. Tapi membuka peluang kebaikan.”

Malam itu, Sarah tak bisa tidur. Pesan Karim belum ia balas sejak siang. Ia membuka galeri ponsel, melihat foto mereka berdua saat berbagi buku di taman kampus. Terlalu banyak kenangan yang tak bisa diceritakan kepada siapa pun.

Esoknya, Sarah menemui Karim di perpustakaan. Suasana sunyi, hanya derit kipas dan suara kertas yang terbalik.

“Mas...” panggil Sarah lirih.

Karim melihat wajah itu. Cantik, tapi kali ini tampak rapuh. Ada duka yang tak ia kenal.

“Ayahku ingin aku menikah,” kata Sarah, tanpa basa-basi.

Karim menatapnya, seolah tak mengerti. “Dengan siapa?”

“Putra teman lamanya. Ustaz muda dari Jawa Tengah. Mereka sudah bicara serius.”

Seketika, dunia Karim seolah hancur. Ia ingin marah, ingin menggenggam tangan Sarah dan membawanya lari. Tapi ia tahu, ia bukan siapa-siapa. Mereka tak pernah saling mengikat. Ia hanya ‘ketenangan tanpa rumah’.

“Kamu bilang... kamu belum siap menikah,” katanya lirih.

“Aku memang belum. Tapi di keluargaku, restu orang tua itu mutlak. Aku tidak bisa bilang tidak jika tak punya alasan yang lebih kuat...”

“Lalu aku ini apa?” suara Karim menegang.

Sarah menunduk, air matanya jatuh satu-satu. “Kamu rumahku. Tapi rumah yang tidak pernah kubangun fondasinya.”

Karim berdiri. Ingin berteriak. Ingin menantang dunia. Tapi yang keluar hanya satu kalimat: “Kalau aku datang ke ayahmu, kamu mau?”

Sarah menatapnya dengan mata bengkak. “Tapi kamu belum lulus. Kamu masih sibuk. Kita belum siap.”

“Lalu kenapa kamu biarkan aku masuk terlalu jauh?”

Mereka diam. Ruang hening. Cinta tak lagi bisa diucapkan, hanya tersisa perih yang membatu di dada.

Hari pernikahan Sarah berlangsung sederhana tapi sakral. Fahmi datang dengan senyum tenang. Keluarga besar berkumpul, doa-doa mengalir. Namun di hati Sarah, seperti ada petir menyambar di siang bolong. Dadanya kosong. Ia duduk di pelaminan dengan mata yang tak benar-benar melihat siapa pun.

Karim tidak datang. Ia memilih pergi ke perpustakaan kota, duduk sendirian membaca buku tebal tanpa bisa mencerna isinya. Ponselnya berdering, ucapan teman-teman yang tahu cerita mereka. Tapi ia diam. Hanya satu pesan yang ia kirim malam itu ke nomor Sarah:

"Rumah itu telah dibangun untuk orang lain. Tapi aku masih menyimpan pintunya."

Sarah membacanya, dan menangis lama setelah para tamu pulang. Ia tahu, ia telah kehilangan bukan sekadar cinta. Tapi kehilangan ketenangan yang pernah menjadikan hidupnya bermakna.

Beberapa tahun berlalu.

Sarah kini menjadi dosen muda di kampus yang sama. Suaminya orang baik, tetapi hatinya tak pernah serupa dengan Karim. Mereka hidup dalam damai, tapi bukan bahagia.

Sementara Karim, setelah menyelesaikan S2 di luar negeri, kini menjadi penulis dan dosen tamu di berbagai kampus. Ia tak pernah menikah. Ia mencintai ilmunya, mencintai dunianya, dan... mencintai kenangan itu diam-diam.

Suatu hari, mereka bertemu di seminar nasional. Karim menjadi pembicara utama. Sarah duduk di deretan kedua, bersama mahasiswa bimbingannya.

Mata mereka bertemu. Tak ada dendam. Tak ada amarah. Hanya dua insan yang pernah saling menjadi rumah, kini berdiri sebagai dua bangunan berbeda—kokoh, tapi berjauhan.

Sebelum Karim naik panggung, ia sempat membisik:

“Rumah itu pernah sangat indah, bukan?”

Sarah tersenyum pahit. “Dan petirnya juga tak pernah hilang dari ingatan.”



Sabtu, 07 Juni 2025

Early Birthday di Teluk Bayur (Sebuah Cerpen)



Udara senja Teluk Bayur mengalir lembut dari laut, menyisakan bau asin yang menempel di kulit dan debur ombak yang bersahut di kejauhan. Di bawah pohon ketapang yang menggugurkan daunnya perlahan, sebuah rumah makan sederhana berdiri. Plangnya sudah kusam, namun tetap kokoh bertuliskan: “Sate Padang Mak Upiak – Sejak 1998.”


Anindi duduk di bangku kayu panjang, mengenakan sweater krem dan celana jins yang sudah beberapa kali digulung di ujungnya. Tangannya meremas-remas ujung lengan sweater, menahan dingin sekaligus resah. Di hadapannya, piring kosong menunggu sate yang belum dipesan. Ia melirik arloji kecil di tangannya. Pukul 18.45.


“Early birthday,” gumamnya, nyaris seperti doa yang tertelan angin. “Katanya sebelum jam 12 malam mau datang.”


Andi. Nama yang berulang kali ia ucap dalam doa, dalam harap, dalam pesan singkat yang hanya dibaca dua centang biru. Sejak tiga bulan lalu Andi bertugas ke luar kota, ke daerah pedalaman Sumatera untuk pekerjaan dokumentasi budaya. Sulit sinyal, katanya. Sibuk di lapangan, katanya. Tapi Andi sudah janji—janji yang direkam suara, diketik huruf demi huruf, dan disimpan Anindi dalam hati:


> “Aku nggak akan telat datang buat early birthday kamu. Sebelum jam 12 malam, aku harus udah duduk di sebelah kamu, pesen sate yang biasa. Sepuluh tusuk, pake kuah banyak.”




Rumah makan itu bukan tempat sembarangan. Di situlah mereka dulu saling menatap untuk pertama kali tanpa berkata, hanya tertawa melihat kuah sate yang tumpah ke baju. Sejak itu, setiap ulang tahun Anindi, mereka selalu makan sate di tempat yang sama. Andi menyebutnya ritual tahunan. Tapi tahun ini berbeda. Ia pergi.


Anindi menatap lampu jalan yang berpendar lembut di balik jendela. Pelayan datang menawarkan menu, namun ia hanya tersenyum dan berkata, “Nanti aja ya, tunggu teman saya.”


Jam menunjukkan 19.20. Ia membuka ponsel, tidak ada pesan baru. Foto Andi tersimpan sebagai wallpaper. Ia ingat betul wajah itu—dengan alis yang sedikit miring ketika tertawa, dan mata yang selalu menyipit saat menahan air mata.


Ia membuka galeri, menatap foto terakhir mereka: duduk berdampingan dengan sate di tangan, gigi mengunyah tanpa malu. Ia tersenyum kecil, tapi cepat-cepat menyeka mata yang terasa hangat.


Tiba-tiba ponsel bergetar. Satu pesan masuk.


> Andi (18.35): “Di jalan. Macet di Pelabuhan. Tunggu aku ya.”




Anindi membaca ulang pesan itu tiga kali. Macet? Di pelabuhan? Ah, tentu saja. Kapal ferry sering tiba tak sesuai jadwal. Tapi setidaknya, Andi menjawab.


Pukul 20.50.


Anindi mulai menggoyangkan kaki, duduk lalu berdiri, duduk lagi. Beberapa pelanggan lain sudah selesai makan. Mak Upiak, sang pemilik rumah makan, menghampirinya. Perempuan tua dengan keriput ramah itu menatapnya dengan iba.


“Kamu mau saya bungkusin sate-nya aja, nak?” tanyanya.


Anindi menggeleng. “Belum, Mak. Saya masih nunggu…”


Mak Upiak tersenyum dan menepuk bahu Anindi. “Kalau dia janji datang, dia pasti datang.”


Pukul 21.35.


Langit mulai menitikkan gerimis. Pelan, lalu deras, lalu kembali pelan. Anindi pindah ke meja dekat jendela yang lebih terlindung. Ia memesan teh hangat, hanya agar bisa memegang cangkir dan menghangatkan jemarinya.


Pukul 22.10.


Angin laut makin kencang. Anindi mulai merasa lelah. Tapi masih bertahan. Kalau Andi bilang akan datang sebelum pukul 00.00, maka ia akan percaya. Setidaknya untuk satu jam lima puluh menit lagi.


Hingga tiba-tiba, dari balik jendela, sebuah motor bebek berhenti. Helm dilepas. Rambut berantakan. Jaket lusuh. Tapi wajahnya…


“Andi!” seru Anindi, berdiri begitu cepat hingga hampir menjatuhkan teh di mejanya.


Andi tertawa lebar, berjalan cepat menghampiri. “Maaf, maaf banget. Ferry-nya telat, macet di pelabuhan, dan hujan—”


“Bodo amat hujan!” potong Anindi. “Kamu datang. Itu cukup.”


Mereka duduk, tertawa kecil di antara napas yang masih tersengal. Mak Upiak datang membawa dua piring sate.


“Lho, saya nggak pesen, Mak,” ujar Anindi.


Mak Upiak tersenyum lebar. “Tadi sore anak itu telepon dari warung tetangga. Katanya, kalau sebelum jam dua belas belum datang, sate-nya tetap keluar. Saya masakin dua porsi, kayak biasa.”


Andi tertawa, lalu menatap Anindi. “Janji adalah janji, Ndik. Meskipun harus terjang hujan dan pelabuhan macet.”


Mereka menyantap sate dalam diam yang nyaman. Kuah kuning kental memenuhi piring. Aroma daging dan rempah mencairkan segala penat yang menggantung sejak sore.


Jam menunjukkan 23.55.


Andi mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya—sebuah kotak kecil, dibungkus sederhana. “Ini hadiah early birthday kamu. Tapi bukanya harus pas lewat tengah malam.”


Anindi menerimanya dengan mata berbinar. “Kamu tahu, aku nyaris putus asa nungguin kamu.”


“Tapi kamu tetap nunggu,” bisik Andi.


Ia mengangguk pelan. “Karena satu tusuk sate, satu janji.”


Pukul 00.00.


“Selamat ulang tahun, Anindi.”


“Terima kasih, Andi.”


Dan di antara debur ombak Teluk Bayur yang tak pernah lelah menyapa malam, janji yang dibawa angin dan sate hangat itu pun menemukan tempatnya: di hati dua insan yang saling menunggu.


Rabu, 04 Juni 2025

ZAHRA DAN CAHAYA DI LANGIT BANDUNG (Sebuah Cerpen)

 Langit Bandung senja itu menggantungkan warna jingga keemasan yang jatuh perlahan di antara kubah masjid kampus. Zahra berdiri di balik tirai jendela asramanya, menatap siluet lelaki yang baru saja melangkah keluar dari masjid setelah memberi pengajian rutin ba’da Maghrib. Lelaki itu, Abdullah, Direktur Pesantren Mahasiswa dan alumnus Al-Azhar Kairo, tampak bersahaja dengan sorban putih yang melingkar rapi di lehernya dan gamis abu yang membentuk citra kharismatik.

Zahra bukan tipe perempuan yang mudah terpikat. Sejak pertama menginjakkan kaki di Universitas Bandung sebagai mahasiswi baru, ia telah menetapkan hati bahwa cinta bukanlah prioritas. Ia ingin menuntaskan cita-citanya sebagai akademisi dan aktivis dakwah, menjunjung nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada Abdullah. Bukan sekadar karisma atau tutur lembutnya saat mengisi pengajian, tapi keistiqamahannya dalam membina para santri, kedewasaannya dalam menata program dakwah kampus, dan kesederhanaannya yang memancar kuat.

Zahra mengingat pertama kali ia melihat Abdullah secara langsung. Saat itu, ia tengah mengikuti taklim perdana mahasiswi baru di aula pesantren kampus. Abdullah memimpin langsung. Suaranya tegas, tapi teduh. Setiap kalimat mengandung hikmah. Tak ada satu pun dari peserta yang bermain-main dengan ponsel, semua larut dalam materi dan diskusi. Di penghujung acara, Abdullah membacakan doa dengan khusyuk. Entah mengapa, Zahra merasa hatinya ikut luruh dalam lantunan itu.

Sejak saat itu, Zahra mulai aktif mengikuti setiap kajian yang diisi oleh Abdullah. Ia tak pernah melewatkan satu pun. Bahkan saat hujan deras mengguyur Bandung, Zahra tetap datang ke masjid kampus dengan jas hujan dan sepatu yang basah. Teman-teman asrama sering menggoda, “Kamu naksir, ya?”

Zahra hanya tersenyum dan menggeleng, walau hatinya sendiri tak bisa berdusta.


Setiap malam, Zahra menuliskan catatan harian. Tapi hanya satu nama yang konsisten muncul di setiap paragraf: Abdullah.

"Aku tahu, mencintai diam-diam seperti ini mungkin adalah cara paling bodoh untuk menyimpan harapan. Tapi apakah salah jika aku hanya ingin menyayangi seseorang karena Allah, tanpa meminta ia tahu, tanpa mengganggu jalan hidupnya?"

Ia sadar betul, posisi Abdullah bukan sosok sembarangan. Selain sebagai direktur pelaksana pesantren, ia juga dipercaya oleh rektorat sebagai penanggung jawab program spiritual kampus. Sosok seperti itu tak mungkin memperhatikan mahasiswi biasa sepertinya. Lagi pula, Zahra tak pernah berbicara langsung dengannya. Paling banter hanya mengangguk sopan saat mereka berselisih di lorong masjid atau saat panitia pengajian mengatur tempat duduk.

Di balik diamnya, cinta tumbuh. Tapi Zahra tahu, ia tak boleh menjadikan perasaan ini sebagai sumber fitnah. Ia menjaga jarak, menjaga pandangan, dan menjaga hati dengan doa. Setiap malam, ia menangis dalam tahajud, mengadukan gejolak yang terus bergetar.

“Ya Allah, jika dia memang baik untukku, dekatkanlah dengan cara-Mu. Tapi jika tidak, hilangkan rasa ini seiring waktu.”


Suatu sore, Zahra ditunjuk menjadi koordinator acara Haflah Khataman Mahasantri. Ia terkejut karena Abdullah sendiri yang memilihnya, melalui rekomendasi dari pembina mahasiswi. Ia gugup saat pertama kali masuk ruang kerjanya untuk presentasi persiapan acara. Kantor itu sederhana, penuh buku-buku Islam dan literatur Timur Tengah.

“Silakan duduk, Zahra,” kata Abdullah, lembut.

Zahra merasa lututnya lemas. Ini pertama kalinya mereka berbicara empat mata.

“Terima kasih, Pak Ustaz,” jawabnya pelan.

Abdullah tersenyum kecil. “Saya dengar dari Ibu Yuliani, kamu cukup aktif dan disiplin. Kita butuh figur seperti itu untuk acara sekelas Haflah. Bisa dijelaskan rencana kegiatannya?”

Zahra pun menjelaskan dengan suara gemetar namun terstruktur. Ia memaparkan susunan acara, susunan panitia, dan daftar undangan.

Abdullah mendengarkan dengan seksama. Tidak sekali pun ia menyela, hanya sesekali mencatat.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Saya lihat kamu cukup matang dalam persiapan. Terus terang saya senang melihat ada mahasiswi yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya ruh tanggung jawab.”

Zahra nyaris meneteskan air mata. Tapi ia tahan. Ia hanya menjawab dengan senyum penuh rasa syukur.

Sejak hari itu, intensitas interaksi mereka meningkat. Meski tetap dalam batas syar’i, Zahra merasa seperti dibawa angin lembut yang menghapus jarak. Setiap instruksi Abdullah dalam grup panitia ia baca berulang. Setiap pujian, sekecil apa pun, menjadi kebahagiaan tak ternilai.

Namun, semakin dekat, semakin besar pula luka yang ia takuti: kehilangan harapan.


Haflah Khataman berlangsung sukses. Semua berjalan lancar. Bahkan Abdullah menyampaikan apresiasi khusus kepada Zahra di hadapan seluruh peserta.

“Koordinator kita, Saudari Zahra, bekerja luar biasa,” kata Abdullah saat sambutan. “Semoga menjadi teladan bagi teman-teman mahasiswi lain dalam tanggung jawab dan keikhlasan.”

Tepuk tangan bergema. Zahra tersenyum, tapi matanya berkaca. Apresiasi itu seperti cahaya terakhir sebelum malam panjang.

Dua minggu setelah acara, desas-desus muncul. Beberapa teman mulai membicarakan bahwa Abdullah sedang dalam proses taaruf dengan seorang dosen muda dari Fakultas Syariah.

Zahra kaget. Ia menutup pintu kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah, aku tak pernah ingin memiliknya. Tapi mengapa perih ini terasa seperti kehilangan?”

Ia menulis di buku hariannya:

“Aku hanya ingin mencintainya dalam diam. Tapi dunia terlalu keras untuk membiarkan cinta tumbuh tanpa ekspektasi.”

Malam itu, Zahra bersujud lebih lama dari biasanya. Ia merelakan semuanya. Ia ingin membunuh harapan dengan kerelaan. Bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa mencintai seseorang karena Allah adalah tentang menginginkan yang terbaik baginya, meski itu berarti tak bersamanya.


Tahun berlalu. Zahra lulus dengan predikat cumlaude dan langsung mendapat beasiswa S2 di luar negeri. Sebelum keberangkatannya, ia menyempatkan diri mengunjungi masjid kampus. Di sana, ia duduk diam dalam shaf pertama, seperti masa-masa dulu.

Abdullah keluar dari ruang imam setelah Maghrib. Ia mengenali Zahra, lalu mendekat dan menyapanya, “Apa kabar, Zahra?”

Zahra tersenyum. “Alhamdulillah baik, Ustaz. Saya akan berangkat S2 besok.”

Abdullah mengangguk bangga. “Masya Allah, semoga ilmu yang kamu cari menjadi cahaya untuk ummat.”

“Insya Allah,” jawab Zahra, lirih.

Mereka berbincang sebentar, dalam nuansa formal dan hangat. Lalu Abdullah berkata, “Kalau tidak keberatan, boleh saya titip buku ini untuk kamu baca selama di sana?”

Zahra menerima buku itu. Di halaman pertama, tertulis:

"Untuk Zahra, semoga tetap menjadi perempuan yang kuat, meski tak semua rasa perlu diucap. – A."

Zahra menatap langit malam Bandung dari halaman masjid. Air matanya menetes, bukan karena sedih, tapi karena merasa didengar Tuhan. Cinta diamnya memang tak menjadi kisah indah penuh romansa. Tapi ia tahu, cinta itu telah menjadikannya pribadi yang lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih ikhlas.

Dan mungkin, dalam sunyi itu, Allah telah mencatat cinta yang tulus, lebih dari sekadar kisah dunia.




Senin, 02 Juni 2025

Reuni Alumni Gontor 2002: DIMULAI DENGAN TAHLILAN, PESAN DAMAI DARI POSO, HINGGA GORDUL KHOSH DARI ARAB SAUDI

Reuni Alumni Gontor 2002:

DIMULAI DENGAN TAHLILAN, PESAN DAMAI DARI POSO, HINGGA GORDUL KHOSH DARI ARAB SAUDI

Oleh: Deden Mauli Darajat (Ketua Umum Alumni 2002)


Syahdan, sabtu pagi dini hari, sebagian rombongan dari Depok sudah tiba di lokasi Reuni di Kampus 2 Universitas Islam Bandung (Unisba). Dalam rombongan tersebut terdapat salah seorang alumnus yang terbang dari Medan dan singgah di Jakarta kemudian ikut serta dalam rombongan Depok. 


Panitia Reuni Alumni Gontor 2002 di Bandung yang sejatinya akan menjemput di Sabtu pagi, ternyata harus sudah bekerja sejak Jumat malam karena sudah sibuk menjemput dan menerima kedatangan para peserta reuni dari berbagai daerah di Indonesia.


Saya berangkat dari rumah Sabtu pagi dengan transportasi publik, Whoos, dari Jakarta ke Bandung. Sabtu siang, setelah makan siang, para peserta berangkat menuju kolam renang Sabuga ITB. Sepulangnya dari Sabuga, panitia sudah menyiapkan Cuanki spesial yang sangat lezat.


Usai shalat magrib berjamaah, kami melaksanakan tahlilan dan doa bersama untuk para guru, para kyai, dan sahabat-sahabat alumni 2002 yang sudah wafat yang tercatat sebanyak 28 orang dari 672 alumni. Tahlilan ini dipimpin oleh Mustofa Ali Syibromalisi, cucu dari Guru Mughni, ulama besar Betawi yang sangat berpengaruh.


Makan malam sudah tersedia di dapur umum, kami pun kemudian mengantre layaknya santri, ini terasa sangat nikmat sekali. Kami saling sapa dan bercerita tentang perjalanan, tentang masa lalu di Gontor, dan tentang nilai nilai perjuangan.


Bagi kami reuni adalah ajang silaturrahmi, berbagi pengalaman, berbagi ilmu pengetahuan, berbagi nilai nilai perjuangan, selama kami menjadi santri maupun selepas menjadi alumni. 


Bahkan acara resmi pun dibingkai dengan canda dan tawa yang dibawakan oleh duet maut MC kawakan Rizky Ardiansyah dan Eka Sukandar. Yang membuat kami hanyut dalam nostalgia adalah ketika kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne oh Pondokku. Rasa rasanya baru kemarin kami belajar bersama di Gontor. Padahal sudah lebih dari 23 tahun menjadi alumni.


Ketua Umum IKPM Gontor Cabang Bandung Raya, M. Nurcholiq, memberikan sambutan pada malam itu. Ia bercerita tentang alumni Gontor yang tersebar di wilayah Priangan. Pun bercerita tentang jumlah pesantren alumni Gontor yang terus bertumbuh dan bertambah yang tercatat sekitar 30an pesantren di wilayah Bandung Raya.


Yang menarik adalah ketika salah satu dari kami yang datang dari Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Cecep Sobar Rochmat. Cecep bercerita tentang pengalamannya menjadi wakil pengasuh pertama Gontor Cabang Poso.


Ia mulai bercerita saat dipanggil oleh Pak Kyai Syukri (Allahu Yarhamuhu). Saat itu sejatinya ia menyampaikan maksud kepada Pimpinan Gontor untuk melanjutkan Studi S2 di Malaysia. Semua rekan-rekannnya yang dipanggil itu diizinkan Pak Syukri melanjutkan S2 ke negeri Jiran, kecuali dirinya. 


"Kamu harus percaya sama saya. Kamu akan lebih dari S2 bahkan S3," kata Pak Kyai Syukri yang disampaikan Cecep. Sebagai santri, Cecep tidak punya pilihan dan menerimanya dengan takzim.


Cecep kemudian berangkat ke Poso, untuk memimpin Pesantren Cabang Gontor di sebuah daerah konflik di Sulawesi. Sebelum berangkat ia ditanya lagi sama Pak Kyai, "Cecep, apakah kamu siap mati di sana?" Ia jawab, "Siap Pak Kyai," ujar Cecep.


Ketika mengasuh pesantren Gontor di Poso, Cecep membuka komunikasi dengan para pimpinan masyarakat sekitar. Ia datang ke kediaman pemimpin-pemimpin masyarakat tersebut. Kedatangannya disambut baik oleh kedua belah pihak yang berkonflik.


Ketegangan dan konflik yang sudah lama terjadi di sana, mulai surut. Pesan-pesan kedamaian disampaikan 'Gontor' kepada pihak-pihak yang berkonflik. Kabar damai dari Poso selalu disampaikan secara reguler kepada Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla oleh Pak Kyai Syukri. 


Sebelum kembali ke Gontor dan menjadi Deputi Wakil Rektor Unida Gontor, Cecep sudah menyelesaikan studi doktoral nya di Palu, Sulawesi Tengah. Benar apa yang disampaikan Pak Syukri bahwa ia akan lebih dari sekadar S2 bahkan kembali ke Gontor sudah membawa gelar S3 Doktor.


Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Panitia Reuni Bandung sudah menyiapkan tajamu makrunah bisarden (makan mie instan bersama). Tajamuk makrunah biasa kami lakukan dulu saat menjadi petugas piket malam di Gontor. 


Usai penutupan acara malam itu masih terlihat beberapa orang melepas rindu tentang masa lalu. Panitia Bandung juga sudah menyiapkan nonton bareng (nobar) final Liga Champions Eropa yang dimenangkan PSG dengan skor telak 5-0.


Sholat subuh berjamaah kami laksanakan di masjid kampus Unisba. Kemudian kami berolahraga ringan, dilanjutkan 'muhadatsah shabahan' di pelataran asrama kampus yang berada di dataran tinggi Bandung, dengan cuaca yang cukup dingin. Panitia menyediakan kopi dan teh panas, juga gorengan untuk menghangatkan muhadatsah.


Kehangatan sangat terasa ketika salah satu dari kami didaulat untuk bercerita bagaimana bisa ia mendapat istri dari putri seorang Kyai. Nurohman namanya, tapi biasa dipanggil dengan Japra. Saat Japra bercerita, kami selalu tertawa. 


Japra memulai kisahnya saat ia berangkat tahun 2007 ke Arab Saudi setelah selesai masa pengabdiannya di Gontor Cabang Kendari. Di Arab Saudi ia mencari rezeki selama lebih dari tiga tahun. Selain bekerja ia pun aktif dan punya beberapa akun Facebook. 


Dari Facebook itu Japra berkenalan dengan banyak teman baru. Salah satunya adalah seorang perempuan dari Tasikmalaya. Salah satu unggahan di Facebook perempuan Tasik itu adalah foto para santri yang sedang nobar Piala Dunia 2010.


"Kamu anaknya Pimpinan Pesantren ya?" tanya Nurohman di akun Facebook perempuan itu. "Lastu (bukan saya)," jawab si empunya akun. Setelah diteliti lebih lanjut perempuan ini benar sebagai putri dari seorang Kyai.


Awal 2011, Nurohman pulang dari Arab Saudi ke kampung halamannya. Selang beberapa pekan ia datang ke Pesantren Riyadhul Ulum Wadda'wah Condong Tasikmalaya. 


Ia bertemu dengan Kyai Pesantren tersebut dengan menyampaikan 'Gordul Khosh' atau pesan khusus. Pesan itu pun diterima. Kyai itu kemudian mengirim utusan untuk menyelidiki tentang calon menantunya. 


Di pertengahan tahun 2011, Nurohman menikahi putri sang Kyai dari Tasikmalaya, yang ia kenal sejak di Arab Saudi melalui media sosial Facebook. Kini ia diberi amanah sebagai Wakil Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Riyadhul Ulum, Condong, Tasikmalaya.


Usai muhadatsah kami sarapan dan bersiap untuk kembali ke rumah masing masing. Mengapa reuni dilaksanakan di Bandung? Karena amanat kesepakatan kami saat Reuni 2024 di UIN Jakarta adalah Reuni 2025 dilaksanakan di Unisba Bandung.


Sejak bulan Ramadhan tahun ini kami berkoordinasi untuk menyukseskan acara reuni di Bandung. Ketua panitianya adalah Amrullah Hayatudin, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor 3 Unisba Bandung. Amrullah, Abdullah Yazid, Ali Karta, Budi, dan teman teman panitia luar biasa telah menyiapkan perhelatan dengan sedemikian rupa.


Tahun depan insyaallah Reuni akan dilaksanakan di Gontor dalam rangka memperingati 100 tahun Gontor. Didaulat saat penutupan reuni Bandung adalah Cecep Sobar Rochmat untuk menjadi ketua panitia reuni 2026 di Gontor. Secara simbolis Amrullah memberikan tongkat estafet kepada Cecep.


Peserta pun kemudian pamit satu persatu meninggalkan kampus Unisba yang asri. Saya diajak teman akrab sejak tahun 1996 bernama Yusuf, untuk mencicipi kuliner di Lembang. Sebelumnya kami membeli susu murni dari Lembang.


Ternyata kuliner yang dijanjikan Yusuf adalah makanan pangsit yang sangat lezat buatan istri nya. Ia dan istrinya menjadi pengusaha pangsit di kedai pelataran Mall Yogya di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Saya sangat merekomendasikan Anda untuk mencicipi makanan ini.


Sore Ahad, kami kembali ke rumah. Dari reuni ini kami mendapat banyak pelajaran penting. Tidak terhitung betapa bersyukurnya kami pernah mengenyam pendidikan di Gontor, yang mengajarkan kehidupan dan persaudaraan, mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan, mengajarkan pentingnya perjuangan dan kemampuan beradaptasi, serta nilai nilai luhur untuk tetap menjadi manusia yang dapat bermanfaat untuk sesamanya. Tabik.