Selasa, 16 Juli 2013

Berpuasa di Ujung Timur Eropa


Oleh Soraya Bunga Larasati (Dimuat di Media Indonesia, Senin, 15 Juli 2013)


Waktu imsyakiyah di Ankara sekitar pukul 03.26, sedangkan waktu berbuka puasa pukul 20.30.

BERKESEMPATAN menuntut ilmu di Turki membuat Deden Mauli Drajat, 30, harus meninggalkan keluarga dan pekerjaannya sebagai wartawan.

Deden telah melalui tiga Ramadan di negara paling timur Eropa tersebut.
Turki ialah negara dengan empat musim, yakni musim panas (Juni-Agustus), musim gugur (SeptemberNovember), musim dingin (Desember-Februari), dan musim semi (Maret-Mei). “Saya kena puasa di musim panas yang siangnya lama.“

Karena itu, sebelum bulan suci, ia selalu berusaha menjalani puasa sunah untuk membiasakan diri tidak makan dan minum lebih dari 17 jam. “Nambah tiga sampai empat jam ketimbang waktu berpuasa di Indonesia.“

Waktu imsyakiyah di Ankara sekitar pukul 03.26, di sisi lain waktu berbuka puasa pukul 20.30. “'Bonusnya lagi', selain puasanya lama, musim panas di Turki suhunya bisa ekstrem mencapai 45 derajat celsius. Padahal, di Jakarta kita biasanya kena panas 30 derajat saja sudah ngeluh macam-macam.“

Meski mayoritas penduduk di Turki beragama Islam, terkait agama, sistem negara Republik Turki ialah sekuler. Tidak ada larangan beroperasi bagi restoran dan orang makan atau minum di luar rumah pada Ramadan.

Buka puasa bersama Menurut Deden, yang unik ialah setiap tahun dalam satu hari Ramadan, Pemerintah Kota Ankara menyelenggarakan buka puasa bersama. “Dua tahun lalu terpusat di Genclik Park alias Taman Pemuda. Tahun lalu di Masjid Haji Bayram, salah satu masjid tertua di Ankara.“

Untuk Ramadan tahun ini, ia belum tahu di mana pusat acara buka puasa bersama akan digelar. Pada acara itu disediakan menu buka puasa gratis. Selain itu, ada berbagai pameran, seperti buku dan penjual aksesori.

Namun, tahun ini ada sembilan titik tempat berbuka puasa bersama gratis yang disediakan pemerintah Kota Ankara, yakni di Masjid Haji Bayram, Genclik Park alias Taman Pemuda, Guven Park, Kecioren, Pasar Sincan, Stasiun Metro OSTIM, Abidin Pasa Makro Market, Siteler Girisi Ust Gecit Ayagi, dan Terminal Bus ASTI.

Karena gratis, banyak orang yang mengantre.
“Mayoritas mahasiswa yang bulanannya terbatas seperti saya, sisanya orang biasa, ada juga para pekerja. Ada yang membawa keluarga.“

Mereka mengantre bisa menghabiskan satu bahkan dua jam sebelum berbuka.
Ada satu makanan khas Turki yang menurut Deden paling ia sukai. “Namanya iskender. Makanan ini berupa irisan roti ditutup dengan irisan daging kebab, disiram dengan saus tomat. Di pinggirnya diberi yogurt. Rasanya ‘maknyus’,” ujarnya.

Yang menarik, menurut Deden, di Turki tidak pernah ada perbedaan penetapan waktu berpuasa ataupun Idul Fitri seperti di Indonesia.

“Awal puasa dan Idul Fitri serempak di seluruh Turki. Masyarakat di sini menerima keputusan pemerintah, yaitu Kementerian Agama Republik Turki, yang menentukan kalender Hijriah di sini.”

Mahasiswa di fakultas pascasarjana Universitas Ankara yang sudah memasuki tahap akhir itu mengaku amat menikmati pengalaman berpuasa di Turki meski berat dijalani karena waktu berpuasa yang lebih panjang dibandingkan di Tanah Air. Namun, ia mengaku lebih berbahagia menjalankan ibadah Ramadan di Indonesia. “Tak ada tempat yang lebih nyaman selain rumah,“ ujar Deden menandaskan. 

(H-1) soraya @mediaindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar