Saudara, Tuhan selalu menganjurkan kita untuk
berbuat baik kepada siapa pun tanpa memandang kelas, pangkat, jabatan dan
sebagainya. Ada tiga kebaikan yang mesti kita raih sebagai ciptaan Tuhan yang
paling sempurna di muka bumi ini.
Pertama, manusia yang paling baik adalah manusia
yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Mengapa demikian? Karena manusia
diciptakan berbarengan dengan sifat yang buruk yang menempel pada dirinya. Sifat
buruk itu seperti pelit, memikirkan diri sendiri, egois, ingin menang sendiri, curang,
dan yang lainnya.
Syarat utama agar menjadi bermanfaat untuk orang
lain adalah, orang itu harus selesai dengan dirinya sendiri. Maksud dari selesai
adalah, ia tidak lagi memikirkan tentang dirinya. Atau setidaknya ia
mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingannya sendiri.
Ini memang berat tapi paling tidak begini, bermanfaat
bagi yang lain itu bisa diartikan jika ada seseorang meminta bantuan, maka ia
lekas memberikan pertolongannya sebisa mungkin. Kalaupun tidak bisa paling
tidak ia mendoakan. Dan balasan mendoakan kebaikan adalah kebaikan seperti apa
yang ia doakan untuk orang lain.
Dan tidak mesti kita bermanfaat setelah kita sukses
menjadi orang besar di mata manusia, seperti nanti kalau saya sudah menjadi
direktur bla, bla, bla, baru saya akan bermanfaat bagi yang lain. Saya akan
mengulang cerita tentang kebaikan seorang satpam di kampus STIE Ahmad Dahlan di
Ciputat.
Satpam ini dikenal baik oleh orang-orang di lingkungan
kampus. Dari rekan seperjuangannya hingga pihak pimpinan kampus mengenal
kebaikannya. Ia selalu ramah kepada siapa pun. Dan ia ikhlas melakukannya. Ditambah lagi ia selalu
melaksanakan shalat tahajud di malam hari dimana orang-orang terlelap tidur.
Ketika bencana jebolnya Situ Gintung yang menewaskan
sekitar 100 orang, satpam ini selamat. Padahal rumahnya tidak jauh dari mulut
bendungan yang jebol itu. Dengan sebuah kasur tipis ia melawan arus dan menepi
ke daratan yang lebih tinggi.
Ia diselamatkan oleh Allah SWT akibat kebaikan yang
ia lakukan, juga kewajiban yang tak pernah ia tinggalkan. Bukan itu saja, istri
dan anaknya juga selamat. Anaknya selamat karena merangkul pohon kecil yang
tidak tumbang, meski pohon besar disampingnya tumbang. Sebuah keajaiban.
Kedua, akhirat lebih baik daripada dunia. Kita kadang
lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Kita juga terkadang terlena akan
keindahan dan kemolekan dunia dan seisinya. Sampai kita melupakan apa yang
abadi, yaitu kehidupan setelah kematian.
Tidak dipungkiri, semua yang enak dan menarik
berseliweran di hadapan kita. Semua tawaran tentang kesenangan, dengan telepon
genggam pintar di tangan kita, kita hanya membutuhkan waktu beberapa menit
untuk memesannya. Dan datanglah semua kesenangan yang semu itu.
Kita lupa bahwa masih banyak orang yang tidak
seberuntung kita. Kita juga lupa bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar ketika
kita berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sekecil apapun itu.
Dan ketika kita dihadapkan dengan pilihan, dunia dan
akhirat, kita kadang lebih memilih dunia. Misalnya, ketika panggilan untuk
shalat berkumandang, sementara kita sedang asik menonton film di depan laptop,
kita bilang sama diri kita sendiri, nanti aja ah kalau sudah selesai filmnya.
Begitulah. Kita selalu lupa untuk yang lebih kekal,
lebih abadi. Kita lebih memilih yang sementara yang hanya fatamorgana. Sebab,
panca indera kita terbatas, dan kita lebih memilih yang terlihat ketimbang yang
angan-angan. Padahal janji Tuhan itu pasti! Kebaikan dibalas kebaikan, juga
sebaliknya. Di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Ketiga, sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Tuhan
memerintahkan makhlukNya untuk berbekal. Bekal untuk di dunia maupun di
akhirat. Hampir tidak ada orang yang berhasil dengan apa yang ia inginkan jika
ia tidak punya bekal. Apapun itu.
Misalnya, orang yang mau belajar, maka ia harus punya
bekal seperti buku, pulpen dan pensil. Jika ia tidak punya bekal tadi, ia tidak
akan bisa belajar. Bagaimana mau mencatat pelajaran jika peralatannya tidak
ada. Bagaimana ia akan membaca sementara buku yang mesti dibaca tidak ada.
Atau seperti orang yang suka jalan-jalan. Ia pun
harus memiliki bekal seperti tas yang berisi pakaian dan tiket perjalanan. Jika
perjalanannya ke luar negeri ia harus membawa paspor dan visa. Dan perjalanan
itu tidak akan terjadi jika tidak ada bekal tersebut.
Begitupun untuk kehidupan kita yang abadi nanti,
kita harus punya bekal, dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Quraish Shihab
dalam ceramahnya mengatakan, kehidupan ini seperti perjalanan. Agar perjalanan
kita ringan, kita harus membawa sesuatu yang ringan pula.
Barang-barang yang berat sebaiknya ditinggal. Artinya
bahwa barang-barang yang berat itu kita sedekahkan. Kelak kita akan mengambil
barang itu setelah tiba di tempat yang abadi. Sedekah ini yang meringankan
perjalanan kita.
Bekal takwa adalah yang terbaik. Takwa artinya
melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua keburukan. Orang yang
bertakwa hidupnya senang dan tenang selalu. Tidak mesti menunggu akhirat nanti,
di dunia saja orang takwa ini sudah bahagia.
Janji Tuhan adalah barang siapa yang bertakwa, maka
akan dibukakan dan dipermudah hidupnya serta diberikan rejeki yang tidak
disangka-sangka.
Bahkan, saking pentingnya ayat-ayat tentang wasiat takwa
ini, ia dijadikan rukun khutbah jumat. Setiap minggu kita diingatkan untuk
selalu bertakwa, pengingat ini dilakukan karena kita adalah makhluk pelupa. Wallahu
a’lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar