Rabu, 14 November 2012

Tiga Kedamaian

Kita sering mendengar pepatah kuno, Si vis pacem para bellum, jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Artinya kedamaian akan didapat dengan peperangan. Namun tulisan ini tidak membahas perang secara militer.

Ini tentang perang terbesar dalam peradaban manusia yaitu perang dengan diri sendiri. Kedamaian terdapat dalam tiga bagian dalam diri manusia, yaitu;


Pertama, damai di hati. Kedamaian itu bermula dari hati kita. Semua gerak badan dan tingkah kita digerakan dari hati kita. Niat kita. Jika hati kita bersih dan ikhlas semuanya akan berjalan mulus.


Tapi tak jarang kita menemukan diri kita berperang melawan hati kita. Kita berusaha sekuat tenaga mengingkari hati kita. Kita juga berusaha membenarkan apa yang kita lakukan, padahal yang kita lakukan belum tentu betul.


Bila ini kita terus lakukan, maka ini akan menjadi kebiasaan. Maka kedamaian akan jauh dari diri kita. Ada sebuah cerita berkaitan dengan ini dalam sebuah novel Sepatu Dahlan. Anak kecil terpaksa maling tebu untuk bertahan hidup dari kelaparan. 


Berita tentang pencurian ini sudah tersebar di seantero kampung. Dan kakak dari anak ini bilang sama adiknya. Jangan mencuri lagi, Dik. Bukan untuk menjaga nama baik keluarga. Tapi kakak takut itu menjadi kebiasaan. Kita boleh miskin hati tapi tak boleh miskin iman.


Iman ini terpatri dari hati yang bersih. Saat melakukan pencurian, si anak yang baik itu sebenarnya dalam hatinya menolak untuk berbuat itu. Tapi dia kalah oleh nafsunya. Namun kemudian di saat kelaparan dating lagi ia sekuat hati untk tidak mencuri. Dan akhirnya datanglah rejeki yang tak terduga. 


Itulah bukti kalau kita perang dengan hati kita dan hati kita yang menang maka kedamaian akan datang dan jalan pun akan terang.


Kedua, damai di pikiran. Jika hati memang membawa kebenaran hakiki, tapi tidak dengan pikiran. Pikiran ini selalu banyak pertimbangan. Jika saya begini, maka saya akan begitu. Jika saya berbuat sesuatu kebaikan akankah dibalas dengan kebaikan lagi dan kapan itu terjadi.


Begitulah permisalan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita. Kita selalu ingin untung. Kita selalu ingin mudah. Kita selalu ingin jalan pintas. Pikiran kita tak ingin yang lama-lama. Tak ingin untuk bersabar. Tak ingin melalui jalan terjal.


Padahal hidup ini tak selamanya indah. Jalan pun tak selamanya halus dan lurus. Ada kerikil. Ada lubang. Ada kelokan. Ada tanjakan. Ada turunan.  Dan pikiran kita terpenjara dengan jalan yang halus dan lurus itu.


Hati mengajak untuk santai menghadapi kehidupan, namun terkadang pikiran memanipulasinya. Hingga akhirnya kita terperangkap ke dalam jebakan pikiran yang buruk. Dan semuanya berjalan dengan tidak semestinya. Berantakan.


Jika hati kita sudah damai, ajaklah pikiran kita juga untuk berdamai. Perangilah pikiran dengan tenang. Ajaklah untuk berdialog. Jika pikiran berontak, tentramkanlah dengan membaca aya-ayat Ilahi. 


Bersujudlah kepada Yang Menciptakan kita. Bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Bahkan dalam sujud itu kepala kita (tempatnya alam pikiran) berada di bawah pantat kita (tempatnya kotoran).


Ketiga, damai dalam jiwa. Jiwa adalah roh penggerak badan kita. Jiwa ini merespons apa yang ada dalam hati dan pikiran. Jika ada pertentangan antara hati dan pikiran, jiwa kita pun akan tidak tentram. Tidak damai.


Jadi kita tidak akan damai dalam jiwa dan tingkah laku kita jika hati dan pikiran kita tidak tentram. Maka agar seluruh dalam diri kita damai maka kita harus berdamai dengan hati dan pikiran yang berimbas pada damai di jiwa.


Bahkan, masalah sebesar apa pun, bisa menjadi menjadi ringan jika kita sudah berdamai dengan diri kita. Sebab Tuhan tidak memberi kesulitan selain juga didatangkan kemudahan. Dan itu hanya diri kita yang tahu dan jika kita mau berdamai.


Seperti dalam lirik lagu Jason Mraz: I'm living in the moment, I'm living my life, Oh, easy and breezy, With peace in my mind, Peace in my heart, Peace in my soul, Wherever I'm going, I'm already home, I'm living in the moment.

0 komentar:

Posting Komentar