Kamis, 20 September 2012

Kemenangan Perubahan Jokowi


Sebagai orang yang pernah tinggal di Jakarta, saya ingin mengomentari hasil Pilkada DKI jilid kedua dari hitungan cepat berbagai media dan lembaga survey. Bagi saya, tidak penting siapa gubernurnya, yang terpenting adalah gerakan yang nyata dari pemimpin ibukota untuk memperbaiki keadaan Jakarta yang terus memburuk. Dan mungkin banyak yang sepikiran dengan saya, bahwa perubahan penting bagi kehidupan.

Photo:  dev.main.salsil.com
Jokowi yang berhasil membangun Solo ketika menjadi walikotanya adalah modal utama dalam pemenangan Pilkada DKI kali ini. Kemenangan Jokowi tidak terlalu besar, ini tidak bisa dilepaskan dari tim sukses Fauzi Bowo dan sejumlah partai politik yang menyokongnya yang giat mengampanyekan Foke bahwa ia sudah bekerja dengan sebaik mungkin selama mengabdi menjadi pegawai di DKI Jakarta.

Hingga semalam di grup BBM saya, debat antar pendukung Foke dan Jokowi tak pernah surut. Selalu ada jargon untuk jagoan yang diusungnya. Meski saya tidak tahu apakah mereka adalah warga Jakarta yang berhak memilih. Saya sendiri hanya penikmat saja. Sebab KTP saya terdaftar di Rangkasbitung, Banten. Bahkan tiga tahun ini tinggal di Ankara, Turki. Meski begitu saya selalu mengikuti perkembangan Jakarta.

Kebutuhan Perubahan

Bagi orang-orang yang pernah menetap di Jakarta, pasti merasakan berbagai hal yang belum terselesaikan, seperti macet, banjir, keamanan dan kenyamanan. Kadang sebagian dari kita acuh tentang ini. Bahkan saking macetnya, pengendara motor naik ke trotoar. Ia lupa bahwa ia telah mengambil hak para pejalan kaki.

Di sebagian kota besar di dunia yang mirip Jakarta sudah memiliki moda transportasi publik yang memadai. Istanbul di Turki misalnya, publik diberikan kebebasan memilih transportasi apa yang akan ia gunakan untuk menuju suatu tempat. Ada bus seperti busway di Jakarta yang juga berhalte. Ada dolmus sebentuk angkot. Ada pula Metro atau kereta bawah tanah, plus tramway.

Sebenarnya Jakarta hampir memiliki itu semua. Cuma, sepertinya pemerintah Jakarta tidak memfokuskan pada transportasi publik ini. Busway misalnya, banyak warga yang beralih ke busway dan menyimpan mobil pribadinya di rumahnya. Namun ketidakdisiplinan warga dan keengganan ‘turun tangan’ pemerintah menjadikan busway tidak lagi nyaman lagi.

Bahkan, ada yang lebih menarik dari busway yaitu kereta listrik yang sekarang dinamakan Commuter Line. Banyak warga yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya menggunakan alat transportasi ini. Cobalah lihat di sejumlah parkiran stasiun kereta api, banyak mobil atau motor yang dipakir dari pagi hingga sore. Para pekerja di Jakarta yang enggan bermacet-macetan memilih meninggalkan kendaraan pribadinya di stasiun dan kemudian menggunakan Commuter Line.

Menurut saya, jika semua alat transportasi publik benar-benar diperhatikan dan diperbaiki, kenyamanan bertansportasi di Jakarta menjadi nyata. Macet memang masih ada. Tetapi paling tidak pilihan alat transportasi dan kebutuhan perjalanan yang cepat dan tepat waktu akan hadir dan bisa dinikmati. Kepedulian akan alat transportasi ini sudah ditunjukan Jokowi di Solo. Dan benar, contoh nyata bisa dipercaya.

Tumbangnya Kekuatan Parpol

Sejumlah partai politik bersatu untuk mengusung Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada pilkada DKI Jakarta 2007 adalah musuh utama Fauzi Bowo, pada pilkada putaran kedua ini merapat ke kubu Foke Nara. Ungkapan, tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik dan yang abadi adalah kepentingan, ini bisa dilihat dari Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2007 dan 2012.

Saya percaya bahwa semua mesin partai politik (parpol) pengusung Foke-Nara sudah bekerja dengan sangat baik. Namun, pemilih utama pilkada adalah seluruh warga Jakarta dan bukan warga parpol. Artinya, sehebat apapun kekuatan partai, namun jika calon kurang mumpuni dan yang terpenting pesan parpol tidak sampai kepada publik, maka hasilnya tidak memuaskan.

Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi-Ahok tidak terlepas dari ketokohan yang dimilikinya. Bisa dikatakan, ketokohan mengungguli kekuatan parpol. Jokowi berkali-kali mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga. Terakhir, sehari sebelum pencoblosan (19/9/2012) Jokowi mendapatkan penghargaan Soegeng Sarjadi Awards on Good Governance ke III dari Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) sebagai Inspirasi Pemberdayaan Masyarakat dalam jabatannya sebagai Walikota Solo.

Kekuatan Sosial Media

Memang tidak aturan yang mengikat tentang kampanye di sosial media (sosmed). Hingga beberapa jam sebelum pencoblosan masih banyak akun yang mengajak untuk memilih salah satu calon gubernur. Bahkan sehari sebelum pencoblosan perdebatan antara kedua kubu terus memanas.

Misalnya, Ulil Absar-Abdalla pada akun @ulil sebagai pendukung Foke-Nara terus menyuarakan semua kebaikan yang ada pada Foke. Sementara Zuhairi Misrawi yang memiliki akun @zuhairimisrawi yang pendukung Jokowi tidak mau kalah dan terus mengungkapkan tentang perubahan Jakarta Baru yang diusung jagoannya.

Belum lagi akun pseudonym seperti akun @TrioMacan2000 yang selalu menyerang Jokowi dengan mengungkapkan semua kekuarangan Jokowi. Namun, TrioMacan2000 bukan tanpa lawan, sebab akun @KartikaDjoemadi selalu menangkal akan tuduhan yang ditujukan kepada Jokowi tersebut. Twitwar atau perang twit selalu terjadi pada pilkada DKI Jakarta kali ini.

Dari perang twit atau perang argumen dan berita di Facebook yang bisa kita simak, kita bisa belajar akan demokrasi yang sesungguhnya. Bahkan perang itu begitu nyata di sosial media. Siapa memilih siapa tidak lagi menjadi hal yang tabu. Bahkan, meski seseorang bukan sebagai tim sukses salah satu calon, ia dengan bebas menyuarakan dan mengajak para pengguna sosmed untuk memilih jagoannya.

Dan akhirnya Jakarta akan memiliki Gubernur Baru. Semoga Jokowi yang akan memimpin Jakarta dapat mengemban amanah dengan sebaik mungkin. 

0 komentar:

Posting Komentar