Minggu, 21 Juli 2013

Gagal Umroh



Dalam mobil yang akan mengangkut panitia simposium PPI Eropa Amerika dari kantor KJRI Istanbul menuju tempat penginapan panitia, beberapa waktu silam, ada sepasang suami istri yang sudah tua ikut dalam rombongan kami. Saya pikir kedua orangtua ini adalah salah satu sanak keluarga dari diplomat atau staf KJRI Istanbul. Karena mereka tinggal di kantor KJRI untuk beberapa hari, dan staf KJRI melayani mereka dengan baik.

Kantor KJRI Istanbul saat itu memang super sibuk. Selain menyiapkan tempat untuk para delegasi simposium dari PPI berbagai negara di Eropa dan Amerika, para staf KJRI juga tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Menerima tamu dari Indonesia, salah satunya. Kalau pun bukan dari keluarga KJRI, saya masih berpikir kedua ibu bapak ini masih ada hubungannya dengan KJRI.

Tetapi ada yang janggal, kedua orang ini hanya berbincang di antara mereka saja. Maksudnya, mereka jarang berkomunikasi dengan yang lain. Kecuali ketika mereka mau masuk ke dalam mobil yang akan kami kendarai. Mereka berdua dengan muka manis mengucapkan terimakasih kepada Konjen RI, Pak Suri, dengan senyum termanisnya.

Akhirnya, insting wawancara dan untuk menghilangkan keraguan yang ada dalam pikiran saya, saya membuka pembicaraan dengan kedua orangtua ini. Saya perkenalkan diri saya sebelum saya bertanya siapa beliau, mengapa mereka ada di Istanbul dan untuk apa? dan sebagainya. Jangan dikira ini wawancara serius, ini lebih kepada ngobrol biasa saja.

Bapak itu bercerita pada saya, kalau beberapa hari sebelumnya ia bersama rombongan jemaah umroh datang ke Istanbul dari Indonesia. Umroh plus jalan-jalan ke Istanbul. Dalam beberapa tahun terakhir ini memang banyak agen travel umroh di Indonesia yang menyediakan tambahan jalan-jalan, salah satunya ke ibukota kesultanan Utsmani, Istanbul.

Yang aneh dalam perjalanan umroh yang diikuti bapak dan ibu ini adalah, jalan-jalan dulu sebelum ibadah umroh. Bukan umroh dulu baru jalan-jalan. Rombongan jemaah umroh ini menikmati kota dua benua ini sebelum mereka terbang ke Mekkah dan Madinah. Di saat bapak ini melaksanakan shalat di masjid biru alias Masjid Sultan Ahmet, ada kejadian yang tidak diinginkan.

Ketika bapak ini makan di restoran depan masjid biru dan akan membayar makanan, cerita sang ibu, tas yang di kalungkannya sudah menghilang. Entah terjatuh dimana atau hilang dicopet orang. Padahal, ungkap ibu yang pensiun dari departemen keuangan ini, si bapak selalu teliti dengan barang bawaannya. “Baru kali ini bapak kehilangan barangnya,” tutur ibu itu sedih.

Sepasang kekasih yang sudah menikah selama 40 tahunan itu langsung mengecek tempat yang pernah mereka lalui hari itu. Namun, setelah berkeliling hasilnya nahas. Mereka tak menemukan tas mungil yang berisi paspor dan sejumlah uang tersebut. Mereka berdua kemudian lepas dari rombongan yang melanjutkan safari keliling Istanbul.

Untuk menenangkan pikiran, mereka kembali ke hotel. Mereka juga berpikir sang suami tak bisa jalan-jalan keluar hotel karena tak memiliki paspor sekaligus visa. Si pembina travel yang bertugas langsung menghubungi kedutaan atau konsulat jenderal Republik Indonesia terdekat untuk melaporkan salah satu anggotanya yang kehilangan paspor. Dihubungi demikian, Konjen RI di Istanbul langsung mengarahakan mereka untuk melaporkan diri dan tinggal di kantor KJRI hingga semua urusan selesai.

Mobil yang akan membawa kami ke tempat penginapan panitia itu mampir sejenak ke bandara untuk mengantar bapak yang kehilangan paspor beserta istrinya. Kami pun mengantar mereka sampai ke gerbang Bandara Internasional Ataturk. KJRI membantu membuatkan paspor pengganti dan membuat surat keterangan bahwa yang bersangkutan kehilangan paspor di Istanbul.

Satu hal yang paling membuat mereka sedih. Karena paspor hilang, mereka tak bisa berangkat ke Arab Saudi untuk beribadah umroh. Padahal inti perjalanan mereka adalah untuk berziarah ke tanah suci Masjidil haram untuk berumroh. Sementara ke Istanbul hanyalah perjalanan tambahan. Walapun ada kesedihan lainnya, yaitu sejumlah uang mereka juga hilang yang tersimpan di dalam tas mungil yang hilang itu.

Satu yang saya banggakan dari istri yang sudah menemani suaminya empat dekade itu. Ibu itu sebenarnya bisa saja berangkat umroh tanpa suaminya. Karena paspor dan visa sang ibu itu masih ada dan berlaku. Tapi ia mengaku tak mau berangkat sendiri. “Saya memilih untuk tidak berangkat dan menemani bapak,” ujarnya.

Di kala suami sedih, papar ibu itu, dirinya tidak mau meninggalkannya. Sebab, susah dan senang harus ditanggung bersama. “Bapak selalu ada di samping saya. Saya pun harus begitu,” kata ibu yang memiliki tiga anak lelaki dan enam orang cucu.

Sang ibu berkisah, sebenarnya mereka sudah pernah melaksanakan umroh beberapa kali, bahkan ibadah haji pun sudah pernah dilakukannya beberapa tahun silam. Keinginan mereka saat itu adalah berumroh dan melaksanakan jalan-jalan tambahan. Dan daftarlah mereka untuk berumroh plus jalan-jalan ke Istanbul. “Sebab Istanbul salah satu kota tujuan wisata yang bagus,” ujarnya.

Tapi, Allah punya rencana lain. Bapak dan Ibu itu kembali ke tanah air tanpa mampir ke Arab Saudi.

Mendengar itu saya hanya diam menelan air ludah, dan mencoba untuk membesarkan hati mereka. “Allah punya rencana lain untuk bapak dan ibu,” kata saya. “Dan selalu ada hikmah di balik sebuah kejadian,” tambah saya.

Saya jadi teringat sebuah kalam Ilahi dalam Quran surat Alhadid (57) ayat 22 dan 23, yang artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhulmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Dan sabar memang terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, sabar dalam melaksanakan perintah Allah. Kedua, sabar dalam menjauhi larangan Allah. Ketiga, sabar dalam menerima qada dan qadar. Kejadian yang menimpa sepasang suami istri ini adalah termasuk dalam sabar yang ketiga.

Kadang kala, secara mendadak kita menerima sesuatu yang tidak kita inginkan. Maka hal yang paling penting dan utama yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semuanya kepada Allah. Karena semua ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Dan yang dapat menenangkan hati di kala gundah dan galau adalah menerima semua qada dan qadar yang telah dituliskan Allah itu dengan ikhlas.

0 komentar:

Posting Komentar