Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Kamis, 29 Mei 2025

Cinta di Tengah Politik (Sebuah Cerpen)


Langit mendung menggantung di atas kampus Universitas Nusantara. Edward berdiri di bawah pohon flamboyan, mengenakan jaket almamater biru tuanya yang mulai memudar. Di tangannya, selebaran kampanye tergenggam erat—dengan wajahnya yang tersenyum kaku dan slogan: “BEM Bersih, Mahasiswa Bangkit!”

Ia menatap kosong ke arah gedung rektorat. Dalam pikirannya, tidak hanya debat calon ketua BEM sore ini yang menghantui, tetapi juga pertemuan singkat dengan seorang mahasiswi bernama Indah—yang entah mengapa, justru lebih menggetarkan hatinya daripada seluruh panggung orasi yang pernah ia tapaki.

Edward bukan orang baru dalam dunia aktivisme kampus. Ia dikenal vokal, tegas, bahkan kadang keras. Ia berdiri melawan pungutan liar, menolak komersialisasi pendidikan, dan berani menyuarakan pendapat meskipun harus berhadapan langsung dengan birokrasi.

Tapi sejak memasuki arena pemilihan ketua BEM, atmosfernya berubah. Intrik, sindiran, bahkan fitnah mulai beredar. Dan Edward tahu, sebagian besar bersumber dari pesaing utamanya—Andre, aktivis populer dari fakultas ekonomi.

Hari itu, di koridor fakultas ilmu komunikasi, ia melihat Andre sedang tertawa lepas bersama beberapa simpatisannya. Edward melewati mereka dengan wajah dingin. Namun sesaat kemudian, sebuah suara lembut menghentikannya.

"Mas Edward."

Ia menoleh. Seorang perempuan berkerudung biru muda berdiri sambil membawa beberapa lembar kertas. Wajahnya tenang, matanya teduh. Dialah Indah, mahasiswi yang pernah ia lihat mengisi diskusi tentang etika kepemimpinan dalam Islam.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Edward, mencoba menyembunyikan kekakuannya.

Indah tersenyum. "Saya cuma mau bilang, jangan terlalu larut dalam permainan. Politik kampus memang keras, tapi jangan sampai mengeras hati. Termasuk terhadap Mas Andre."

Edward mengernyit. "Dia sudah melewati batas. Fitnah, manipulasi, framing. Dia bukan sekadar lawan, tapi musuh."

Indah menunduk sejenak, lalu menatap Edward dengan lembut.

"Jangan pernah punya rasa dendam kepada kandidat lainnya, Mas. Sebab kita tidak tahu masa depan. Mungkin hari ini dia lawan, besok dia teman seperjuangan."

Kata-kata itu menghantam Edward lebih keras dari orasi apapun yang pernah ia dengar. Ia terpaku, mulutnya setengah terbuka, namun tak mampu membantah.

Hari-hari selanjutnya, Edward membawa kata-kata itu ke dalam batinnya. Setiap ia hendak membalas sindiran Andre, bayangan wajah Indah muncul dan menahannya. Setiap ia ingin memprovokasi balasan atas narasi kotor yang ditujukan padanya, ia ingat pesan itu: "Kita tidak tahu masa depan."

Lambat laun, ia mulai mengubah strategi. Ia tidak lagi menyerang Andre secara pribadi. Ia fokus pada program kerja, integritas, dan visi. Di setiap debat, ia mulai bicara lebih tenang, meski tetap tegas. Ia memilih jalan damai, bukan karena lemah, tetapi karena ingin menang tanpa menumbuhkan kebencian.

Indah tak pernah muncul lagi secara langsung. Tapi pesan singkatnya di pikiran Edward terus menuntun.

Sampai akhirnya hari pemilihan tiba. Mahasiswa memadati lapangan utama. Kotak suara berdiri kokoh di tengah, dijaga oleh panitia. Kampanye ditutup, suara-suara telah diberikan.

Malam itu, hasil diumumkan. Edward memenangkan suara terbanyak, selisih tipis dari Andre. Sorak-sorai membahana. Tapi yang lebih mengejutkan, bukan kemenangan itu—melainkan ketika Andre menghampiri Edward dan menjabat tangannya dengan tulus.

“Selamat, Edward. Kau layak memimpin.”

Edward tertegun. Ia menatap Andre, dan untuk pertama kalinya melihat bukan musuh, tapi sesama pejuang yang pernah berbeda langkah.

“Terima kasih, Andre. Aku harap kita tetap bisa berjuang bersama.”

Andre mengangguk.

Di antara kerumunan yang bersorak, Edward melihat sosok yang ia kenal. Indah berdiri di dekat pagar taman, mengenakan jaket angkatan dan memeluk beberapa kertas. Ia tersenyum kecil ke arahnya, lalu berbalik pergi.

Edward mengejar.

“Indah,” panggilnya.

Gadis itu menoleh, sedikit kaget.

“Kau benar tentang Andre,” ujar Edward. “Aku hampir tenggelam dalam dendam. Tapi... kata-katamu menyelamatkan aku. Dan lebih dari itu... entah kenapa, aku merasa seperti menemukan cahaya.”

Indah tersenyum, matanya berbinar. “Aku cuma menyampaikan apa yang menurutku benar.”

Edward menelan ludah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari saat debat publik.

“Indah... setelah semua ini selesai, maukah kau... kita ngobrol lagi? Bukan tentang kampus atau pemilu. Tapi tentang kita. Tentang mimpi, dan langkah yang ingin kita ambil bersama?”

Indah tak langsung menjawab. Ia menatap Edward lama. Lalu tersenyum.

“Mungkin. Asal kau tetap jadi Edward yang tidak membenci, dan tidak lupa daratan setelah jadi ketua BEM.”

Mereka tertawa bersama.

Langit malam kembali cerah. Di tengah hiruk-pikuk kampus, dua insan berdiri menatap arah yang sama. Mungkin bukan hanya panggung yang akan Edward pimpin, tapi juga hatinya sendiri—yang kini menemukan arah karena sebuah nasihat sederhana, dari seorang perempuan yang bernama Indah.

Selasa, 27 Mei 2025

FREKUENSI RASA (Sebuah Cerpen)


Setiap malam pukul sembilan, udara Jakarta dipenuhi oleh suara yang dinanti banyak orang. Suara lembut namun tegas yang datang dari radio: Utami, penyiar Radio Swara Citra. Suaranya seolah memiliki sihir tersendiri—menenangkan, mengajak bicara, bahkan membuat para pendengarnya merasa tak sendiri dalam gelap malam yang panjang.

Tak terkecuali Hudi, pemuda 27 tahun yang bekerja sebagai editor audio di sebuah rumah produksi kecil. Baginya, malam hari adalah waktu terindah karena ia bisa mendengarkan suara Utami dari radio tua peninggalan almarhum kakeknya. Suara itu menemaninya saat menyelesaikan proyek-proyek, atau sekadar menyeruput kopi hitam sambil menatap langit-langit kamar.

“Selamat malam, para pendengar setia Swara Citra. Malam ini, kita kembali bersua dalam segmen ‘Nada dan Cerita’. Seperti biasa, saya akan putarkan lagu-lagu pilihan kalian, lengkap dengan pesan yang menyentuh hati. Mulailah malam dengan perasaan yang baik, karena suara hati kita pantas didengar,” suara Utami mengalun.

Hudi, seperti biasa, mengirim pesan ke radio lewat aplikasi resmi. Ia tak pernah mencantumkan nama aslinya, cukup dengan nama samaran: “Pengelana Malam”. Malam itu pun ia menulis, “Kak Utami, putarkan lagu ‘Aku Milikmu Malam Ini’ dari Pongki Barata, buat seseorang yang selalu menemaniku walau ia tak tahu. Suaramu adalah bagian dari malamku.”

Utami selalu membaca pesannya di akhir siaran, dengan suara yang menurun pelan, seolah ikut menyelami rasa si pengirim. Hudi tahu, ia hanya satu dari ratusan pendengar. Tapi ada kehangatan aneh setiap kali Utami menyebut “Pengelana Malam”.

Beberapa bulan berselang, Hudi mendapat undangan seminar komunikasi bertema “Masa Depan Radio di Era Digital” di kampus tempat ia dulu kuliah. Ia datang karena penasaran, apalagi nama pembicara utamanya adalah: Utami Putri Rachman.

Saat masuk ke ruangan seminar, Hudi tertegun. Di atas panggung, berdiri seorang perempuan berkerudung krem, dengan blazer hitam dan senyum yang begitu menenangkan—itu dia, Utami. Tak ada mikrofon yang mampu menyembunyikan kecantikannya yang sederhana, atau aura hangat yang terpancar saat ia berbicara tentang dunia radio yang dicintainya.

“Radio bukan sekadar suara. Ia adalah jembatan rasa. Ia hadir saat orang-orang merasa sendiri, dan tiba-tiba, mereka merasa ditemani,” ujar Utami di salah satu sesi.

Hudi duduk di deretan tengah, hanya berjarak lima baris dari panggung. Dadanya berdebar. Ingin sekali ia berdiri, menyapa, mengatakan bahwa ia adalah “Pengelana Malam”. Tapi keberanian itu menguap bersama udara pendingin ruangan.

Saat sesi tanya jawab, tangan Hudi sempat terangkat. Tapi ketika mikrofon mendekat, ia menunduk dan menggeleng pelan.

Di luar gedung seminar, Hudi berdiri lama. Ia melihat Utami berjalan bersama panitia, masih melayani obrolan para peserta. Lalu ia membuka ponsel, dan kembali menulis pesan seperti biasa.

Malam ini, aku ingin mendengarkan ‘Kisah Romantis’ dari Glenn Fredly. Untuk seseorang yang kutemui dari jauh hari ini. Dia tetap terdengar menakjubkan, seperti suaranya setiap malam. Salam dari Pengelana Malam.

Malam itu, suara Utami mengudara lagi.

“Untuk pesan terakhir malam ini, ada dari ‘Pengelana Malam’. Ia kirimkan lagu 'Kisah Romantis', katanya... untuk seseorang yang ia temui dari jauh hari ini. Wah, semoga seseorang itu bisa tahu bahwa ia begitu berarti. Terima kasih sudah setia di frekuensi ini.”

Utami diam sejenak sebelum melanjutkan.

“Kadang, ada rasa yang hadir diam-diam. Tak banyak kata, hanya pesan singkat dan lagu yang menyimpan makna. Tapi percayalah, kadang yang diam itu justru paling setia.”

Lagu pun mengalun.

Hudi memejamkan mata. Ia tak tahu apakah Utami tahu bahwa “seseorang itu” adalah dirinya. Tapi baginya, selama ia bisa menyapa lewat gelombang udara, itu sudah cukup.

Ia tetap akan menjadi penggemar rahasia, yang setia di frekuensi yang sama.