Saya selalu menghindari naik kereta tujuan Rangkasbitung di
sabtu sore. Penuhnya bukan main. Tak ada ruang untuk bergerak. Jika pun luang
dipastikan jika naik kereta itu bukan dari Jakarta Kota atau Tanah Abang tidak
akan dapat tempat duduk hingga sejam atau bahkan dua jam di perjalanan itu.
Yang membuat tambah tidak nyaman adalah ruangan kereta atau
gerbong itu pekat dengan asap rokok. Orang dengan bebas menghisap rokok dimana
saja di dalam gerbong, meski larangan merokok sudah tertempel di dinding
gerbong. Tidak digubris. Akhirnya banyak juga yang menggunakan masker di dalam
kereta dan umumnya adalah wanita.
Hampir setiap sore kereta api seperti ini terlebih di sabtu sore. Photo: lurvely.com |
Kereta yang kami tumpangi memang kereta ekonomi jurusan
Jakarta Kota-Rangkasbitung. Mayoritas para penumpang itu adalah orang-orang yang
bekerja di Jakarta dan pulang ke kampung halaman setiap akhir pekan atau sabtu
sore. Beberapa stasiun yang banyak menurunkan penumpangnya adalah Parung
panjang, Tigaraksa dan Rangkasbitung.
Kereta langsam itu memang kereta rakyat. Jakarta-Rangkasbitung tiketnya sebesar Rp. 2.000 atau Kereta Rangkas Jaya dengan tujuan yang sama tiketnya sebesar Rp.4.000. Murah sekali. Dan hampir segalanya
ada di dalam kereta. Para pedagang pun meraih keuntungan dagangannya di akhir
pekan. Boring (20thn) misalnya. Ia mengaku di akhir pekan sudah dipastikan tahu
gorang yang dijajakannya habis.
Seperti sore itu, Boring duduk di samping saya setelah dagangannya habis dan bercerita
ketertarikannya untuk berdagang sejak ia mengenyam sekolah kelas 3 SMA. Sambil memegang
hape di tangan kirinya dan sebatang rokok di tangan kanannya ia mengatakan
bahwa ia sangat menikmati pekerjaannya menjual tahu goreng. “Sudah tiga tahun
saya berjualan tahu dan saya senang,” ujarnya kepada saya.
Dalam sehari, menurut Boring, jika beruntung ia bisa
mengantongi sebesar 180 ribu rupiah. “Modalnya sekitar 80 ribu,” tambahnya. Dalam
satu rangkaian kereta penjual tahu saja bisa mencapai 20 orang lebih. Ia mengambil
tahu dari bosnya yang tinggal di Muara Ciujung sekitar satu kilometer dari
stasiun Rangkasbitung.
Bukan hanya Boring dan para penjual tahu yang mengeruk
keuntungan dengan adanya kereta langsam itu. Pedagang asongan lainnya pun begitu,
seperti pedagang minuman (ada yang dingin dan yang panas), pedagang donat, pedagang nasi uduk, pedagang gorangan, pedagang sendal, pedagang ikat pinggang, pedagang kaos, pedagang jaket, dan
masih banyak lagi yang penting layak dijual di dalam gerbong.
Presiden Soekarno di Stasiun Rangkasbitung. Photo: rosodaras.wordpress.com |
Kereta langsam memang seperti sebuah kehidupan. Ada pertemuan dengan rekan segerbong yang setiap harinya menggunakan jasa transportasi termurah itu. Ada yang sebelum naik kereta sudah janjian akan naik di gerbong ketiga dari belakang, misalnya. Seperti sore itu, sekelompok orang yang sudah saling mengenal bermain kartu di dalam gerbong. Mereka tertawa riang.
Kereta bagi saya adalah transportasi yang bisa diandalkan. Sebab
selain murah ia tidak akan kena macet. Kecuali jika jadwal kereta berubah secara tiba-tiba karena adanya gangguan salah satu kereta di tengah jalan. Saya masih
berharap kereta api itu bisa lebih bersahabat lagi dengan para penumpangnya,
dengan tidak ada lagi yang merokok. Misalnya dengan armada yang diganti dengan
kereta api yang ber-ac dan tentunya dengan adanya ketegasan pengurus kereta
api. Semoga!