Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Sabtu, 23 Agustus 2025

Jodoh di Balik Perantara (Cerpen)

 


Arman tidak pernah menyangka, hidupnya akan penuh kejutan di usia tiga puluh dua tahun. Ia seorang dosen muda di sebuah kampus negeri. Sederhana, tenang, dan lebih suka menghabiskan waktu membaca buku dibanding nongkrong. Itu sebabnya, meski banyak teman sebaya sudah berumah tangga, Arman masih sendiri.

“Man, kapan kamu nyusul?” tanya ibunya setiap kali ia pulang ke rumah di kampung.

Arman hanya tersenyum. “Doakan saja, Bu.”

Di balik senyum itu, ia tahu bahwa hatinya kerap resah. Ia bukan tidak ingin menikah, hanya saja pertemuan dengan calon yang tepat selalu kandas. Entah karena ketidakcocokan, atau sekadar pertemuan basa-basi tanpa kelanjutan.

Suatu hari, seorang teman lama mengajaknya ikut pengajian di rumah sahabatnya. Di sana, Arman berkenalan dengan Laila—perempuan ramah berusia akhir dua puluhan yang dikenal pandai menjodohkan teman-temannya. Bukan perjodohan dalam arti sempit, melainkan perantara: mempertemukan mereka yang sama-sama mencari.

“Bang Arman, insyaAllah saya bantu ya. Banyak kok teman saya yang baik, shalihah, cocok buat abang,” kata Laila sambil tersenyum.

Arman hanya mengangguk. Dalam hati ia geli. Baru kali ini ia dikenalkan seseorang yang tampak begitu percaya diri mengatur urusan jodoh orang lain.

Tak lama kemudian, Laila menghubungkan Arman dengan beberapa perempuan. Ada yang bekerja sebagai perawat, ada pula yang sedang menempuh S2. Semua baik, tapi entah kenapa Arman merasa hampa. Obrolan tidak mengalir, hati tak bergetar.

Suatu sore, Arman bertemu dengan salah satu calon, Dina, seorang perawat cantik dan sopan. Mereka duduk di sebuah kafe, ditemani teh hangat.

“Bang Arman, jujur saja… saya merasa abang orang baik,” kata Dina sambil tersenyum canggung.

“Alhamdulillah. Saya juga melihat Dina perempuan yang shalihah,” balas Arman.

Namun percakapan setelah itu terasa kaku. Arman berusaha mengulik, tapi selalu berujung basa-basi. Dina pun akhirnya menatapnya dalam.

“Bang, maaf kalau saya bicara terus terang. Saya merasa abang hadir di sini karena ingin mencoba, bukan karena benar-benar ingin mengenal saya. Betul?”

Arman terdiam. Kata-kata itu menamparnya. Ia ingin membantah, tapi hatinya tahu Dina benar.

“Iya, mungkin begitu. Saya minta maaf, Dina. Saya hanya ingin berusaha, barangkali ini jalannya.”

Dina menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Tak apa, Bang. Jodoh itu bukan soal dipaksa. Saya doakan abang menemukan orang yang benar-benar membuat hati mantap.”

Kalimat itu membekas dalam hati Arman. Saat ia berjalan pulang, bayangan yang muncul justru bukan Dina, melainkan Laila. Perempuan yang mempertemukan mereka, yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya.

Sejak saat itu, Arman mulai sadar. Laila bukan sekadar comblang. Ia teman yang mengerti, pendengar yang sabar, dan diam-diam pengisi ruang kosong di hatinya.

Malam-malam mereka dipenuhi obrolan panjang. Laila curhat tentang pekerjaannya sebagai guru, tentang mimpinya melanjutkan studi, bahkan tentang kesepiannya.

“Kadang saya iri sama orang lain, Bang,” tulis Laila suatu malam. “Saya bisa bantu banyak teman ketemu jodohnya, tapi diri saya sendiri masih begini-begini saja.”

Arman tersenyum membaca pesan itu. Baru kali ini ia melihat sisi rapuh Laila. Biasanya perempuan itu selalu ceria, penuh semangat.

“Jangan gitu, La. Mungkin Allah menyiapkan yang lebih baik buat kamu,” balasnya.

Sejak saat itu, perasaan Arman tumbuh semakin kuat. Tapi ia takut mengaku. Bagaimana kalau Laila tersinggung? Bagaimana kalau ia kehilangan sahabat yang selama ini menjadi penguatnya?

Hingga suatu malam, Arman memberanikan diri mengajak Laila bertemu di sebuah kafe. Mereka duduk berhadapan, ditemani dua cangkir kopi hangat.

“La, saya mau bicara serius,” kata Arman membuka percakapan.

Laila menatapnya, agak terkejut. “Tentang calon lagi?”

Arman menggeleng. “Bukan. Tentang kamu.”

Laila terdiam.

“Saya sadar, beberapa waktu ini kamu sudah banyak membantu. Tapi di balik semua itu, saya merasa nyaman sama kamu. Entah kenapa, saya justru melihatmu… sebagai orang yang saya cari.”

Laila menunduk. Wajahnya memerah. “Bang, jangan bercanda. Saya ini cuma comblang.”

“Justru itu. Saya tidak mau pura-pura. Saya serius, La.”

Suasana hening sejenak. Laila menggigit bibir, menahan gugup.

“Jujur, saya juga sering merasa dekat dengan abang. Tapi saya takut, kalau ini cuma rasa sesaat. Bagaimana kalau nanti abang menyesal?”

Arman menatapnya mantap. “Kalau saya tidak mencoba, justru saya yang menyesal.”

Perjalanan setelah itu tidak serta-merta mudah. Laila sempat bimbang. Ia khawatir teman-temannya menganggap aneh: comblang malah menikah dengan orang yang hendak ia jodohkan. Namun perlahan, ia membuka hati. Ia menyadari bahwa bersama Arman, ia menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Beberapa bulan kemudian, Arman memberanikan diri datang ke rumah orang tua Laila. Dengan pakaian sederhana, ia menyampaikan niat baiknya.

“Pak, Bu, saya datang dengan niat melamar Laila,” ucapnya dengan suara bergetar namun tegas.

Kedua orang tua Laila saling pandang, lalu tersenyum haru. “Kami percaya pada pilihan Laila. Kalau dia yakin, kami pun merestui.”

Air mata Laila menetes. Ia masih tak percaya, lelaki yang dulu hanya ia bantu menemukan pasangan, kini justru menjadi jodohnya sendiri.

Hari pernikahan tiba. Aula sederhana itu dipenuhi keluarga dan sahabat. Arman duduk dengan tenang, menunggu ijab kabul. Di sampingnya, saksi dan penghulu sudah siap.

“Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Arman bin Abdullah, dengan putri saya Laila binti Rahman, dengan mas kawin berupa cincin emas dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya Laila binti Rahman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Suara Arman lantang, membuat hadirin bersorak takbir. Tangis bahagia pecah.

Di kursi pelaminan, setelah acara usai, Arman berbisik pada Laila, “Ternyata benar, jodoh itu misteri. Siapa sangka, saya menikah dengan comblang saya sendiri.”

Laila tertawa kecil sambil menyeka air matanya. “Berarti saya comblang paling berhasil, karena akhirnya menjodohkan diri saya dengan kamu.”

Mereka tertawa bersama, lalu saling menggenggam erat. Hari itu, Arman belajar satu hal: kadang kita terlalu sibuk mencari jauh ke luar, padahal jodoh ada tepat di hadapan. Hanya butuh keberanian untuk melihatnya dengan hati.

Pernah Membuka Hati (Cerpen)

 



Awalnya, pertemuan mereka tak lebih dari obrolan ringan di depan kelas.

Neesa, mahasiswi tingkat dua jurusan Komunikasi, duduk di bangku taman kampus sambil memegang buku catatan. Angin sore mengibaskan ujung jilbabnya, ketika tiba-tiba seorang pria dengan kemeja kotak-kotak mendekat.

“Boleh duduk?” tanya Reezal, menunjuk kursi panjang di sebelahnya.

“Silakan,” jawab Neesa, singkat tapi ramah.

Sejak itu, mereka mulai sering berpapasan—di perpustakaan, kantin, atau sekadar bertegur sapa di lorong fakultas. Entah bagaimana, obrolan mereka selalu mengalir, dari topik kuliah sampai musik indie yang keduanya sukai.

Waktu berjalan, pertemanan itu berubah menjadi ikatan yang lebih kuat. Mereka saling mengirim pesan tengah malam untuk mengeluhkan tugas kuliah, berbagi foto kucing lucu, bahkan saling mengingatkan untuk makan saat sedang sibuk.

Reezal menjadi saksi saat Neesa menangis karena nilainya turun di semester lima.

“Kalau orang lain lihat kamu cuma mahasiswi pintar, aku lihat kamu juga pejuang,” kata Reezal malam itu.

Neesa membalas dengan cengiran tipis, meski matanya sembab. “Terima kasih, Zal.”

Begitu pun sebaliknya, Neesa adalah tempat Reezal bercerita tentang keluarganya yang sering menuntut lebih. Saat Reezal merasa lelah, Neesa selalu punya kalimat sederhana yang menenangkan,

“Kadang, kita cuma butuh istirahat, bukan menyerah.”

Kedekatan itu membuat orang-orang di sekitar mulai berasumsi. Beberapa teman mereka bahkan berbisik-bisik, “Kayaknya mereka pacaran deh.” Tapi bagi Neesa, Reezal hanyalah sahabat—atau setidaknya, itu yang selalu ia katakan pada dirinya.

Hari itu, selepas sidang proposal skripsi, Reezal mengajak Neesa duduk di sudut kafe dekat kampus. Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, dan aroma kopi hangat memenuhi udara.

“Neesa…” suara Reezal terdengar berbeda, sedikit berat, seakan menahan sesuatu.

Neesa menoleh, menunggu kelanjutannya.

“Aku nggak tahu cara bilangnya tanpa bikin suasana aneh… tapi aku rasa aku nggak bisa terus pura-pura jadi cuma sahabat. Aku suka sama kamu.”

Kalimat itu jatuh seperti batu ke dalam hati Neesa. Ia mengedip beberapa kali, mencoba menyusun jawaban yang tepat.

“Zal…” Neesa menarik napas panjang. “Aku hargai keberanian kamu. Tapi aku… nggak bisa. Aku nggak punya perasaan yang sama.”

Reezal terdiam. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Neesa—mungkin tanda bahwa ini hanya bercanda. Tapi tatapan itu tak ia temukan.

“Kenapa?” suaranya nyaris tak terdengar.

“Bukan karena kamu nggak cukup baik. Kamu salah satu orang terbaik yang pernah aku kenal. Cuma… aku takut hubungan ini berubah kalau kita coba lebih dari teman,” ucap Neesa pelan.

Reezal tersenyum hambar, mencoba menyembunyikan kecewa yang menyesak di dadanya. “Aku ngerti. Maaf udah bikin suasana nggak nyaman.”

Sejak hari itu, hubungan mereka tetap ada, tapi tak lagi sama. Obrolan yang dulu mengalir kini terasa hati-hati. Pesan singkat yang dulu datang tanpa jeda, mulai jarang masuk.

Beberapa bulan berlalu. Skripsi mereka selesai, wisuda di depan mata. Namun di antara toga dan bunga, Neesa merasa ada sesuatu yang masih mengganjal.

Ia mengingat malam-malam di mana ia tersenyum membaca pesan Reezal, sore-sore di taman kampus saat mereka berbicara tentang mimpi masing-masing, dan tatapan Reezal yang selalu penuh perhatian.

Yang tak pernah ia akui, bahkan pada dirinya sendiri, adalah bahwa ia pernah—walau sebentar—membuka hati untuknya.

Neesa ingat suatu malam, ketika Reezal membawakan sup hangat saat ia sakit. Bukan hanya supnya yang membuat hangat, tapi cara Reezal memastikan ia makan, cara ia duduk diam menemaninya menonton film, tanpa ponsel, tanpa tergesa. Malam itu, hati Neesa sempat berbisik: mungkin dia orangnya.

Tapi bisikan itu segera ia tutup rapat dengan alasan-alasan logis—takut kehilangan sahabat, takut patah hati, takut Reezal hanyalah fase singkat di hidupnya.

Setelah wisuda, mereka jarang bertemu. Pekerjaan membawa keduanya ke kota yang berbeda. Namun suatu sore, Neesa sedang berjalan di pusat perbelanjaan ketika ia melihat sosok familiar—Reezal, dengan kemeja putih, tertawa bersama dua temannya.

Mereka saling menyapa, lalu memutuskan duduk di sebuah kedai teh. Percakapan mengalir, sedikit canggung di awal, lalu perlahan kembali hangat seperti dulu.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, Reezal berkata, “Aku harus pulang. Ada kerjaan besok pagi.”

Neesa mengangguk, tapi sebelum Reezal bangkit, ia berkata, “Zal… ada sesuatu yang mau aku bilang.”

Reezal menatapnya, menunggu.

“Aku nggak tahu ini penting atau nggak buat kamu sekarang, tapi… aku pernah membuka hati untuk kamu.”

Alis Reezal terangkat, rautnya tak bisa ditebak. “Pernah?”

Neesa tersenyum samar. “Iya. Waktu itu aku cuma terlalu takut. Takut kalau kita gagal, aku kehilangan sahabat yang paling aku percaya. Jadi aku bilang ‘nggak’ waktu kamu mengungkapkan perasaan.”

Hening. Hanya suara denting sendok di meja sebelah.

Reezal akhirnya berkata, “Aku nggak nyangka kamu bakal ngomong gitu.” Ia tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia—lebih seperti tawa seseorang yang baru mengerti sebuah teka-teki yang terlambat.

“Aku cuma nggak mau kamu pergi tanpa tahu itu,” lanjut Neesa.

Reezal menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Neesa… terima kasih. Tapi sekarang aku udah nggak di titik yang sama lagi. Perasaanku udah berubah.”

Neesa mengangguk, berusaha tersenyum. “Aku ngerti. Nggak apa-apa.”

Malam itu mereka berpisah di depan pintu kedai. Neesa berjalan pulang dengan langkah ringan tapi hati berat. Ia tahu kesempatan itu sudah lewat, dan mungkin tak akan kembali.

Namun di tengah kesedihan yang samar, ia merasa lega. Karena akhirnya, ia tak lagi menyimpan rahasia itu sendirian.

Dan meski jalannya tak berujung bersama, Neesa akan selalu mengingat bahwa di satu waktu, di satu masa, ia pernah membuka hati—dan itu cukup.

Kamis, 14 Agustus 2025

Korea, Kenangan, dan Janji Suci: Sebuah Kepulangan yang Terlambat (Cerpen)



Bagian 1: Kepergian Mahmud dari Bogor

Hujan sore di Bogor selalu punya caranya sendiri untuk mengiris hati. Rintik-rintik jatuh di atap seng rumah sederhana itu, menimbulkan bunyi berirama seperti tabuhan gendang yang dimainkan pelan. Mahmud duduk di kursi kayu yang catnya mulai terkelupas, menatap kosong ke arah halaman yang basah. Aroma tanah bercampur dedaunan basah memenuhi hidungnya, membawa ingatan pada masa-masa kecil saat ia berlari-larian di halaman itu, tanpa beban, tanpa rencana besar, tanpa janji-janji yang harus ditepati.

Namun sore itu berbeda. Di hadapannya, sebuah koper hitam sudah tertutup rapi, resletingnya terkunci, siap dibawa menuju perjalanan panjang yang akan mengubah seluruh hidupnya.

"Jadi, besok subuh kamu berangkat, Nak?" suara Ibu memecah keheningan. Perempuan itu, dengan kerudung sederhana dan wajah yang mulai menua, memandang anak sulungnya dengan tatapan yang sulit diartikan—antara bangga dan berat hati.

"Iya, Bu," jawab Mahmud pelan. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa berat. "Penerbangan jam delapan pagi dari Soekarno-Hatta. Agen bilang saya harus sudah di bandara jam lima."

Ayahnya, lelaki tua berkulit legam karena bertahun-tahun bekerja di ladang, duduk di sudut ruangan sambil merokok kretek. Tidak banyak bicara, hanya sesekali menghela napas panjang. Ayah Mahmud bukan tipe orang yang pandai mengungkapkan perasaan, tapi Mahmud tahu betul bahwa kepergiannya adalah pukulan bagi ayahnya. Anak pertama yang biasanya menjadi sandaran di rumah, kini harus merantau jauh ke negeri orang.

"Ayah..." Mahmud mencoba memulai pembicaraan. Lelaki itu hanya menatapnya sekilas, lalu mematikan rokoknya di asbak tanah liat.

"Jaga dirimu di sana. Ingat tujuanmu," katanya singkat, lalu berdiri dan masuk ke kamar. Mahmud tahu, itu caranya menahan air mata.

Kepindahan Mahmud ke Korea Selatan bukanlah keputusan mendadak. Sejak dua tahun terakhir, ia sudah memimpikan hal ini. Hidup di Bogor yang serba pas-pasan membuatnya berpikir keras mencari jalan keluar. Menjadi buruh pabrik di Cibinong tidak banyak memberi harapan. Gajinya habis untuk biaya rumah tangga orang tua dan sekolah dua adiknya.

Di sebuah warung kopi, ia mendengar kabar tentang program kerja ke luar negeri—Korea Selatan, Jepang, Taiwan—dengan gaji jauh lebih tinggi. Tapi Mahmud tidak mau hanya menjadi pekerja kasar. Ada cita-cita yang ia simpan diam-diam: ia ingin kuliah di luar negeri, mendapatkan gelar, lalu pulang membawa kebanggaan bagi keluarganya.

Selain itu, ada satu nama yang terus membayang di pikirannya: Suciwati.

Suciwati adalah gadis kampung sebelah. Mereka bertemu pertama kali saat menghadiri acara pengajian remaja masjid. Mahmud jatuh hati sejak pandangan pertama. Suci, begitu ia memanggilnya, adalah tipe gadis yang lembut tapi tegas, pandai mengaji, dan sesekali membantu ibunya berjualan di pasar. Mereka jarang bicara lama-lama, tapi tatapan Suci selalu memberi Mahmud semangat yang sulit dijelaskan.

Malam sebelum keberangkatan, Mahmud memberanikan diri mengirim pesan ke Suci lewat ponsel sederhana.

"Suci, besok aku berangkat. Doakan aku, ya. Aku janji pulang bawa dua hal: uang cukup buat masa depan, dan gelar S1. Kalau Allah izinkan, aku akan datang meminangmu."

Pesan itu terkirim, tapi balasan tidak langsung datang. Hampir tengah malam, ponselnya bergetar.

"Insya Allah, Mud. Aku doakan yang terbaik. Jaga diri di sana."

Singkat, tapi cukup membuat Mahmud tersenyum sebelum tidur.

Subuh berikutnya, udara Bogor masih dingin ketika Mahmud berangkat. Ibu mengantar sampai depan rumah, sementara Ayah memilih tetap di dalam—mungkin tak sanggup melihat anaknya pergi. Dua adiknya hanya melambaikan tangan sambil mengucek mata mengantuk.

Di perjalanan menuju Jakarta, Mahmud menatap keluar jendela bus. Pemandangan sawah, pasar, dan gang-gang kecil yang dulu menjadi jalannya pulang terasa seperti potongan film yang diputar lambat. Ia menghafalkan setiap detail, seolah takut semuanya akan hilang ketika ia kembali kelak.

Dalam hati ia berjanji, "Aku akan pulang membawa kemenangan. Aku akan kembali sebagai Mahmud yang berbeda—lebih terhormat, lebih berilmu, dan lebih mapan."

Ia tak pernah tahu, bahwa janji itu kelak akan menjadi beban yang menyayat hati.

Pesawat yang membawanya ke Seoul terasa dingin, meski ia duduk di kursi ekonomi yang sempit. Di saku jaketnya terselip secarik kertas kecil berisi daftar target hidupnya: bekerja keras, menabung, mendaftar kuliah di Seoul National University, lulus, pulang ke Indonesia, dan menikahi Suciwati.

Ia tidak menulis satu pun skenario kegagalan.

*****

Bagian 2: Kehidupan Mahmud di Korea Selatan sebagai Pekerja Migran

Angin musim dingin Seoul menyambut Mahmud seperti tamu tak diundang—menusuk kulit, menggigit tulang. Ia menunduk, mengeratkan jaket tipis yang ia bawa dari Indonesia, tapi dingin itu menembus begitu saja. Dari bandara Incheon, ia dibawa agen ke sebuah asrama buruh di pinggiran kota Ansan, wilayah yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya pekerja migran dari Asia Tenggara.

Asrama itu sederhana: kamar berukuran empat kali lima meter, dihuni empat orang. Di dalamnya, tempat tidur susun, lemari besi kecil, dan pemanas ruangan yang sudah tak maksimal. Aroma campuran mie instan, sepatu kerja basah, dan parfum murah memenuhi udara.

“Nama kamu siapa?” tanya seorang pria berkepala plontos, usianya sekitar tiga puluhan, dengan logat Jawa yang kental.

“Mahmud. Dari Bogor,” jawabnya sambil mengulurkan tangan.

“Wah, sama-sama Indonesia, aku dari Kendal. Namaku Darto. Nanti kalau bingung soal kerjaan, tanya aja,” kata pria itu sambil menepuk bahu Mahmud.

Hari pertama kerja adalah ujian fisik dan mental. Mahmud ditempatkan di sebuah pabrik pengolahan logam, bagian pengepakan. Pagi-pagi, ia harus memakai sepatu baja, helm, sarung tangan tebal, dan masker. Suara mesin menderu tanpa henti, percikan api las beterbangan, dan udara panas bercampur debu logam membuat tenggorokannya kering.

Supervisor mereka, seorang pria Korea bernama Mr. Kim, terkenal galak. Bahasa Inggrisnya terbatas, jadi instruksi sering disampaikan dengan campuran bahasa Korea dan gerakan tangan.

“빨리! 빨리!” (“Cepat! Cepat!”) teriaknya, membuat Mahmud gugup di hari pertama.

Sepulang kerja, badannya remuk. Tapi Darto mengingatkannya, “Sabar, Mud. Bulan pertama itu adaptasi. Ingat, kita di sini buat cari duit, bukan cari nyaman.”

Meski lelah, Mahmud tidak mau membiarkan mimpinya kuliah menguap. Setiap malam, setelah mandi air hangat dan makan mie instan, ia membuka buku bahasa Korea yang ia beli di toko barang bekas. Huruf-huruf Hangul yang awalnya terlihat seperti simbol aneh, perlahan mulai dikenalnya.

Kadang ia belajar di warung kopi milik orang Vietnam, di mana pekerja migran dari berbagai negara berkumpul. Di sana ia bertemu beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Seoul National University. Dari merekalah Mahmud tahu bahwa untuk masuk ke SNU, ia harus punya kemampuan bahasa Korea setara TOPIK level 4 atau lebih.

Itulah titik di mana ia menetapkan tujuan baru: menabung untuk biaya kuliah sambil belajar bahasa Korea hingga siap mendaftar.

Tahun-tahun pertama berlalu dalam ritme yang keras: kerja 12 jam sehari, 6 hari seminggu. Tubuhnya terbiasa dengan nyeri otot, telapak tangan kapalan, dan tidur yang selalu kurang. Namun tabungannya mulai tumbuh. Ia jarang mengirim uang ke rumah kecuali untuk kebutuhan mendesak—bukan karena pelit, tapi karena ia tahu, rencana kuliahnya akan membutuhkan biaya besar.

Suciwati masih sesekali mengirim pesan lewat aplikasi chat. Sapaan singkat seperti, “Jaga kesehatan, Mud,” atau “Jangan lupa makan.” Bagi Mahmud, pesan-pesan itu cukup untuk membangun imajinasi masa depan di mana mereka akan hidup bersama.

Tahun ketiga di Korea menjadi titik balik. Bahasa Korea-nya sudah lumayan lancar. Ia mulai berani bercakap dengan warga lokal, memesan makanan tanpa menunjuk gambar di menu, dan bahkan bercanda sedikit dengan Mr. Kim.

Suatu malam, di perpustakaan umum dekat asrama, ia membuka situs resmi Seoul National University. Ia membaca persyaratan masuk, biaya kuliah, beasiswa, dan jadwal penerimaan. Ia merasa detak jantungnya cepat—semua terasa nyata.

“Aku bisa,” bisiknya pada diri sendiri.

Darto, yang duduk di sebelahnya sambil menonton video YouTube, hanya melirik sekilas. “Kuliah? Gila kamu, Mud. Udah nyaman kerja, ngapain capek-capek kuliah?”

Mahmud tersenyum. “Aku ke sini bukan cuma mau kerja, To. Aku mau pulang bawa ijazah. Sama... bawa calon istri,” katanya sambil menatap layar ponsel di mana foto Suci tersimpan.

Tahun keempat, Mahmud resmi diterima sebagai mahasiswa S1 di Seoul National University, jurusan Ekonomi Internasional. Ia mendapat beasiswa parsial, tapi tetap harus bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup. Pekerjaan malam di restoran Korea menjadi pilihan, meski itu berarti ia tidur hanya 4-5 jam sehari.

Hari-harinya kini dipenuhi perpaduan kuliah dan kerja. Pagi kuliah, sore hingga malam bekerja. Di sela-selanya, ia tetap menyapa keluarga lewat video call, meski kadang hanya beberapa menit karena lelah.

Ibu sering berkata, “Nak, kalau lelah, pulanglah. Di sini juga ada rezeki.”

Mahmud selalu menjawab, “Belum, Bu. Saya pulang nanti kalau semua sudah tercapai.”

Ia tidak pernah tahu bahwa waktu punya cara kejam untuk membalik rencana manusia.

Di tahun terakhir kuliahnya, Mahmud merasa hidupnya berada di jalur kemenangan. Nilai-nilainya bagus, tabungannya cukup, dan ia sudah mulai merencanakan kepulangan. Di kepalanya, ia membayangkan momen menginjakkan kaki di Bogor lagi, membawa koper berisi ijazah, uang untuk modal usaha, dan tentu saja, hati yang siap melamar Suci.

Dalam pikirannya, semua akan indah.

Ia tidak tahu bahwa jarak dan waktu sudah mulai mengikis ikatan yang ia tinggalkan di tanah kelahirannya.

*****

Bagian 3: Kepulangan Mahmud ke Indonesia

Bandara Incheon pagi itu penuh dengan wajah-wajah yang sibuk. Mahmud berdiri di antrean check-in sambil memegang koper besar berwarna hitam—koper yang sama ketika ia datang tujuh tahun lalu, tapi kali ini isinya berbeda. Di dalamnya ada setelan jas hitam yang akan ia kenakan saat melamar Suciwati, tumpukan buku kuliah yang ia tak rela tinggalkan, sebuah map berisi ijazah S1 dari Seoul National University, dan beberapa amplop berisi uang tabungan hasil kerja keras bertahun-tahun.

Ia memandang layar keberangkatan: Incheon – Jakarta, Gate 23.

Hatinya berdebar. Inilah momen yang ia tunggu sejak pertama kali menjejakkan kaki di Korea. Momen pulang dengan kepala tegak, janji terpenuhi.

Perjalanan 7 jam terasa singkat. Mahmud menghabiskan waktu dengan memandangi awan dari jendela pesawat, sambil membayangkan wajah ibu dan ayahnya saat melihatnya pulang. Ia memikirkan rencana: hari pertama ia akan langsung pulang ke rumah di Bogor, memberi kejutan. Esoknya, ia akan datang ke rumah Suci bersama keluarganya, membawa lamaran resmi.

Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, udara panas Jakarta menyergap. Keringat langsung mengalir di dahinya, kontras dengan dinginnya musim semi di Seoul yang baru ia tinggalkan. Ia menarik koper menuju pintu keluar, mencari angkot yang akan membawanya ke terminal bus menuju Bogor.

Perjalanan menuju Bogor membuatnya terbuai nostalgia. Jalan-jalan yang dulu ia lewati kini tampak berbeda. Ada bangunan-bangunan baru, kafe-kafe modern, dan lalu lintas yang lebih padat. Tapi di tengah semua itu, ia masih mengenali aroma tanah basah khas Bogor yang membawa pulang kenangan.

Sore itu, Mahmud tiba di gang kecil menuju rumahnya. Hatinya berdebar, langkahnya semakin cepat. Namun, setibanya di depan rumah, ia tertegun.

Pintu rumah tertutup rapat, cat dindingnya sudah pudar, dan halaman dipenuhi rumput liar. Ada gembok besar di pintu pagar.

Mahmud mencoba menelepon nomor adiknya, tapi tidak aktif. Ia lalu bertanya pada tetangga yang lewat.

“Pak, keluarga saya ke mana ya? Ini rumah Mahmud, anaknya Pak Hasan dan Bu Aminah,” tanyanya penuh harap.

Pria tua itu memandangnya lama, lalu menghela napas. “Kamu Mahmud? Aduh, Nak… kamu belum tahu, ya? Ibu kamu meninggal dua tahun lalu, bapakmu setahun lalu. Rumah ini udah lama kosong. Adik-adikmu pindah ke rumah pamanmu di Cilebut.”

Kalimat itu menghantam Mahmud seperti pukulan keras di dada. Dunianya mendadak berputar. Ia mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

“Kenapa… kenapa nggak ada yang kasih tahu saya?” suaranya lirih.

“Katanya waktu itu kamu sibuk kuliah dan kerja. Nomormu susah dihubungi. Adikmu cuma kirim kabar lewat Facebook, tapi mungkin kamu nggak baca,” jawab tetangga itu dengan nada menyesal.

Mahmud berdiri mematung di depan rumah yang kini hanya menjadi kenangan. Semua rencana kejutan pulang untuk membahagiakan orang tuanya hancur seketika. Mereka sudah tidak ada. Dan ia tidak ada di sisi mereka di saat terakhir.

Malam itu, Mahmud memutuskan menginap di rumah paman di Cilebut. Adik-adiknya memeluknya erat, tapi suasana hening. Tak ada yang tahu harus memulai percakapan dari mana. Setelah makan malam seadanya, Mahmud bertanya tentang Suci.

“Bagaimana kabar Suci? Dia masih di kampung, kan?” tanyanya, mencoba menyalakan secercah harapan.

Adiknya menunduk. “Kang… Suci sudah menikah setahun lalu. Orang tuanya menjodohkan dia dengan seorang pengusaha mebel dari Sukabumi. Katanya dia sudah menunggu lama, tapi nggak ada kepastian dari Kang Mahmud.”

Mahmud terdiam. Hatinya seperti diremas. Semua yang ia bayangkan selama bertahun-tahun—pulang, meminang Suci, hidup bahagia bersama orang tua—lenyap begitu saja.

Keesokan harinya, Mahmud memberanikan diri berjalan melewati rumah keluarga Suci. Dari luar, ia melihat pagar besi baru, taman kecil yang rapi, dan suara anak kecil tertawa dari dalam. Ia berdiri sebentar, lalu pergi tanpa mengetuk pintu. Ia tahu, tak ada gunanya mengusik hidup yang sudah dimiliki orang lain.

Hari-hari berikutnya, Mahmud terjebak dalam kebisuan. Ia duduk di beranda rumah paman, memandang langit sore, memikirkan apakah semua pengorbanannya sia-sia. Ia memang pulang dengan uang dan gelar, tapi apa artinya semua itu tanpa orang-orang yang ia cintai?

Beberapa teman lama menyarankan ia kembali ke Korea. “Kerja lagi aja, Mud. Di sini sekarang susah cari kerja,” kata mereka.

Tapi ada juga yang berkata, “Kamu sudah cukup. Mungkin ini waktunya membangun hidup di sini.”

Mahmud bimbang. Di satu sisi, Korea memberinya tujuan dan kesempatan. Di sisi lain, Indonesia adalah rumah, meski rumah itu kini tak lagi sama.

Malam itu, ia menulis di buku catatannya:

"Aku berangkat dengan janji, dan pulang dengan kehilangan. Haruskah aku kembali untuk mencari lagi, atau bertahan di sini dan mulai dari awal?"

Pertanyaan itu terus menggantung di kepalanya, tanpa jawaban pasti.

*****

Bagian 4: Dilema Mahmud — Antara Kembali ke Korea atau Memulai Hidup Baru di Indonesia

Malam di Cilebut terasa lebih sunyi dibanding malam-malam di Seoul. Di Korea, suara klakson bus, derap langkah orang di trotoar, dan dengung lampu neon selalu menemani. Di sini, yang terdengar hanya suara jangkrik, sesekali gonggongan anjing jauh di gang sebelah.

Mahmud duduk di teras rumah paman, secangkir kopi hitam di depannya mulai mendingin. Ia memandangi langit gelap yang bertabur bintang—pemandangan yang jarang ia temui di kota besar Korea. Tapi bukannya tenang, hatinya justru semakin gaduh.

“Jadi gimana rencanamu, Mud?” suara paman memecah keheningan. Lelaki itu duduk di kursi plastik sebelahnya, memegang rokok yang belum dinyalakan.

Mahmud menghela napas panjang. “Saya… nggak tahu, Paman. Kalau di Korea, saya sudah punya jalannya. Saya bisa kerja lagi, gaji besar, bahkan mungkin lanjut S2. Tapi… di sana nggak ada yang menunggu. Di sini pun… rumah sudah kosong, orang tua nggak ada, Suci pun…”

Suaranya menggantung, seperti tidak sanggup menyelesaikan kalimat.

Paman menatapnya lama. “Kamu boleh pintar, boleh sukses di luar negeri, tapi hidup itu bukan cuma soal kerja dan gelar. Kalau hati kamu nggak tenang, semua itu nggak ada artinya.”

Mahmud menunduk. Kata-kata itu seperti mengiris sesuatu di dalam dadanya.

Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar, lalu mulai mengingat perjalanan tujuh tahun terakhir. Kilas balik itu datang seperti potongan-potongan film.

Ia ingat hari-hari dingin di asrama pekerja migran, di mana ia makan mie instan sambil memegang buku bahasa Korea yang lusuh. Ingat saat-saat ia harus pulang kerja larut malam, lalu langsung tidur di perpustakaan kampus karena besoknya ujian. Ingat wajah Suci yang tersenyum di foto ponselnya—foto yang kini terasa seperti hantu dari masa lalu.

Dan ia juga ingat, di tengah semua perjuangan itu, ia sering menunda menelepon ibu. “Nanti saja kalau ada kabar baik,” pikirnya dulu. Tapi “nanti” itu tak pernah datang, sampai kabar kematian ibu dan ayah tiba ketika ia sudah terlambat.

Keesokan harinya, Mahmud memutuskan berjalan sendirian ke kampung lamanya. Rumah yang dulu menjadi pusat kehidupannya kini tak lebih dari bangunan sepi yang diselimuti lumut di temboknya. Ia berdiri lama di depan pintu pagar yang tergembok, menyentuh besinya yang dingin.

Tiba-tiba ia teringat malam sebelum berangkat dulu, saat ia berjanji pada dirinya:

"Aku akan pulang membawa uang dan gelar, lalu meminang Suciwati."

Ia tersenyum pahit. Janji itu kini seperti gurauan kejam yang ditulis takdir.

Siang itu, ia bertemu Darto—teman satu asrama di Korea—yang kebetulan sedang mudik ke kampung halaman di Kendal. Mereka bertemu di warung kopi dekat terminal.

“Wajahmu kusut banget, Mud. Kok beda sama waktu di Korea dulu,” kata Darto sambil menyeruput kopi.

Mahmud menceritakan semua yang terjadi. Darto hanya mengangguk-angguk, lalu berkata, “Kalau aku sih jelas. Balik lagi ke Korea. Hidup di sini berat, kerja susah, gaji nggak seberapa. Di sana kamu bisa bangun masa depan lagi. Siapa tahu nanti ketemu jodoh baru.”

“Tapi… kalau balik, aku takut makin jauh dari Indonesia. Takut… makin nggak punya alasan pulang,” jawab Mahmud.

Darto tertawa hambar. “Ya begitulah hidup perantau. Kita selalu ada di antara ‘ingin pulang’ dan ‘tak punya rumah untuk pulang’.”

Beberapa hari kemudian, Mahmud mencoba mencari pekerjaan di Bogor. Ia melamar di beberapa perusahaan, menunjukkan ijazah luar negeri yang ia banggakan. Tapi jawaban yang datang tidak sesuai harapan. Ada yang menolak karena overqualified, ada yang menawar gaji jauh di bawah standar.

Seorang manajer HRD bahkan berkata, “Pengalaman Anda di Korea memang luar biasa, Pak Mahmud. Tapi kami mencari orang yang mengerti budaya kerja lokal. Mungkin Bapak akan cocok kalau… membuka usaha sendiri saja.”

Kalimat itu semakin membuatnya bimbang. Ia punya modal untuk memulai usaha, tapi ia tidak tahu apakah hatinya siap menetap di sini.

Suatu sore, Mahmud mengunjungi makam orang tuanya. Kuburan sederhana di pinggir kampung, diapit pohon bambu yang bergemerisik ditiup angin. Ia duduk di tanah, mengusap batu nisan sambil berbisik,

“Bu, Yah… Maafkan Mahmud. Aku terlalu lama di sana. Aku pikir… aku sedang berjuang untuk kita. Tapi ternyata aku berjuang sendirian.”

Air matanya jatuh, membasahi tanah. Di saat itu, ia merasa seperti anak kecil yang tersesat.

Malamnya, ia menulis lagi di buku catatan yang selalu ia bawa sejak kuliah:

“Hidup ini kadang memberi kita kemenangan di satu sisi, sambil mengambil habis di sisi lain. Aku tidak tahu harus memilih yang mana: kembali ke tempat yang memberiku peluang, atau bertahan di tempat yang memberiku asal-usul tapi sudah tak sama.”

Halaman itu ia tutup tanpa kesimpulan. Sama seperti pikirannya yang belum menemukan arah.

Di akhir pekan, paman mengajaknya ke pasar untuk membantu berjualan sembako. Mahmud mengikuti tanpa banyak bicara. Di sana, ia bertemu orang-orang yang ramah, menyapa dengan hangat, seolah menyambutnya kembali. Ada rasa nyaman yang perlahan muncul.

Namun, setiap kali ia melihat layar ponselnya yang menampilkan jam di Seoul—sisa kebiasaan lama yang tak pernah ia ubah—ia merasakan tarikan halus yang memanggilnya untuk kembali.

Dua dunia itu menariknya dari arah yang berlawanan.

*****

Bagian 5: Penutup – Jalan yang Belum Dipilih

Pagi itu, Bogor diselimuti kabut tipis. Mahmud duduk di beranda rumah paman, memandangi jalan kampung yang mulai ramai. Anak-anak bersepeda menuju sekolah, pedagang sayur mendorong gerobak, dan suara azan subuh yang baru saja berlalu masih terngiang di telinganya.

Ia menyeruput kopi hitam, lalu membuka ponsel. Sebuah email baru masuk dari seorang kenalan di Seoul—teman satu kelas dulu—yang kini bekerja di perusahaan besar.

Subject: Job Offer.

Isinya singkat: "Mahmud, kalau kamu mau, aku bisa rekomendasikan kamu kerja di sini. Gaji bagus, fasilitas lengkap. Pikirkan baik-baik. Deadline minggu depan."

Mahmud menutup ponsel pelan. Tawaran itu seperti pintu besar yang terbuka lebar, tapi di belakangnya ada bayangan panjang dari masa lalu.

Hari itu, ia memutuskan pergi ke pasar untuk membantu paman. Aktivitas pagi di pasar membuatnya lupa sebentar pada pikirannya yang kusut. Orang-orang menyapa ramah:

“Eh, ini Mahmud, ya? Katanya pulang dari Korea?”

“Wah, hebat! Kuliah di luar negeri, pulang bawa ijazah. Jadi dosen, nih?”

“Eh, kapan nikah?”

Pertanyaan terakhir membuatnya hanya tersenyum kecut. Suci kembali melintas di pikirannya, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Siangnya, Mahmud berjalan kaki ke tepi sungai dekat kampung. Di sana, ia dulu sering duduk bersama Suci, membicarakan hal-hal kecil sambil melempar batu ke air. Kini tempat itu sepi, hanya suara gemericik air dan burung yang berkicau.

Ia duduk di batu besar, membuka buku catatannya, dan menulis:

“Aku belajar bahwa waktu tidak menunggu. Ia berjalan terus, entah kita siap atau tidak. Mungkin bukan soal memilih tempat terbaik untuk hidup, tapi soal menerima bahwa setiap pilihan akan selalu meninggalkan sesuatu.”

Malam itu, di meja makan, paman membuka pembicaraan lagi.

“Mud, kalau kamu mau buka usaha di sini, Paman siap bantu. Modal ada, koneksi juga ada. Tapi kalau kamu mau balik ke Korea, itu juga pilihan. Cuma ingat, jangan sampai kamu balik hanya karena takut memulai dari nol di sini.”

Mahmud mengangguk. Kata-kata itu menancap dalam. Ia sadar, ketakutannya bukan soal gagal di Indonesia, tapi soal kehilangan arah jika meninggalkan Korea untuk selamanya.

Beberapa hari berikutnya, Mahmud mencoba merasakan lagi kehidupan di kampung. Ia ikut ronda malam, membantu panitia masjid, dan bahkan mengajar bahasa Korea dasar untuk anak-anak muda yang bercita-cita jadi pekerja migran. Ia melihat senyum mereka, semangat mereka—sesuatu yang jarang ia lihat di wajah-wajah pekerja di pabrik Ansan dulu.

Hatinya mulai bertanya: mungkin inilah tempat ia seharusnya membagikan ilmunya.

Tapi setiap malam, saat membuka laptop dan melihat foto-foto Seoul—jalan-jalan penuh lampu, kampus SNU yang megah, kafe-kafe kecil tempat ia menulis skripsi—ia merasa rindu yang begitu kuat.

Seminggu sebelum tenggat jawaban email, Mahmud pergi ke makam orang tuanya lagi. Ia duduk lama di sana, berbicara seperti sedang bercakap sungguhan.

“Bu, Yah… kalau kalian ada, mungkin aku sudah tahu harus bagaimana. Tapi sekarang aku sendirian menentukan.”

Angin sore menggerakkan dedaunan bambu, seolah menjawab dengan bahasa yang tak dimengerti manusia.

Di rumah, malam itu, Mahmud membuka laptop. Email tawaran kerja di Seoul masih ada di inbox. Ia mengetik:

"Terima kasih atas tawarannya. Saya sudah memikirkannya matang-matang, dan…"

Jarinya berhenti di tengah kalimat. Ia memandang layar lama sekali. Lalu, tanpa menghapus atau mengirim, ia menutup laptop.

Keesokan paginya, Mahmud kembali ke pasar membantu paman, seolah tak ada keputusan yang harus dibuat. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa apapun yang akan ia pilih nanti—entah kembali ke Korea atau menetap di Indonesia—akan selalu ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tempat yang lain.

Dan mungkin, itu bukanlah akhir yang buruk.

Karena hidup, pada akhirnya, adalah perjalanan tanpa titik pulang yang pasti.