(Disampaikan pada Pengajian Ibu-ibu Al-Hikmah
Ankara, Selasa, 12 Maret 2013)
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT
yang dengan rahmat dan nikmat yang diberikanNya berupa nikmat iman dan Islam
kita dapat berkumpul di pengajian ini. Shalawat serta salam kita hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sebab Allah dan para malaikat pun menghadiahkan
shalawat dan salam kepada manusia yang sempurna di muka bumi ini.
Kajian kali ini seperti yang diminta
oleh Puan Rumah Ibu Eka, kita mengaji tentang bekal apa yang akan kita bawa ke
alam akhirat nanti. Baiklah mari kita mulai. Cerita ini saya kutip dari laman
muslim.or.id. bahwa suatu ketika Khalifah kaum muslimin yang ketiga Utsman bin
Affan RA jika melihat kuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga
membasahi jenggotnya.
Suatu hari ada seorang yang bertanya: “Tatkala
mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis
ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari
(siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak
selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR.
Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya
dalam Misykah al-Mashabih)
Bagaimanakah perjalanan seseorang jika
ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh
al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:
Suatu hari kami mengantarkan jenazah
salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar.
Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah SAW pun
duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas
kepala kami ada burung gagak yang hinggap.
Rasulullah SAW memainkan sepotong dahan
di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda,
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah
ini dua atau tiga kali.
Kemudian beliau SAW bersabda:
“Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan
akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah
secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu
duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang.
Setelah itu turunlah malaikat pencabut
nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut
nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput
ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari
tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah
kendil.
Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam
sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu
dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga
terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.
Kemudian nyawa yang telah dikafani itu
diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka
bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin
fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang
terbaik ketika di dunia.
Sesampainya di langit dunia mereka
meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada
di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka
sampai di langit ketujuh.
Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah
nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya
di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan
kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’
Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke
jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya
untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’
jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’
sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk
kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah SAW” jawabnya.
‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka
berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’.
Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku
benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu
bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga
(memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.
Saat itu datanglah seorang (pemuda
asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum
sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu
bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’.
‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku
(segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga
dan hartaku.
Adapun orang kafir, di saat dia dalam
keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi,
turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori
kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut
nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina
keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’.
Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’
di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut
(dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di
kapas basah.
Begitu nyawa tersebut sudah berada di
tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka
hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain
mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di
muka bumi.
Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap
mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah
yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan
namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka
minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman
Allah:
Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke
jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya
bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua
kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka
berdua bertanya lagi,
‘Siapakah orang yang telah diutus untuk
kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari
langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke
arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya.
Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan)
menancap satu sama lainnya.
Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka
amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku
datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan
bagimu’.
Orang kafir itu seraya bertanya,
‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’
jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang
kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh
al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)
Maka apa syarat agar kita mendapatkan
tempat yang terbaik di akhirat yang dinamakan surga? Jawabannya adalah takwa. Apa
itu syarat menjadi manusia takwa? Syarat takwa adalah pertama, percaya kepada yang ghaib. Kedua, mendirikan shalat.
Ketiga, memberikan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya alias berderma atau bersedekah.
Keempat, percaya kepada apa yang diturunkan
kepada engkau (Muhammad SAW) dan apa yang diturunkan sebelum engkau. Dan kelima
percaya kepada akhirat.
Sekarang apa itu akhirat? Akhirat adalah
berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti hari akhir. Secara maknawi
akhirat dapat berarti bahwa hari kebangkitan setelah kematian. Akhirat banyak
disebut dalam Alqur’an sebanyak 115 kali yang mengisahkan tentang hari kakhir
atau hari kebangkitan. Akhirat juga termasuk dalam rukun iman yaitu percaya
kepada hari akhir.
Menurut hadits, ada empat perkara apabila
diberikan kepada seseorang sesungguhnya ia telah memperoleh kebaikan dunia dan
akhirat, yaitu : Pertama, Hati yang senantiasa bersyukur. Kedua, Lisan yang
senantiasa berdzikir. Ketiga, Tubuh yang senantiasa sabar dalam menanggung
musibah. Keempat, Istri yang tidak pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau
terhadap harta benda suaminya. Hadits riwayat Tarmidzi & Ibnu Hibban.
Mari kita bahas satu-persatu, yang
pertama adalah Hati yang senantiasa bersyukur. Dalam surat Ar-Rahman (55)
disebutkan satu ayat yang diulang berkali-kali hingga 31 kali. Ayat tersebut adalah
“Fabi-Ayyi Ala-I Rabbikuma Tukazziban” yang artinya adalah “Maka Nikmat Tuhanmu
yang Manakah yang Kamu Dustakan?”
Mengapa Allah berulang kali mengulang
ayat tersebut? Jawaban pastinya hanya Allah yang Mahatahu. Tapi menurut
tafsiran saya bahwa kita sebagai manusia memang sering lupa akan nikmat yang
diberikan Tuhan kepada kita. Kita kadang teringat dengan nikmat itu di kala kita
sempit. Di kala kita sakit. Di kala kita sedih dan lain sebagainya yang serupa.
Bahkan dalam sebuah ayat dikatakan,
jikalau saja pohon-pohon dijadikan pena dan air lautan dijadikan tintanya, maka
nikmat Tuhan tidak pernah bisa dilukiskan dengan tuntas. Meski demikian, meski
dengan banyaknya nikmat Tuhan itu kita selalu saja mengeluh dengan apa yang
menimpa kita. Dengan apa hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Maka dengan begitu kita harus selalu bersyukur dengan apa yang saat ini kita lakukan dalam hidup ini yang sesuai dengan syariat Islam.
Yang kedua adalah Lisan yang senantiasa
berdzikir. Ini adalah kenikmatan yang luar biasa. Sebab jika kita sudah
membiasakan zikir kepada Allah di setiap waktu, maka apapun keadaan kita, maka
kita tidak akan sedih. Sebab hanya dengan berzikirlah maka hati kita akan
tenang.
Ada sebuah ungkapan. Hakikat rumah itu
ada di dalam hati kita. Dalam jiwa kita. Meski kita berada di tanah asing, jika
kita sudah memiliki rumah itu maka kita akan tenang. Bagaimana membangun rumah
itu? Menurut saya membangun rumah yang sebenarnya yaitu dengan perbanyak zikir
kepada Allah SWT.
Bukankah Allah sering menyebutkan dalam
firmanNya agar kita sebagai Muslim banyak berzikir di setiap waktu, di pagi
hari, di malam hari dan di siang hari. Berzikir senantiasa di saat kita bangun,
di saat kita berdiri, di saat kita duduk, disaat kita berbaring, di saat bekerja dan sebagainya. Jika
bangunan rumah kita kokoh dengan zikir maka semuanya akan terasa nikmat. Insya Allah.
Seperti apa yang sering disebutkan oleh
Ustadz Yusuf Mansur bahwa kita harus selalu zikir dan mengingat Allah. Sesibuk apapun
itu kita harus prioritaskan tiga hal. Pertama Allah dulu. Kedua, Allah lagi. Dan
ketiga, Allah terus. Artinya bahwa kita manusia ini milik Allah dan akan
kembali kepadaNya.
Yang ketiga adalah tubuh yang senantiasa
sabar dalam menanggung musibah. Sabar pada hakikatnya bisa dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama sabar dalam menjalankan semua perintah Allah, kedua sabar
terhadap larangan-larangan Allah dan ketiga adalah sabar dalam menimpa musibah.
Yang harus kita lakukan jika mendapat
musibah adalah kita harus mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sesunggunya
kita milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya. Jadi, tidak ada
musibah dan kejadian di muka bumi ini tanpa sepengetahuan Allah, Tuhan alam
semesta ini.
Sabar memang bukan teori tapi itu adalah
praktek. Orang mungkin dengan mudah mengatakan sabar tapi susah untuk
melakukannya. Bukan orang yang sabar yang suka mengatakan kalau dirinya sudah
sabar. Seperti kata-kata berikut ini,
saya ini sudah sabar tapi.. dan seterusnya ini yang menjadikan dia
tidak sabar. Sabar itu tidak mengenal waktu.
Meski begitu, Allah memberikan janjiNya.
Dan janji Allah selalu tepat. Bahwa berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang bersabar yang jika ditimpa musibah mengatakan bahwa mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya. Jadi
setelah musibah pasti ada kenikmatan.
Bahkan bisa jadi musibah itu adalah
kenikmatan itu sendiri. Kok bisa? Iya, karena saat musibah itulah kita dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Kita langsung mengadu kepada Allah. Kita bisa
menangis di atas sajadah dalam dua pertiga malam. Bukankah Allah sangat senang dengan
isakan tangis hambaNya yang merengek meminta kasih sayangNya? Jadi kita harus
menjadikan musibah ini menjadi kenikmatan.
Dan keempat adalah Istri yang tidak
pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau terhadap harta benda suaminya. Kenapa
harus istri? Sebab istri adalah madrasah atau sekolah pertama bagi
anak-anaknya. Jika sekolahnya benar dan lurus, maka semuanya akan benar dan
lurus, insya Allah.
Logiknya begini. Anak yang baik terlahir
dari keluarga yang baik. Keluarga yang baik terjadi jika ibu dari keluarga itu baik. Maka, ibu-ibu yang baik itu adalah istri yang shalihah. Istri-istri yang shalehah ini yang akan
menjadikan sebuah masyarakat baik. Dan masyarakat yang baik itu terdiri
atas keluarga-keluarga yang baik. Dan Negara yang baik adalah terdiri atas
masyarakat-masyarakat yang baik. Dan itu bisa terjadi jika semua ibu-ibu itu
adalah istri-istri yang shalihah.
Dan dunia ini adalah perhiasan. Sebaik-baiknnya perhiasan adalah wanita shalihah. Dan istri shalihah adalah perhiasan yang paling indah di dunia maupun akhirat. Istri shalehah inilah yang tidak pernah berkhianat baik terhadap dirinya atau terhadap harta benda suaminya. Jadi seorang lelaki akan menjadi bahagia di dunia dan akhirat jika mendapatkan istri yang shalihah. Wallahu a’lam bisshawab.
Demikian pemaparan kajian pada Pengajian
Al-Hikmah kali ini. Mohon maaf jika banyak kesalahan dan itu datangnya dari
saya pribadi. Dan jika ada kebenaran, itu mutlak datangnya dari Allah SWT.