Sembari mempersiapkan Simposium PPI Eropa Amerika di
Istanbul, akhir pekan lalu saya dan teman baik saya, Ahmad Faris (Mahasiswa S3
HI Universitas Ankara) menikmati kota dua benua itu. Saya dan Faris sebenarnya
berbeda tujuan berangkat ke Istanbul. Bang Faris, sebutan saya untuknya, dating
ke Istanbul untuk mengisi ceramah pada cukuran Selim, anak dari Kak Anita dan
Bang Arhami. Sementara saya, itu tadi untuk persiapan symposium.
Kami berangkat bersama dari Ankara. Dalam perjalanan itu Faris
bertanya pada saya, mau jadi turis atau backpacker di Istanbul? Saya jawab kita
bagusnya jadi turis saja. Bisa menikmati Istanbul. Memang baru kali ini saya
menjadi turis di Istanbul. Biasanya menjadi pelajar. Artinya datang ke Istanbul
menginap di rumah pelajar Indonesia di Istanbul. Atau kalau menginap di hotel,
itu berarti sedang menemani tamu dari Indonesia.
Sebelum acara cukuran Selim, kami mencari hotel di sekitar Gulhane, satu stasiun setelah Masjid Biru atau Sultan Ahmet Camii. Setelah bertanya dan mengecek beberapa hotel, kami menemukan hotel Hurriyet di ujung jalan. Kami memesan satu kamar berdua seharga 110 TL. Ini setelah nego harga yang awalnya 130 TL permalam. Harga ini termasuk kahvalti atau sarapan pagi.
Sebelum acara cukuran Selim, kami mencari hotel di sekitar Gulhane, satu stasiun setelah Masjid Biru atau Sultan Ahmet Camii. Setelah bertanya dan mengecek beberapa hotel, kami menemukan hotel Hurriyet di ujung jalan. Kami memesan satu kamar berdua seharga 110 TL. Ini setelah nego harga yang awalnya 130 TL permalam. Harga ini termasuk kahvalti atau sarapan pagi.
Usai acara cukuran Selim, saya menuju kantor KJRI untuk
rapat dengan panitia symposium, sementara Faris balik ke hotel dan tidur. Pas tengah
malam saya kembali ke hotel, di kamar tidak ada Faris. Saya baru saja merebahkan
badan dan whatsapp di hape saya berbunyi dan pesan masuk, dimana posisi? Lalu saya
telepon dan menemui Faris yang sedang asik makan tengah malam di sebuah kafe di
pojok Istanbul.
“Ini yang menarik menjadi turis, kita bisa menikmati kuliner
tengah malam,” ujar Faris. Wajar saja dia makan tengah malam, sebab tidur di
hotel hamper lebih dari 6 jam. Sementara saya makan setelah rapat di kantor
KJRI Istanbul. Saya mencicipi masakan ikan bakar dan saladnya. Kemudian kami
pindah ke kafe lain untuk menikmati teh.
Sebenarnya ini bukan pertama kali bagi saya berkuliner dan
jalan-jalan di pusat kota Istanbul pada tengah malam. Dulu, saya menemani Mas
Alfan Alfian selama penelitian di Turki. Kami berangkat maghrib sekitar pukul
19.00 dari Ankara dan tiba di Istanbul pukul 01.00 dini hari. Sebelum mencari
hotel kami cicipi kuliner dan menyeruput kopi Turki. Maklum, Mas Alfan ini
pecinta berat kopi, meski bukan perokok.
Menikmati pusat kota Istanbul pada tengah malam berbeda
dengan Istanbul di siang hari yang padat oleh pengunjung lokal maupun
mancanegara. Saya lebih suka duduk di tengah taman yang memisahkan antara
Masjid Biru dan Aya Sofia. Aya Sofia ini dulunya gereja dan setelah penaklukan Konstantinopel
berubah fungsi menjadi masjid. Lalu di masa Republik Turki berubah lagi menjadi
museum. Konon ada kabar akhir bulan Mei ini akan dibuka lagi menjadi masjid.
Air mancur di tengah taman dan cahaya malam yang menghiasi
taman dan gedung-gedung bersejarah itu membuat syahdu malam di musim semi. Ada beberapa
turis yang menggeret koper. Mungkin mereka sedang mencari penginapan yang
murah. Atau mungkin juga mereka ingin pindah penginapan. Atau mungkin mereka
ingin berangkat menuju bandara, kembali ke negaranya masing-masing.
Usai sarapan di Hotel Hurriyet, kami berankak ke dermaga
Kabatas. Tak begitu jauh dari tempat penginapan kami. Kami tiba di dermaga
lambat 10 menit. Jadwal kapal menuju Adalar selanjutnya pukul 12 siang
sementara waktu itu pukul 11. Kami mampir dulu ke kafe di samping dermaga. Kami
pesan teh Turki dan sutlac, semacam bubur sumsum yang terbuat dari susu dan
beras putih. Hari Senin itu kami bermaksud mengunjungi Adalar atau Princes Island Istanbul.
Tiket kapal menuju Adalah seharga 3,5 TL. Ini angkutan yang
negeri. Kalau yang swasta sekitar 5 atau 6 TL. Kami duduk di lantai paling
atas, lantai 3. Angin laut menampar muka kami. Tapi Selat Bosporus, mungkin,
menjadi selat terindah yang dimiliki Turki dan dunia. Selat ini juga yang
diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan besar zaman dulu. Karena pelabuhan Bosporus
ini menjadi penghubung tiga benua sekaligus, Asia, Afrika dan Eropa.
Di samping kami duduk dua turis wanita asal Jerman, terlihat
dari buku lonely planet berbahasa Jerman. Yang satu sibuk membaca sejarah
Adalar satunya lagi sibuk mengutak-atik gawai yang dipersiapkan untuk memotret
perjalanan. Di saat perjalanan itu, Baim mengirimkan pesan tentang poster simposium
PPI Eropa Amerika agar kami periksa. Seakan-akan ia tak rela kami menyempatkan
liburan. Hehe.
Setelah kami kedinginan di lantai 3 kapal, kami turun ke
lantai dua, ruangan tertutup dari angina laut. Usai kapal yang kami tumpangi
merapat ke beberapa dermaga akhirnya ia tambatkan badannya ke dermaga Adalar. Perjalanan
dari Kabatas menuju Adalah sekitar 1 jam 45 menit. Cukup lama juga dalam
perjalanan itu.
Terik matahari siang itu membuat mata silau, beruntung saya bawa kacamata hitam. Karena panas dan lapar, kami pun mencari restoran di pinggir pantai. Meski matahari begitu panas, tapi turis anyak berkeliaran di pulau yang dipenuhi dengan gedung-gedung tua itu. Kemudian saya teringat 6 tahun yang lalu berkunjung ke Lombok, pulau seribu masjid. Pantai di Lombok sebenarnya lebih bersh ketimbang di Bali.
Pantai di Adalar juga bersih, rapi dan terawat. Saya memesan
cumi bakar dan Faris memesan ikan bakar yang dilengkapi dengan saus. Tak ada
nasi di paket makanan kali ini. Kami hanya disuguhi beberapa irisan roti. Saya lapar
dan saya habiskan roti itu. Sebelum roti habis, Faris langsung menyerobot sisa
roti. Ia berpikir kalau tidak diamankan ia tak akan kebagian roti. Sementara makan
ikan saja tidak cukup mengenyangkan.
Karena masih lapar dan ikan masih ada di piring, saya
memanggil pelayan untuk memberikan roti tambahan buat kami. Ia menyuguhkan
makanan dengan baik dan ramah. Meski sudah minum air bersoda, kami tetap
memesan teh hangat Turki. Usai makan, kami bayar makan itu. Tak dinyana, roti
tambahan yang biasanya di berbagai restoran biasanya gratis, di Adalar ini
dikenakan biaya sebanyak 5 TL. Tidak sampai di sana, servisnya pun kena biaya
sebesar 6 TL. Pantas saja si pelayan itu ramah, dibayar, bisik saya pada Faris.
Dan petualangan dimulai. Pukul 16.00 matahari sudah mulai
bersahabat dan kami pun menyewa sepeda untuk keliling Adalar. Untuk menyewa
sepeda, sejamnya 5 TL, namun jika seharian dikenakan 15 TL. Kami menawar harga,
menyewa untuk tiga jam bayar sebesar 10 TL perorang persepeda. Sepeda yang saya
kendarai sangat ringan dan saya mudah mengayuhnya.
Saya teringat pertengahan tahun 2009 lalu, ketika saya
ditugaskan redaktur saya untuk meliput di Kepulauan Seribu. Liputan itu atas
undangan Marine Buddies WWF dalam rangka membersihkan laut dari sampah semacam plastik,
sandal, dan lainnya di Pulau Pari. Ini termasuk peliputan yang paling
mengasikan. Meski liputan selama 3 hari, tapi ini bukan liputan lebih pada
hiburan.
Pantai di Pulau Pari sangat bersih hijau kebiruan. Berbeda dengan
semenanjung Jakarta Utara, hitam pekat. Setelah menjauh dari Jakarta, lambat
laun warna air laut berubah kepucatan, dari hitam menjadi abu-abu, dan lama
kelamaan menjadi biru dan bersih dari limbah. Ini berbeda dengan selat
Bosphorus, dimana air lautnya sama saja mau di dermaga maupun di tengah laut,
yaitu biru.
Di Pulau Pari itu tim Marine Buddies WWF melakukan sosialisasi
kepada masyarakat bagaimana merawat pantai. Saya juga ikut dalam menanam pohon bakau
atau mangrove. Juga mencoba menanam dan memanen budidaya rumput laut di pantai
Pulau Pari yang landai. Sayang saya tak bisa menyelam. Karena menyelam harus
memiliki pelatihan khusus sebelumnya.
Kami mengayuh sepeda mengelilingi pulau Adalar. Rumah-rumah
hunian di Adalar sudah sangat tua. Ada yang umurnya seratus tahun bahkan ada
juga yang melebihi 500 tahun. Jalan yang kami telusuri itu menanjak, hanya
sesekali saya menurun. Di tengah-tengah pulau itu terdapat bebukitan yang
dipenuhi dengan pohon. Banyak turis yang beristirahat dan bercengkrama dengan
sahabat dan pasangannya.
Tak sedikit juga yang membawa bekal makanan untuk dinikmati
di pulau yang terkenal dengan harga makanan yang mahal itu. Di pulau ini tidak
diperkenankan kendaraan bermotor. Hanya ada mobil ambulan dan mobil kebersihan.
Selain itu hanya sepeda dan sepeda. Hutan di tengah lautan itu sejuk tanpa
polusi udara.
Di tengah pulau Adalar itu ada taman makam umat kristiani. Kuburan-kuburan
itu di atasnya terdapat salib-salib. Menurut cerita cewek-cewek Yunani yang berbincang-bicang
tentang asal usul pulau Adalar. Mereka mengatakan kalau pulau itu awalnya milik
Yunani namun kemudian direbut sama Turki usai pasukan Turki Usmani menaklukkan
Istanbul. Di pulau Adalar ini selain masjid ada juga gereja tua.
Minjem kamera untuk diphoto di Pulau Pari |
Dari sudut ekonomi pariwisata, pulau ini sangat subur dalam
bidang tourism. Hamper setiap hari ramai dikunjungi pelancong. Seakan sadar
dengan kepariwisataan ini, pemerintah setempat selalu membersihkan jalan dan
mempercantik pulau ini hari demi hari. Penjagaan ini terlihat dengan mata bahwa
jalan yang kita lalui bersih, seakan daun tidak jatuh di atas jalan itu. Padahal
pohon-pohon rindang memenuhi pulau itu.
Manusia memang pada akhirnya harus memikirkan manusia
selanjutnya. Bahwa bumi ini bukan hanya miliknya tapi juga milik anak cucunya. Kebaikan
yang ditinggalkan manusia masa lalu akan dikenang sejarah, apalagi jika sejarah
itu nyata seperti yang bisa kita lihat di Istanbul. Maka, menjadi turis dan
menikmati alam adalah salah satu lembar kebahagiaan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar