Jumat, 09 November 2012

Tiga Kebaikan


Saudara, Tuhan selalu menganjurkan kita untuk berbuat baik kepada siapa pun tanpa memandang kelas, pangkat, jabatan dan sebagainya. Ada tiga kebaikan yang mesti kita raih sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.

Pertama, manusia yang paling baik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Mengapa demikian? Karena manusia diciptakan berbarengan dengan sifat yang buruk yang menempel pada dirinya. Sifat buruk itu seperti pelit, memikirkan diri sendiri, egois, ingin menang sendiri, curang, dan yang lainnya.

Syarat utama agar menjadi bermanfaat untuk orang lain adalah, orang itu harus selesai dengan dirinya sendiri. Maksud dari selesai adalah, ia tidak lagi memikirkan tentang dirinya. Atau setidaknya ia mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingannya sendiri.

Ini memang berat tapi paling tidak begini, bermanfaat bagi yang lain itu bisa diartikan jika ada seseorang meminta bantuan, maka ia lekas memberikan pertolongannya sebisa mungkin. Kalaupun tidak bisa paling tidak ia mendoakan. Dan balasan mendoakan kebaikan adalah kebaikan seperti apa yang ia doakan untuk orang lain.

Dan tidak mesti kita bermanfaat setelah kita sukses menjadi orang besar di mata manusia, seperti nanti kalau saya sudah menjadi direktur bla, bla, bla, baru saya akan bermanfaat bagi yang lain. Saya akan mengulang cerita tentang kebaikan seorang satpam di kampus STIE Ahmad Dahlan di Ciputat.

Satpam ini dikenal baik oleh orang-orang di lingkungan kampus. Dari rekan seperjuangannya hingga pihak pimpinan kampus mengenal kebaikannya. Ia selalu ramah kepada siapa pun. Dan ia  ikhlas melakukannya. Ditambah lagi ia selalu melaksanakan shalat tahajud di malam hari dimana orang-orang terlelap tidur.

Ketika bencana jebolnya Situ Gintung yang menewaskan sekitar 100 orang, satpam ini selamat. Padahal rumahnya tidak jauh dari mulut bendungan yang jebol itu. Dengan sebuah kasur tipis ia melawan arus dan menepi ke daratan yang lebih tinggi.

Ia diselamatkan oleh Allah SWT akibat kebaikan yang ia lakukan, juga kewajiban yang tak pernah ia tinggalkan. Bukan itu saja, istri dan anaknya juga selamat. Anaknya selamat karena merangkul pohon kecil yang tidak tumbang, meski pohon besar disampingnya tumbang. Sebuah keajaiban.

Kedua, akhirat lebih baik daripada dunia. Kita kadang lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Kita juga terkadang terlena akan keindahan dan kemolekan dunia dan seisinya. Sampai kita melupakan apa yang abadi, yaitu kehidupan setelah kematian.

Tidak dipungkiri, semua yang enak dan menarik berseliweran di hadapan kita. Semua tawaran tentang kesenangan, dengan telepon genggam pintar di tangan kita, kita hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memesannya. Dan datanglah semua kesenangan yang semu itu.

Kita lupa bahwa masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Kita juga lupa bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar ketika kita berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sekecil apapun itu.

Dan ketika kita dihadapkan dengan pilihan, dunia dan akhirat, kita kadang lebih memilih dunia. Misalnya, ketika panggilan untuk shalat berkumandang, sementara kita sedang asik menonton film di depan laptop, kita bilang sama diri kita sendiri, nanti aja ah kalau sudah selesai filmnya.

Begitulah. Kita selalu lupa untuk yang lebih kekal, lebih abadi. Kita lebih memilih yang sementara yang hanya fatamorgana. Sebab, panca indera kita terbatas, dan kita lebih memilih yang terlihat ketimbang yang angan-angan. Padahal janji Tuhan itu pasti! Kebaikan dibalas kebaikan, juga sebaliknya. Di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Ketiga, sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Tuhan memerintahkan makhlukNya untuk berbekal. Bekal untuk di dunia maupun di akhirat. Hampir tidak ada orang yang berhasil dengan apa yang ia inginkan jika ia tidak punya bekal. Apapun itu.

Misalnya, orang yang mau belajar, maka ia harus punya bekal seperti buku, pulpen dan pensil. Jika ia tidak punya bekal tadi, ia tidak akan bisa belajar. Bagaimana mau mencatat pelajaran jika peralatannya tidak ada. Bagaimana ia akan membaca sementara buku yang mesti dibaca tidak ada.

Atau seperti orang yang suka jalan-jalan. Ia pun harus memiliki bekal seperti tas yang berisi pakaian dan tiket perjalanan. Jika perjalanannya ke luar negeri ia harus membawa paspor dan visa. Dan perjalanan itu tidak akan terjadi jika tidak ada bekal tersebut.

Begitupun untuk kehidupan kita yang abadi nanti, kita harus punya bekal, dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Quraish Shihab dalam ceramahnya mengatakan, kehidupan ini seperti perjalanan. Agar perjalanan kita ringan, kita harus membawa sesuatu yang ringan pula.

Barang-barang yang berat sebaiknya ditinggal. Artinya bahwa barang-barang yang berat itu kita sedekahkan. Kelak kita akan mengambil barang itu setelah tiba di tempat yang abadi. Sedekah ini yang meringankan perjalanan kita.

Bekal takwa adalah yang terbaik. Takwa artinya melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua keburukan. Orang yang bertakwa hidupnya senang dan tenang selalu. Tidak mesti menunggu akhirat nanti, di dunia saja orang takwa ini sudah bahagia.

Janji Tuhan adalah barang siapa yang bertakwa, maka akan dibukakan dan dipermudah hidupnya serta diberikan rejeki yang tidak disangka-sangka.

Bahkan, saking pentingnya ayat-ayat tentang wasiat takwa ini, ia dijadikan rukun khutbah jumat. Setiap minggu kita diingatkan untuk selalu bertakwa, pengingat ini dilakukan karena kita adalah makhluk pelupa. Wallahu a’lam bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar