Minggu, 02 Mei 2010

Anak Harapan Bangsa


Oleh: Deden Mauli Darajat

Saking istimewanya, hari anak di Turki menjadi hari nasional dan menjadi hari libur. Setiap tahunnya tanggal 23 April Pemerintah Turki merayakan hari anak. Perayaan ini merupakan sebuah ungkapan bahwa anak merupakan aset masa depan sebuah bangsa. Perayaan itu juga terlihat dari gedung-gedung sekolah yang dihias, khususnya sekolah dasar (SD) dan taman Kanak-kanak (TK) di beberapa wilayah di Turki.
Sabtu malam, 24 April 2010, puncak perayaan hari anak diselenggarakan di pusat ibu kota Ankara, di Taman Air Mancur Guven Park, Kizilay (seperti halnya Bundaran HI di Jakarta). Sore hari pukul 18.00 waktu setempat, masyarakat Turki mulai anak-anak, remaja, dewasa, bapak-bapak dan ibu-ibu hingga kakek-kakek dan nenek-nenek berduyun-duyun ke Kizilay untuk menyaksikan perayaan itu. Tak ketinggalan, beberapa mahasiswa asing, termasuk kami juga terlihat di sana.
Jalan utama ke arah pusat Kizilay pun sudah ditutup oleh polisi lalu lintas sejak sore hari. Tampak ratusan polisi lalu lintas dan petugas Satpol PP Turki, berkeliaran di Kizilay. Mereka diturunkan khusus untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para penonton. Dua ekor kuda pun digunakan untuk mengawasi hal yang tidak diinginkan. Namun, kami sempat bertanya-tanya saat saat petugas menyisir kami agar menepi ke tepi jalan yang malah bertambah jauh dari panggung perayaan atau sekitar 80 meter dari panggung rakyat itu.
Keheranan kami pun terjawab, saat petugas mempersilakan para penonton untuk masuk ke area pertunjukan. Namun sebelumnya para petugas Satpol PP memeriksa satu persatu para penonton yang masuk ke area pertunjukan. Sepertinya mereka tidak ingin kecolongan akan kejahatan atau kekacauan saat pertunjukan.
Belasan pelajar SMP dan SMA menari tarian khas Turki di panggung pertunjukan itu. Para penari sangat enerjik, senyum mereka berkembang saat beraksi. Tarian itu menggambarkan tarian pembawa kuda yang enerjik. Hemat saya, tarian itu ditujukan untuk para anak-anak dan remaja yang harus selalu enerjik dan bersemangat dalam menghadapi hidup yang penuh tantangan ini.
Tarian selesai dan disambung dengan nyanyian dari penyanyi terkenal di Turki, Ferhat Gocer . Tak tanggung-tanggung sekitar 10 lagu ia nyanyikan. Ajaibnya, semua nyanyian itu ditirukan dan dinyanyikan bersama-sama oleh para penonton dari anak-anak hingga bapak-bapak. Muka mereka sangat ceria. Ada yang menggendong anaknya di atas pundak orangtuanya agar anaknya dapat melihat pertunjukan itu. Ada juga sekelompok remaja yang membuat grup sendiri dan berjoget riang gembira.
Tidak habis sampai di sana, pawai hari anak juga menghiasi acara perayaan tahunan itu. Pawai itu dilakukan di tengah jalan yang membelah penonton. Jalan yang membelah itu sengaja dikosongkan (tentunya dijaga oleh petugas) untuk pertunjukan pawai hari anak. Berbagai jenis boneka besar, tokoh-tokoh kartun, dan alat-alat hiburan anak-anak dipertunjukan saat perayaan hari anak itu. Persis seperti pawai 17 Agustus di Kota saya, di Rangkasbitung-Banten. Yang menarik adalah di akhir pawai itu sebuah truk gandengan membagi-bagikan bola sepak dan bola basket kepada penonton.
Sebenarnya di Indonesia pun ada hari anak, tepatnya tanggal 23 Juli. Namun, hari anak di Indonesia tidak diliburkan seperti di sini. Dalam tulisan ini saya tidak ingin membedakan perayaan tentang hari anak. Sebab, di setiap Negara memiliki kekhasannya masing-masing. Bahkan, saking pentingnya anak, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa tanggal 20 November, adalah hari anak-anak sedunia. Organisasi anak di bawah PBB, yaitu UNICEF untuk pertama kali menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia pada bulan Oktober tahun 1953.
Hampir setahun lalu, saya sempat liputan di Komnas Perlindungan Anak di Jakarta. Di sana saya sempat mewawancarai anak yang putus sekolah dan mereka terpaksa bekerja demi membantu orangtuanya yang tidak mampu. Sebagian cuplikan laporan saya waktu itu di Republika, Jumat, 12 Juni 2009:
“Maryati (13 tahun) terpaksa berhenti sekolahnya saat ia menginjak kelas 3 Sekolah Dasar. Ia terpaksa bekerja untuk membantu kehidupan keluarganya. Bapaknya yang sebagai kuli bangunan dan ibunya yang bekerja sebagai penjual ikan asin, tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Maryati bekerja sebagai pengelem sepatu pada perusahan konveksi di kawasan Tanah Merah, Clincing Utara, Jakarta Utara. Ia mengaku di tempat ia bekerja tidak ada jendelanya. “Ruangan itu tertutup rapat,” kata dia. Padahal, ungkapnya, bau lem itu sangat menyengat hidung.
Jam kerja dari pagi sampai sore itu ia jalani dengan upah sebesar Rp. 200 ribu perbulan. Jika dirinya mengambil lembur, ia mendapat upah Rp 2 ribu perjam. “Saya bekerja dari hari Senin dampai Sabtu,” ungkapnya yang didampingi Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi.”
Mungkin sebenarnya masih banyak nasib seperti Maryati yang belum terungkap. Yang pasti anak-anak di bawah umur yang terpaksa bekerja atau pun menjadi anak jalanan sebagai pengamen, peminta-minta, asongan atau pun topeng monyet adalah pekerjaan terburuk dan rentan akan kejahatan. Anak-anak itu telah hilang masa kanak-kanaknya, yang seharusnya mendapatkan belaian kasihsayang dari kedua orangtuanya.
Ketua dan Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi dan Arist Merdeka Sirait, waktu itu, menyampaikan gugatan kepada pemerintah untuk bertindak tegas dalam mengakhiri bentuk-bentuk terburuk untuk anak. “Semua anak-anak di bawah usia 18 tahun harus mendapat perlindungan dari bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak,” kata Arist Merdeka Sirait waktu itu.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia secara umum untuk memperhatikan anak-anak Indonesia yang merupakan harapan bangsa kita. Kalau dulu pemuda adalah pejuang bangsa, semestinya saat ini calon pemuda yang akan menjadi pejuang bangsa benar-benar diperhatikan demi kemajuan bangsa yang jaya dan membanggakan di mata dunia.
deden_md@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar