Senin, 13 Mei 2013

Jadilah Turis dan Nikmati Istanbul



Sembari mempersiapkan Simposium PPI Eropa Amerika di Istanbul, akhir pekan lalu saya dan teman baik saya, Ahmad Faris (Mahasiswa S3 HI Universitas Ankara) menikmati kota dua benua itu. Saya dan Faris sebenarnya berbeda tujuan berangkat ke Istanbul. Bang Faris, sebutan saya untuknya, dating ke Istanbul untuk mengisi ceramah pada cukuran Selim, anak dari Kak Anita dan Bang Arhami. Sementara saya, itu tadi untuk persiapan symposium.

Kami berangkat bersama dari Ankara. Dalam perjalanan itu Faris bertanya pada saya, mau jadi turis atau backpacker di Istanbul? Saya jawab kita bagusnya jadi turis saja. Bisa menikmati Istanbul. Memang baru kali ini saya menjadi turis di Istanbul. Biasanya menjadi pelajar. Artinya datang ke Istanbul menginap di rumah pelajar Indonesia di Istanbul. Atau kalau menginap di hotel, itu berarti sedang menemani tamu dari Indonesia. 

Sebelum acara cukuran Selim, kami mencari hotel di sekitar Gulhane, satu stasiun setelah Masjid Biru atau Sultan Ahmet Camii. Setelah bertanya dan mengecek beberapa hotel, kami menemukan hotel Hurriyet di ujung jalan. Kami memesan satu kamar berdua seharga 110 TL. Ini setelah nego harga yang awalnya 130 TL permalam. Harga ini termasuk kahvalti atau sarapan pagi.

Usai acara cukuran Selim, saya menuju kantor KJRI untuk rapat dengan panitia symposium, sementara Faris balik ke hotel dan tidur. Pas tengah malam saya kembali ke hotel, di kamar tidak ada Faris. Saya baru saja merebahkan badan dan whatsapp di hape saya berbunyi dan pesan masuk, dimana posisi? Lalu saya telepon dan menemui Faris yang sedang asik makan tengah malam di sebuah kafe di pojok Istanbul.

“Ini yang menarik menjadi turis, kita bisa menikmati kuliner tengah malam,” ujar Faris. Wajar saja dia makan tengah malam, sebab tidur di hotel hamper lebih dari 6 jam. Sementara saya makan setelah rapat di kantor KJRI Istanbul. Saya mencicipi masakan ikan bakar dan saladnya. Kemudian kami pindah ke kafe lain untuk menikmati teh.

Sebenarnya ini bukan pertama kali bagi saya berkuliner dan jalan-jalan di pusat kota Istanbul pada tengah malam. Dulu, saya menemani Mas Alfan Alfian selama penelitian di Turki. Kami berangkat maghrib sekitar pukul 19.00 dari Ankara dan tiba di Istanbul pukul 01.00 dini hari. Sebelum mencari hotel kami cicipi kuliner dan menyeruput kopi Turki. Maklum, Mas Alfan ini pecinta berat kopi, meski bukan perokok.

Menikmati pusat kota Istanbul pada tengah malam berbeda dengan Istanbul di siang hari yang padat oleh pengunjung lokal maupun mancanegara. Saya lebih suka duduk di tengah taman yang memisahkan antara Masjid Biru dan Aya Sofia. Aya Sofia ini dulunya gereja dan setelah penaklukan Konstantinopel berubah fungsi menjadi masjid. Lalu di masa Republik Turki berubah lagi menjadi museum. Konon ada kabar akhir bulan Mei ini akan dibuka lagi menjadi masjid.

Air mancur di tengah taman dan cahaya malam yang menghiasi taman dan gedung-gedung bersejarah itu membuat syahdu malam di musim semi. Ada beberapa turis yang menggeret koper. Mungkin mereka sedang mencari penginapan yang murah. Atau mungkin juga mereka ingin pindah penginapan. Atau mungkin mereka ingin berangkat menuju bandara, kembali ke negaranya masing-masing.

Usai sarapan di Hotel Hurriyet, kami berankak ke dermaga Kabatas. Tak begitu jauh dari tempat penginapan kami. Kami tiba di dermaga lambat 10 menit. Jadwal kapal menuju Adalar selanjutnya pukul 12 siang sementara waktu itu pukul 11. Kami mampir dulu ke kafe di samping dermaga. Kami pesan teh Turki dan sutlac, semacam bubur sumsum yang terbuat dari susu dan beras putih. Hari Senin itu kami bermaksud mengunjungi Adalar atau Princes Island Istanbul.

Tiket kapal menuju Adalah seharga 3,5 TL. Ini angkutan yang negeri. Kalau yang swasta sekitar 5 atau 6 TL. Kami duduk di lantai paling atas, lantai 3. Angin laut menampar muka kami. Tapi Selat Bosporus, mungkin, menjadi selat terindah yang dimiliki Turki dan dunia. Selat ini juga yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan besar zaman dulu. Karena pelabuhan Bosporus ini menjadi penghubung tiga benua sekaligus, Asia, Afrika dan Eropa.

Di samping kami duduk dua turis wanita asal Jerman, terlihat dari buku lonely planet berbahasa Jerman. Yang satu sibuk membaca sejarah Adalar satunya lagi sibuk mengutak-atik gawai yang dipersiapkan untuk memotret perjalanan. Di saat perjalanan itu, Baim mengirimkan pesan tentang poster simposium PPI Eropa Amerika agar kami periksa. Seakan-akan ia tak rela kami menyempatkan liburan. Hehe.

Setelah kami kedinginan di lantai 3 kapal, kami turun ke lantai dua, ruangan tertutup dari angina laut. Usai kapal yang kami tumpangi merapat ke beberapa dermaga akhirnya ia tambatkan badannya ke dermaga Adalar. Perjalanan dari Kabatas menuju Adalah sekitar 1 jam 45 menit. Cukup lama juga dalam perjalanan itu.


Terik matahari siang itu membuat mata silau, beruntung saya bawa kacamata hitam. Karena panas dan lapar, kami pun mencari restoran di pinggir pantai.  Meski matahari begitu panas, tapi turis anyak berkeliaran di pulau yang dipenuhi dengan gedung-gedung tua itu. Kemudian saya teringat 6 tahun yang lalu berkunjung ke Lombok, pulau seribu masjid. Pantai di Lombok sebenarnya lebih bersh ketimbang di Bali.

Pantai di Adalar juga bersih, rapi dan terawat. Saya memesan cumi bakar dan Faris memesan ikan bakar yang dilengkapi dengan saus. Tak ada nasi di paket makanan kali ini. Kami hanya disuguhi beberapa irisan roti. Saya lapar dan saya habiskan roti itu. Sebelum roti habis, Faris langsung menyerobot sisa roti. Ia berpikir kalau tidak diamankan ia tak akan kebagian roti. Sementara makan ikan saja tidak cukup mengenyangkan.

Karena masih lapar dan ikan masih ada di piring, saya memanggil pelayan untuk memberikan roti tambahan buat kami. Ia menyuguhkan makanan dengan baik dan ramah. Meski sudah minum air bersoda, kami tetap memesan teh hangat Turki. Usai makan, kami bayar makan itu. Tak dinyana, roti tambahan yang biasanya di berbagai restoran biasanya gratis, di Adalar ini dikenakan biaya sebanyak 5 TL. Tidak sampai di sana, servisnya pun kena biaya sebesar 6 TL. Pantas saja si pelayan itu ramah, dibayar, bisik saya pada Faris.

Dan petualangan dimulai. Pukul 16.00 matahari sudah mulai bersahabat dan kami pun menyewa sepeda untuk keliling Adalar. Untuk menyewa sepeda, sejamnya 5 TL, namun jika seharian dikenakan 15 TL. Kami menawar harga, menyewa untuk tiga jam bayar sebesar 10 TL perorang persepeda. Sepeda yang saya kendarai sangat ringan dan saya mudah mengayuhnya.

Saya teringat pertengahan tahun 2009 lalu, ketika saya ditugaskan redaktur saya untuk meliput di Kepulauan Seribu. Liputan itu atas undangan Marine Buddies WWF dalam rangka membersihkan laut dari sampah semacam plastik, sandal, dan lainnya di Pulau Pari. Ini termasuk peliputan yang paling mengasikan. Meski liputan selama 3 hari, tapi ini bukan liputan lebih pada hiburan.

Pantai di Pulau Pari sangat bersih hijau kebiruan. Berbeda dengan semenanjung Jakarta Utara, hitam pekat. Setelah menjauh dari Jakarta, lambat laun warna air laut berubah kepucatan, dari hitam menjadi abu-abu, dan lama kelamaan menjadi biru dan bersih dari limbah. Ini berbeda dengan selat Bosphorus, dimana air lautnya sama saja mau di dermaga maupun di tengah laut, yaitu biru.


Di Pulau Pari itu tim Marine Buddies WWF melakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana merawat pantai. Saya juga ikut dalam menanam pohon bakau atau mangrove. Juga mencoba menanam dan memanen budidaya rumput laut di pantai Pulau Pari yang landai. Sayang saya tak bisa menyelam. Karena menyelam harus memiliki pelatihan khusus sebelumnya.

Kami mengayuh sepeda mengelilingi pulau Adalar. Rumah-rumah hunian di Adalar sudah sangat tua. Ada yang umurnya seratus tahun bahkan ada juga yang melebihi 500 tahun. Jalan yang kami telusuri itu menanjak, hanya sesekali saya menurun. Di tengah-tengah pulau itu terdapat bebukitan yang dipenuhi dengan pohon. Banyak turis yang beristirahat dan bercengkrama dengan sahabat dan pasangannya.

Tak sedikit juga yang membawa bekal makanan untuk dinikmati di pulau yang terkenal dengan harga makanan yang mahal itu. Di pulau ini tidak diperkenankan kendaraan bermotor. Hanya ada mobil ambulan dan mobil kebersihan. Selain itu hanya sepeda dan sepeda. Hutan di tengah lautan itu sejuk tanpa polusi udara.


Minjem kamera untuk diphoto di Pulau Pari
Di tengah pulau Adalar itu ada taman makam umat kristiani. Kuburan-kuburan itu di atasnya terdapat salib-salib. Menurut cerita cewek-cewek Yunani yang berbincang-bicang tentang asal usul pulau Adalar. Mereka mengatakan kalau pulau itu awalnya milik Yunani namun kemudian direbut sama Turki usai pasukan Turki Usmani menaklukkan Istanbul. Di pulau Adalar ini selain masjid ada juga gereja tua.

Dari sudut ekonomi pariwisata, pulau ini sangat subur dalam bidang tourism. Hamper setiap hari ramai dikunjungi pelancong. Seakan sadar dengan kepariwisataan ini, pemerintah setempat selalu membersihkan jalan dan mempercantik pulau ini hari demi hari. Penjagaan ini terlihat dengan mata bahwa jalan yang kita lalui bersih, seakan daun tidak jatuh di atas jalan itu. Padahal pohon-pohon rindang memenuhi pulau itu.

Manusia memang pada akhirnya harus memikirkan manusia selanjutnya. Bahwa bumi ini bukan hanya miliknya tapi juga milik anak cucunya. Kebaikan yang ditinggalkan manusia masa lalu akan dikenang sejarah, apalagi jika sejarah itu nyata seperti yang bisa kita lihat di Istanbul. Maka, menjadi turis dan menikmati alam adalah salah satu lembar kebahagiaan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar