Pagi tadi. Ya, pagi tadi saya diwawancara sama Radio
Repubik Indonesia (RRI) Pro3 FM. Hampir satu jam wawancara melalui telepon
seluler yang membahas tentang Simposium PPI Eropa Amerika yang akan diadakan di
Istanbul, Turki. Secara umum wawancara membahas acara yang akan berlangsung
pada 17-19 Mei 2013 di kampus Universitas Fatih itu.
Wawancara itu berlangsung mulai pukul 08.00 WIB,
yang berarti saya yang berada di Ankara pukul 04.00 pagi. Adzan subuh pun belum
berkumandang. Pekan lalu juga sama, saya diwawancara oleh Radio PPI Dunia, ini
waktunya agak bersahabat, sore pukul 17.00 waktu Turki. Dan yang mewawancarai
saya itu teman sendiri yang sedang belajar di Kayseri, Turki.
Ini tulisan tentang radio. Saya tidak begitu asing
dengan radio. Dulu pertama kali saya berhubungan dengan penyiaran radio ketika
mengabdi alias mengajar di Gontor, Ponorogo tahun 2002/2003. Nama radionya
adalah Suara Gontor FM disingkat menjadi Suargo 102,9 FM. Meski saya ditugaskan
di Photocopy Asia saya sering bertandang ke stasiun radio itu. Saat tulisan ini saya sedang mendengar siaran Suargo FM melalui internet.
Teman saya yang biasa mengudara mengajak saya untuk
duet bareng. Tentu saya senang dan langsung menerima ajakan itu. Terkadang pernah
juga saya mengudara sendiri menyapa pendengar di Ponorogo dan sekitarnya. Asiknya
siaran radio itu ada timbalbalik langsung. Semisal ada yang menelepon dan
mengirim sms untuk pesan lagu atau diskusi sebuah tema.
Sebab ketika kita siaran di sebuah stasiun, kita
hanya dihadapkan dengan sebuah layar komputer dan alat-alat pemutar musik. Artinya
kita harus membangun imajinasi menyapa orang tanpa melihat orang yang kita
sapa. Maka ketika ada pesan masuk untuk memesan lagu atau mendiskusikan tema
yang kita berikan itu sebuah hal yang sangat menyenangkan. Bahwa kita siaran
tidak sendiri dan ada pendengarnya.
Rasa grogi saat siaran pasti ada. Tapi kalau sudah
biasa groginya tinggal sedikit. Apalagi jika kita siarannya berdua. Selalu ada
yang renyah untuk disampaikan kepada pendengar. Celotehan yang tak dikira
sebelumnya membuat hangat sebuah siaran. Efek setelah siaran adalah nama kita
sebagai penyiar tidak asing di telinga pendengar radio kita. Apalagi kalau si
pendengar itu selalu menyetel radio kita.
Siaran di RDK FM |
Mungkin hal ini juga yang menguatkan saya memilih
jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di tahun
pertama kuliah pada tahun 2004 di Ciputat saya dan teman-teman berinisiatif
untuk mendirikan radio komunitas. Sebelum mendirikan radio kampus, kami
mengunjungi beberapa stasiun radio di Jakarta dan sekitarnya.
Dan kami pun membuat proposal pendirian radio kepada
Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Konumikasi UIN Jakarta. Dekan pun senang
dan berdirilah Radio Dakwah dan Komunikasi disingkat menjadi RDK FM. Radio ini
hanya mengudara di sekitaran Ciputat. Setelah mendirikan kami pun menjadi
penyiar di radio tersebut.
Awalnya RDK FM hanya disiarkan di kantin Fidkom UIN
Jakarta sebelum memiliki pemancar sendiri. Kami memasang speaker di sudut
kantin yang kabelnya tersambung sampai ke lantai 7, dimana stasiun RDK FM
berada. Lama kelamaan, kami punye pemancar sendiri. Dan stasiun RDK FM di setap
semesternya dijadikan tempat ujian praktikum siaran radio.
Tema yang kami angkat saat siaran bermacam-macam. Mulai
dari yang serius membahas perpolitikan nasional hingga yang ringan-ringan soal
kuliner dan jalan-jalan. Tetapi yang paling digemari pendengar adalah tentang
hubungan antarpribadi. Galau dan penanggulangannya, curhat, dsb. Kami tiba-tiba
berpura-pura sebagai psikolog atau dokter cinta. Hahaha.
0 komentar:
Posting Komentar