Tepat setahun lalu saya berbuka bersama di hari pertama
puasa Ramadhan di Masjid Haji Bayram di Ankara Turki bersama teman-teman
seperjuangan. Hari ini saya berbuka puasa perdana Ramadhan di rumah di
Rangkasbitung bersama keluarga tercinta. Bagi yang tidak pernah merasakan rasa
berbuka bersama bukan dengan keluarga tercinta, tidak pernah merasakan
bagaimana bahagianya saat berbuka bersama keluarga.
Saat itu , saat saya berada di negeri antah berantah dan merasakan
berbuka puasa dengan rekan setanah air, saya sebenarnya agak sedih. Meski hal
ini sudah beberapa kali saya rasakan. Pertama kali adalah saat sekolah di
Gontor pas kelas lima mau naik kelas enam yang diwajibkan mukim. Kemudian saat
bekerja di Republika dimana saya ditugaskan meliput lebaran.
Namun saya langsung menyadari bahwa kebahagiaan itu adalah
kita sendiri yang menciptakannya. Meski tanpa kebersamaan keluarga, saya masih
bisa bahagia dengan kebersamaan bersama teman seperjuangan. Yang paling malang
adalah ketika kita hanya sendiri tanpa keluarga dan tanpa teman. Dan inilah
masa-masa perjuangan yang harus dihadapi. Tanpa itu semua kita tidak akan
menghargai bagaimana sebuah kebersamaan.
Dan ada kalimat yang kita selalu ucapakan pada bulan puasa
tahun lalu, yaitu “Bahagia itu bukan dengan apa kita berbuka puasa, bahagia itu
adalah dengan siapa kita berbuka puasa, meski hanya dengan air putih, roti dan
sop dari sebuah masjid yang memberikan hidangan berbuka puasa”.
Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta mengungkapkan kepada
mahasiswa Indonesia di Istanbul, Budy Sugandi, bahwa ia tidak pernah pulang selama belajar di
Turki bersama Komaruddin Hidayat. Mereka berdua merasakan bagaimana pahitnya
kehidupan selama belajar di Ankara. Beberapa tahun kemudian keduanya menjadi rektor,
Komaruddin memimpin UIN Jakarta selama dua periode sama halnya dengan Amin
Abdullah yang memimpin UIN Yogya selama dua periode.
Kepada saya, Pak Komaruddin mengatakan, saat adanya himpitan
kehidupan bersekolah di Turki, banyak orang yang tidak mengetahui tentang hal itu. Bahkan
saking susahnya saat kuliah di Turki beliau sempat bertanya pada dirinya
sendiri apakah sebaiknya pulang saja, namun hal itu diurungkannya. Karena menurutnya
nilai kepercayaan masyarakat akan runtuh terhadapnya saat ia menyatakan mundur
dan menyerah. Ia tetap berjuang hingga lulus dari METU Ankara.