Senin, 30 April 2012

Kereta Kehidupan


Saya selalu menghindari naik kereta tujuan Rangkasbitung di sabtu sore. Penuhnya bukan main. Tak ada ruang untuk bergerak. Jika pun luang dipastikan jika naik kereta itu bukan dari Jakarta Kota atau Tanah Abang tidak akan dapat tempat duduk hingga sejam atau bahkan dua jam di perjalanan itu.

Yang membuat tambah tidak nyaman adalah ruangan kereta atau gerbong itu pekat dengan asap rokok. Orang dengan bebas menghisap rokok dimana saja di dalam gerbong, meski larangan merokok sudah tertempel di dinding gerbong. Tidak digubris. Akhirnya banyak juga yang menggunakan masker di dalam kereta dan umumnya adalah wanita.

Hampir setiap sore kereta api seperti ini terlebih di sabtu sore.
Photo: lurvely.com
Saya tidak paham. Mengapa para perokok itu dengan seenaknya menyalakan rokok dan menghisap tanpa merasa bersalah di tempat publik. Saya mungkin tak akan berkomentar jika para perokok itu tidak mengganggu yang lainnya yang sedang melakukan perjalanan itu.

Kereta yang kami tumpangi memang kereta ekonomi jurusan Jakarta Kota-Rangkasbitung. Mayoritas para penumpang itu adalah orang-orang yang bekerja di Jakarta dan pulang ke kampung halaman setiap akhir pekan atau sabtu sore. Beberapa stasiun yang banyak menurunkan penumpangnya adalah Parung panjang, Tigaraksa dan Rangkasbitung.

Kereta langsam itu memang kereta rakyat. Jakarta-Rangkasbitung tiketnya sebesar Rp. 2.000 atau Kereta Rangkas Jaya dengan tujuan yang sama tiketnya sebesar Rp.4.000. Murah sekali. Dan hampir segalanya ada di dalam kereta. Para pedagang pun meraih keuntungan dagangannya di akhir pekan. Boring (20thn) misalnya. Ia mengaku di akhir pekan sudah dipastikan tahu gorang yang dijajakannya habis.

Seperti sore itu, Boring duduk di samping saya setelah dagangannya habis dan bercerita ketertarikannya untuk berdagang sejak ia mengenyam sekolah kelas 3 SMA. Sambil memegang hape di tangan kirinya dan sebatang rokok di tangan kanannya ia mengatakan bahwa ia sangat menikmati pekerjaannya menjual tahu goreng. “Sudah tiga tahun saya berjualan tahu dan saya senang,” ujarnya kepada saya.

Dalam sehari, menurut Boring, jika beruntung ia bisa mengantongi sebesar 180 ribu rupiah. “Modalnya sekitar 80 ribu,” tambahnya. Dalam satu rangkaian kereta penjual tahu saja bisa mencapai 20 orang lebih. Ia mengambil tahu dari bosnya yang tinggal di Muara Ciujung sekitar satu kilometer dari stasiun Rangkasbitung.

Bukan hanya Boring dan para penjual tahu yang mengeruk keuntungan dengan adanya kereta langsam itu. Pedagang asongan lainnya pun begitu, seperti pedagang minuman (ada yang dingin dan yang panas), pedagang donat, pedagang nasi uduk, pedagang gorangan, pedagang sendal, pedagang ikat pinggang, pedagang kaos, pedagang jaket, dan masih banyak lagi yang penting layak dijual di dalam gerbong.

Presiden Soekarno di Stasiun Rangkasbitung. Photo: rosodaras.wordpress.com

Kereta langsam memang seperti sebuah kehidupan. Ada pertemuan dengan rekan segerbong yang setiap harinya menggunakan jasa transportasi termurah itu. Ada yang sebelum naik kereta sudah janjian akan naik di gerbong ketiga dari belakang, misalnya. Seperti sore itu, sekelompok orang yang sudah saling mengenal bermain kartu di dalam gerbong. Mereka tertawa riang.

Kereta bagi saya adalah transportasi yang bisa diandalkan. Sebab selain murah ia tidak akan kena macet. Kecuali jika jadwal kereta berubah secara tiba-tiba karena adanya gangguan salah satu kereta di tengah jalan. Saya masih berharap kereta api itu bisa lebih bersahabat lagi dengan para penumpangnya, dengan tidak ada lagi yang merokok. Misalnya dengan armada yang diganti dengan kereta api yang ber-ac dan tentunya dengan adanya ketegasan pengurus kereta api. Semoga!

0 komentar:

Posting Komentar