Kang Deden

Tidak ada awal, akhir ataupun pertengahan, sebab yang ada hanyalah perjalanan.

Kang Deden

Orang besar ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Kang Deden

Berlarilah mengejar impian. Disana terdapat indahnya kehidupan.

Kang Deden

Berjalanlah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran.

Kang Deden

Tenangkan hatimu, karena itu sumber kebahagiaan.

Rabu, 16 Juli 2025

Pertemuan yang Tak Disengaja (Sebuah Cerpen)

Koridor itu panjang dan sunyi, hanya langkah-langkah sepatu yang memantul di dinding putih kantor membuat suara berirama. Anisa menggenggam map cokelat berisi dokumen yang harus ia serahkan ke bagian keuangan. Hari itu adalah hari ketiganya bekerja di perusahaan konsultan tersebut. Ia masih sibuk menghafal arah ruang demi ruang, juga nama-nama rekan kerja yang tampak begitu akrab satu sama lain, sementara ia masih seperti tamu di antara mereka.

Saat melewati belokan menuju ruang keuangan, seseorang datang dari arah berlawanan. Lelaki dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung rapi. Raut wajahnya tegas, tapi tidak dingin. Langkahnya tenang, matanya fokus menatap layar ponsel.

Mereka saling menoleh sejenak. Anisa menunduk sopan dan lelaki itu mengangguk tipis. Hanya itu. Tidak ada kata, tidak ada percikan, bahkan tidak ada tanda bahwa pertemuan itu akan berarti.

“Imran,” bisik seorang rekan kerja yang melihat Anisa melirik pria itu. “Senior di divisi riset. Orangnya agak pendiam, tapi katanya jago banget kalau presentasi.”

Anisa hanya mengangguk. Nama itu—Imran—mengendap sebentar di kepalanya lalu larut bersama rutinitas hari-hari berikutnya yang dipenuhi laporan, rapat, dan makan siang cepat di pantry kecil.


Setahun berlalu sejak hari itu. Anisa kini sudah lihai membaca dinamika kantor. Ia lebih percaya diri, bahkan dipercaya sebagai salah satu anggota tim perumus strategi komunikasi perusahaan. Pada bulan April, ia terpilih mewakili divisinya dalam Forum Inovasi Internal, sebuah ajang tahunan yang mempertemukan lintas divisi untuk menyusun proyek kolaboratif demi efisiensi kerja.

Ruang pertemuan besar di lantai 9 tampak ramai. Meja bulat dengan kertas catatan dan pena tersebar di setiap sudut. Anisa duduk di lingkaran timnya—lima orang dari berbagai divisi. Saat ia tengah mencatat, seorang pria duduk di samping kirinya.

“Selamat pagi,” sapanya dengan suara rendah.

Anisa menoleh. Mata mereka bertemu. Ia mengenali wajah itu. Pria berkemeja abu-abu dengan senyum yang kini lebih terbuka. Imran.

“Hai. Kita pernah satu lorong dulu,” kata Anisa spontan. Ia tak tahu kenapa ia menyebut itu, tapi Imran tertawa kecil.

“Sepertinya iya. Tapi kamu sekarang sudah terlihat seperti veteran kantor.”

Anisa ikut tertawa. “Tidak juga, masih banyak belajar.”

Percakapan mereka tak berhenti di situ. Forum membuat mereka sering berdiskusi—tentang ide, pendekatan, hingga data. Imran ternyata bukan hanya senior, tapi juga cermat dan sabar mendengarkan. Ia tidak pernah memotong pendapat orang. Cara bicaranya tenang, dan saat menjelaskan, ia tak membuat orang lain merasa bodoh.

Mereka sering pulang terlambat karena forum itu berlangsung intensif selama dua minggu. Beberapa kali mereka berjalan berdua ke halte TransJakarta, berbagi obrolan ringan tentang makanan, cuaca, dan sesekali tentang keluarga.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Imran suatu malam.

“Rawamangun. Naik bus sampai Pulogadung, lanjut ojek,” jawab Anisa.

“Berarti kita searah,” kata Imran, “Aku tinggal di Matraman. Besok bareng, ya?”

Anisa mengangguk sambil tersenyum. Ada sesuatu yang hangat di dadanya—bukan karena malam itu dingin, tapi karena ia mulai menantikan waktu bersama Imran, meski hanya dalam perjalanan pulang yang sempit dan penuh debu kota.


Hari terakhir forum, presentasi kelompok mereka berjalan lancar. Anisa memaparkan bagian komunikasi digital, dan Imran menutup dengan simulasi hasil integrasi data antar divisi. Setelah itu, semua tim berdiri dan bertepuk tangan. Wajah-wajah sumringah memenuhi ruangan.

Saat semua peserta bersiap bubar, Imran menghampiri Anisa yang sedang merapikan kertas.

“Besok sudah kembali ke rutinitas,” katanya pelan.

“Iya. Balik ke layar Excel dan email-email tak berujung,” Anisa tertawa kecil.

“Dan kita kembali ke lantai yang berbeda,” kata Imran, sedikit lebih lambat.

Anisa menoleh. Ia menangkap sesuatu dalam sorot mata itu. Bukan hanya pernyataan, tapi semacam permintaan yang belum diucapkan.

“Kalau… kamu mau, weekend ini kita bisa lanjut ngobrol. Tidak harus tentang kerjaan. Mungkin kopi sore? Atau jalan ke taman?” tanya Imran, kini lebih tegas.

Anisa terdiam sejenak. Tapi senyum yang muncul kemudian menjawab semuanya.


Pertemuan mereka setelah itu tak lagi kebetulan. Dari taman-taman kota, warung kopi di sudut Menteng, hingga sore yang dihabiskan membaca buku di Perpustakaan Nasional. Imran ternyata senang membaca sastra klasik, dan Anisa mengenalkan dia pada puisi-puisi Chairil Anwar.

Pada suatu sore, saat langit Jakarta berwarna jingga dan angin membawa bau hujan dari kejauhan, Imran berkata, “Aku bersyukur waktu itu kamu menoleh di lorong itu.”

Anisa tertawa. “Padahal kita bahkan tidak berbicara saat itu.”

“Tapi kamu menoleh. Itu cukup. Kadang, awal dari sesuatu tidak harus megah. Bisa saja dimulai dari langkah kecil, atau bahkan pandangan singkat.”

Anisa mengangguk. Ia mengerti kini, bahwa tidak semua pertemuan punya dampak seketika. Ada yang tumbuh perlahan, menyusup diam-diam ke dalam hidup, lalu menetap dengan cara paling sederhana.


Senin, 14 Juli 2025

Cinta yang Tak Pernah Terucap (Sebuah Cerpen)

 


Abdi menatap langit senja dari balkon asrama putra. Matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tua kampus, meninggalkan jejak jingga di cakrawala. Di tangannya, secangkir kopi hitam mulai mendingin. Ia menghela napas panjang, memikirkan hari-hari yang telah ia lewati bersama Anjani—teman sekelas, sahabat, dan diam-diam, cinta pertamanya.

Mereka bertemu di hari pertama orientasi mahasiswa. Anjani datang terlambat, kerudung merah marunnya berantakan, napasnya terengah-engah, tapi matanya berbinar penuh semangat. Abdi, yang biasanya pendiam, tanpa sadar tersenyum melihatnya. Sejak saat itu, mereka sering duduk bersebelahan di kelas, mengerjakan tugas bersama, dan saling berbagi cerita di bawah pohon flamboyan di taman kampus.

Namun, ada batas tak kasat mata yang selalu mereka jaga. Abdi tak pernah berani berkata lebih dari sekadar “hati-hati di jalan” atau “jangan lupa makan.” Anjani pun hanya membalas dengan senyum dan tatapan yang kadang membuat Abdi ingin menahan waktu. Mereka saling menunggu, berharap salah satu berani memulai. Tapi, kata-kata itu selalu tertahan di ujung lidah.

Semester demi Semester

Waktu berjalan seperti kereta malam yang tak pernah berhenti. Setiap semester, mereka semakin dekat, namun tetap saja, tak ada pengakuan. Abdi selalu menunggu kesempatan, berharap ada momen yang tepat. Tapi setiap kali ia ingin bicara, ia takut kehilangan kenyamanan yang telah mereka bangun.

Anjani pun merasakan hal yang sama. Ia sering menulis diari tentang Abdi—tentang caranya tertawa, cara ia menatap langit, dan bagaimana ia selalu tahu kapan Anjani butuh ditemani. Tapi, ia tak pernah berani menunjukkan isi hatinya. Ia takut, jika kata-kata itu terucap, semuanya akan berubah.

Mereka berdua seperti dua garis sejajar yang berjalan beriringan, saling melirik, tapi tak pernah bersentuhan.

Malam di Taman Kampus

Suatu malam, setelah presentasi kelompok yang melelahkan, Abdi dan Anjani duduk berdua di taman kampus. Angin Bandung membawa aroma tanah basah, dan lampu taman memantulkan bayangan mereka di atas rumput.

“Kalau lulus nanti, kamu mau ke mana?” tanya Anjani pelan.

Abdi terdiam sejenak, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. “Aku belum tahu. Mungkin pulang ke kampung, atau cari kerja di sini. Kamu sendiri?”

Anjani tersenyum, menunduk. “Aku juga belum tahu. Tapi aku ingin tetap di Bandung, kalau bisa.”

Mereka saling menatap, lalu kembali menunduk. Ada jeda panjang yang terasa nyaman sekaligus menyakitkan. Dalam hati, keduanya berharap waktu berhenti di malam itu, agar mereka bisa terus bersama tanpa harus memikirkan masa depan.

Surat yang Tak Pernah Dikirim

Di kamar kosnya, Anjani menulis surat untuk Abdi. Ia menuliskan semua yang selama ini ia pendam—tentang rasa suka, tentang rindu, tentang harapan agar Abdi juga merasakan hal yang sama. Tapi surat itu tak pernah ia berikan. Ia simpan di laci meja, bersama kenangan-kenangan lain yang hanya bisa ia simpan sendiri.

Abdi pun pernah menulis puisi untuk Anjani. Ia tuliskan di halaman belakang buku catatannya, berharap suatu saat Anjani membacanya. Tapi, seperti Anjani, ia tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan.

Menjelang Wisuda

Hari-hari menjelang wisuda, suasana kampus semakin sibuk. Teman-teman mereka mulai membicarakan rencana masa depan, pekerjaan, dan perpisahan. Abdi dan Anjani semakin sering bertemu, seolah ingin memanfaatkan sisa waktu yang ada.

Di hari terakhir kuliah, mereka berjalan berdua di sepanjang koridor fakultas. Tak banyak kata yang terucap, hanya tawa kecil dan cerita-cerita ringan. Di ujung koridor, mereka berhenti.

“Abdi, terima kasih sudah jadi teman yang baik,” kata Anjani pelan.

Abdi tersenyum, menahan perasaan yang menggebu di dadanya. “Kamu juga, Jan. Terima kasih sudah mau bertahan bersamaku sampai sekarang.”

Mereka saling menatap, dan untuk pertama kalinya, Abdi melihat air mata di mata Anjani. Ia ingin memeluknya, ingin berkata bahwa ia juga mencintainya. Tapi, seperti biasa, kata-kata itu hanya berputar di kepalanya.

Hari Wisuda

Di hari wisuda, kampus dipenuhi toga dan bunga. Abdi dan Anjani berfoto bersama, tertawa, dan saling mengucapkan selamat. Di tengah keramaian, mereka berdiri berdua di bawah pohon flamboyan tempat mereka biasa duduk.

“Aku akan merindukan hari-hari di sini,” kata Anjani.

“Aku juga,” jawab Abdi.

Mereka terdiam, membiarkan angin membawa kata-kata yang tak pernah terucap.

Epilog: Menunggu

Setelah wisuda, mereka menjalani hidup masing-masing. Abdi kembali ke kampung halamannya, bekerja di sebuah sekolah kecil. Anjani mendapat pekerjaan di Bandung, melanjutkan hidupnya dengan kenangan tentang Abdi.

Mereka masih saling mengirim pesan, menanyakan kabar, saling mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi, tak pernah ada kata cinta di antara mereka. Mereka saling menunggu, berharap suatu hari nanti, salah satu dari mereka cukup berani untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini mereka simpan.

Di bawah langit Bandung yang biru, cinta mereka tetap hidup—meski tanpa kata, meski hanya dalam diam.

Cerita ini adalah kisah tentang keberanian yang tertahan, tentang cinta yang memilih menunggu, dan tentang dua hati yang saling mencintai tanpa pernah saling mengungkapkan. Karena kadang, cinta tak selalu butuh kata-kata; cukup dengan saling menunggu, hingga waktu sendiri yang menjawab segalanya.