Di bawah langit biru Jakarta yang gerah dan penuh polusi, kampus itu tetap menjadi tempat lahirnya gagasan dan pertemuan. Di sanalah Sarah dikenal sebagai sosok mahasiswi berparas menawan dan cerdas. Rambutnya yang sebahu, dibalut jilbab pastel, serta senyumnya yang menenangkan, menjadikannya sorotan banyak mata. Tapi bukan hanya parasnya yang memikat, ia juga ketua BEM—pembicara ulung, negosiator andal, dan tokoh mahasiswa yang disegani.
Namun ada satu wajah yang tak pernah tertarik menatap Sarah dengan kekaguman seperti lainnya. Wajah itu milik Karim—mahasiswa tingkat akhir, dikenal sebagai pemikir muda yang sering menulis opini di berbagai media nasional. Ia kerap menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar di kampus, tetapi tetap menjaga jarak dari keramaian. Sosok yang teduh, tenang, dan tidak pernah terlihat terburu-buru.
Sarah memperhatikannya sejak pertama kali menghadiri seminar bertema “Krisis Etika dalam Kepemimpinan Politik Mahasiswa.” Saat itu Karim menyampaikan opini tentang peran mahasiswa bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi pembangun narasi alternatif yang lebih sehat dan beradab. Sarah terpaku. Kata-katanya tak melengking, tapi menusuk. Ketika forum bubar, Sarah mendekatinya.
“Mas Karim, tulisan-tulisanmu di Media Arah Baru menarik. Kamu bicara pakai hati,” ujarnya, dengan tangan menyodorkan kartu namanya.
Karim tersenyum simpul. “Terima kasih, Mbak Sarah. Saya juga dengar kamu Ketua BEM yang paling tegas di angkatan kita.”
Sejak saat itu, mereka mulai sering bertukar pesan. Awalnya soal seminar, lalu artikel. Lama-lama berlanjut menjadi diskusi panjang tentang buku, film, bahkan mimpi. Meskipun Karim bukan tipe romantis, ia selalu tahu bagaimana membuat Sarah merasa dipahami. Sarah, di sisi lain, merasa Karim seperti labirin yang ingin ia selami lebih dalam.
Tanpa sadar, keduanya menjalin hubungan. Tidak pernah ada pengakuan formal. Tak ada kata “pacaran,” apalagi “kekasih.” Tapi semua tahu, bahkan sahabat-sahabat mereka tahu, ada sesuatu di antara mereka.
Karim menemani Sarah di balik layar ketika ia lelah rapat. Sarah duduk di deretan paling depan setiap kali Karim menjadi pembicara. Di sudut kantin, mereka sering duduk berdua, berbagi nasi goreng dan tawa. Dalam sepi, mereka saling menemukan tempat pulang.
Suatu malam, usai mengisi seminar tentang literasi digital, Karim berjalan bersama Sarah menuju parkiran.
“Kamu capek?” tanya Sarah, menatap langit yang mulai muram.
“Capek itu biasa. Tapi bisa bicara sama kamu bikin aku tenang.”
Sarah tertawa kecil. “Kamu tahu, kadang aku mikir, kalau hubungan kita ini punya nama, kira-kira apa?”
Karim diam. Lalu ia menatap mata Sarah dalam-dalam. “Mungkin... ketenangan yang belum punya rumah.”
Sarah mengangguk pelan, seperti mengerti. “Kalau suatu hari aku harus pergi, kamu bakal cari rumah yang lain?”
“Entah. Tapi rumah bukan cuma tempat tinggal. Kadang rumah itu orang yang bikin kita betah.”
Namun hidup selalu punya kejutan. Suatu pagi, ayah Sarah memanggilnya ke ruang tamu. Duduk di sana, seorang lelaki muda bersorban rapi, berdiri penuh wibawa. Ia adalah putra seorang tokoh agama yang cukup dikenal.
“Namanya Fahmi,” kata ayahnya. “Keluarga kita sudah lama kenal. Dia berniat serius. Sudah waktunya kamu dipertemukan dengan seseorang yang bisa menjaga kamu.”
Sarah menatap ayahnya, lalu menatap lelaki itu. Dalam dadanya, hatinya menjerit. “Tapi Ayah, aku masih kuliah...”
“Justru itu. Menikah bukan penghalang. Ayah cuma minta kamu pertimbangkan baik-baik. Ini bukan tentang menolak jodoh. Tapi membuka peluang kebaikan.”
Malam itu, Sarah tak bisa tidur. Pesan Karim belum ia balas sejak siang. Ia membuka galeri ponsel, melihat foto mereka berdua saat berbagi buku di taman kampus. Terlalu banyak kenangan yang tak bisa diceritakan kepada siapa pun.
Esoknya, Sarah menemui Karim di perpustakaan. Suasana sunyi, hanya derit kipas dan suara kertas yang terbalik.
“Mas...” panggil Sarah lirih.
Karim melihat wajah itu. Cantik, tapi kali ini tampak rapuh. Ada duka yang tak ia kenal.
“Ayahku ingin aku menikah,” kata Sarah, tanpa basa-basi.
Karim menatapnya, seolah tak mengerti. “Dengan siapa?”
“Putra teman lamanya. Ustaz muda dari Jawa Tengah. Mereka sudah bicara serius.”
Seketika, dunia Karim seolah hancur. Ia ingin marah, ingin menggenggam tangan Sarah dan membawanya lari. Tapi ia tahu, ia bukan siapa-siapa. Mereka tak pernah saling mengikat. Ia hanya ‘ketenangan tanpa rumah’.
“Kamu bilang... kamu belum siap menikah,” katanya lirih.
“Aku memang belum. Tapi di keluargaku, restu orang tua itu mutlak. Aku tidak bisa bilang tidak jika tak punya alasan yang lebih kuat...”
“Lalu aku ini apa?” suara Karim menegang.
Sarah menunduk, air matanya jatuh satu-satu. “Kamu rumahku. Tapi rumah yang tidak pernah kubangun fondasinya.”
Karim berdiri. Ingin berteriak. Ingin menantang dunia. Tapi yang keluar hanya satu kalimat: “Kalau aku datang ke ayahmu, kamu mau?”
Sarah menatapnya dengan mata bengkak. “Tapi kamu belum lulus. Kamu masih sibuk. Kita belum siap.”
“Lalu kenapa kamu biarkan aku masuk terlalu jauh?”
Mereka diam. Ruang hening. Cinta tak lagi bisa diucapkan, hanya tersisa perih yang membatu di dada.
Hari pernikahan Sarah berlangsung sederhana tapi sakral. Fahmi datang dengan senyum tenang. Keluarga besar berkumpul, doa-doa mengalir. Namun di hati Sarah, seperti ada petir menyambar di siang bolong. Dadanya kosong. Ia duduk di pelaminan dengan mata yang tak benar-benar melihat siapa pun.
Karim tidak datang. Ia memilih pergi ke perpustakaan kota, duduk sendirian membaca buku tebal tanpa bisa mencerna isinya. Ponselnya berdering, ucapan teman-teman yang tahu cerita mereka. Tapi ia diam. Hanya satu pesan yang ia kirim malam itu ke nomor Sarah:
"Rumah itu telah dibangun untuk orang lain. Tapi aku masih menyimpan pintunya."
Sarah membacanya, dan menangis lama setelah para tamu pulang. Ia tahu, ia telah kehilangan bukan sekadar cinta. Tapi kehilangan ketenangan yang pernah menjadikan hidupnya bermakna.
Beberapa tahun berlalu.
Sarah kini menjadi dosen muda di kampus yang sama. Suaminya orang baik, tetapi hatinya tak pernah serupa dengan Karim. Mereka hidup dalam damai, tapi bukan bahagia.
Sementara Karim, setelah menyelesaikan S2 di luar negeri, kini menjadi penulis dan dosen tamu di berbagai kampus. Ia tak pernah menikah. Ia mencintai ilmunya, mencintai dunianya, dan... mencintai kenangan itu diam-diam.
Suatu hari, mereka bertemu di seminar nasional. Karim menjadi pembicara utama. Sarah duduk di deretan kedua, bersama mahasiswa bimbingannya.
Mata mereka bertemu. Tak ada dendam. Tak ada amarah. Hanya dua insan yang pernah saling menjadi rumah, kini berdiri sebagai dua bangunan berbeda—kokoh, tapi berjauhan.
Sebelum Karim naik panggung, ia sempat membisik:
“Rumah itu pernah sangat indah, bukan?”
Sarah tersenyum pahit. “Dan petirnya juga tak pernah hilang dari ingatan.”