Aku ingin bercerita tentang perahu. Perahu yang membawa
seseorang menuju pulau impiannya. Sebuah pulau dimana ia mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Dulu seingatku aku pernah menulis tentang perahu pada akun
twitterku: Sebab pada waktunya perahu mesti berlayar. Tak perlu risau dengan yang
ada. Dan akulah nakhodanya.
Tapi ini bukan tentangku. Ini tentang sebuah perahu.
Pengibaratan perahu memang banyak yang menggunakannya. Lihatlah judul novel
Perahu Kertas, dan lihat pula cover novel Rantau 1 Muara.
Ini juga bukan tentang novel-novel itu. Perahu penting
digunakan untuk menyeberangi antar pulau. Terlebih di sebuah negara yang
terdiri atas puluhan ribu pulau.
Bahkan aku masih ingat bahwa 70 persen bumi ini adalau
lautan dan hanya 30 persen daratan. Pun begitu Indonesia. Lebih banyak lautan
tinimbang daratan.
Jika sudah waktunya seseorang akan mencari penumpang yang
akan bersama-sama mengayuh perahu itu menuju tujuan yang sama. Seseorang yang
bukan hanya seorang penumpang.
Seseorang yang akan menghiasi kehidupan perahu. Menemani
perjalanan perahu yang penuh petualangan. Sebab di tengah samudera tidak
setenang di atas sungai yang dangkal.
Bahkan seseorang itu akan menggantikan untuk sementara
nakhoda jika suatu saat sakit atau kepingin istirahat. Atau kedua penghuni
perahu itu secara berkala bergantian dalam kemudikan perahu.
Jika ada penumpang baru hasil dari ikhtiar kedua pasangan,
mungkin saja setelah dewasa bisa mengemudikan itu perahu.
Mungkin pertanyaannya adalah bagaimana mendapatkan seorang
penumpang yang ingin diajak untuk berjalan bersama-sama mengarungi samudera
dengan perahu keluarga.
Tidak gampang. Juga tidak susah. Hanya butuh keberanian
untuk menyeleksi dan menentukan pilihan. Juga butuh bumbu kesabaran, jika masih
belum mendapatkannya.
Jalan yang paling mudah untuk mendapatkan itu adalah
mendekati sang pencipta perahu, samudera dan manusia. Meminta padanya, pasti
akan diberinya.
Karena hanya Ia yang bisa menenangkan kedalaman hati dan
gejolak jiwa. Hanya Dia juga yang mampu menaklukan hati semua manusia. Hati
seorang wanita.
Ohya aku pun ingat tentang film Lif of Pi. Tokoh utama dalam
film itu adalah penakluk samudera lautan. Ia bertahan melawan harimau. Ia
bertahan menaklukkan badai.
Hakikatnya si tokoh itu telah menaklukkan dirinya sendiri.
Egonya sendiri. Bahwa harimau yang ada adalah ego jahat yang ada dalam dirinya.
Jika ia mampu bertahan, ia akan selamat.
Atau kisah nyata tentang seorang utusan Tuhan yang selamat
atau diselamatkan oleh seekor ikan paus. Dimana ia dilemparkan dari perahu,
karena perahu akan oleng jika kelebihan satu orang.
Dan utusan Tuhan itu akhirnya dilemparkan dan dimakan ikan.
Disana ia berdoa kepada Tuhannya, dan melakukan penyesalan dan bertaubat. Maka
selamatlah ia.
Begitulah gambaran samudera, penuh dengan dunia hitam. Jika
malam tiba sangat pekat gelap. Di daratan mungkin masih menjumpai lampu dengan
listrik atau minyak tanah. Di lautan mana ada.
Kecuali jika bulan purnama tiba. Atau bintang-bintang
bercahaya tanpa awan yang menutupinya. Maka laut seakan terang dengan sinar-sinarnya.
Perahu adalah alat untuk menuju sebuah tujuan. Sebuah
keluarga juga sebagai alat menuju kebahagiaan.
Lihatlah para pemudik yang pulang kampung sebelum lebaran
tiba. Puncak rindu itu dapat menghapus kelelahan di jalan selama berjam-jam.
Kelelahan setibanya di kampung seakan menguap.
Orang yang mudik lupa akan letihnya perjalanan. Tidak ingat
akan banyaknya biaya yang dikeluarkan. Bahkan dengan sengaja berbagi kesenangan
hidup dengan memberi angpau.
Pemudik paham bahwa berbagi kebahagiaan adalah sumber
kebahagiaan yang paling utama. Begitulah cinta bermuara. Dengan tujuan bahagia
bersama.
Kebahagiaan akan terasa janggal jika hanya dirasakan
tunggal. Bahkan kesedihan terasa ringan jika dibagikan. Sebab ia tidak merasa
kesepian.
Bagi pemula, cukuplah perahu yang terbuat dari kayu. Sebab
perjalanan masih di pinggir lautan. Kelak jika sudah mapan mungkin bisa membeli
perahu layar, atau perahu yang tangguh.
Tangguh menerjang badai. Menerjang ombak setinggi puluhan
meter. Menerjang cuaca yang tak jelas. Mampu tetap berdiri dengan kokoh meski
selalu tergoyang ombak.
Jika engkau merasa sudah waktunya. Carilah dengan serius.
Sertakan Tuhan di dalamnya. Jika kau sudah yakin akannya. Jangan ragu dan
jangan takut.
Melajulah dengan perahu yang kau idamkan. Bacalah dengan
nama Tuhanmu agar Ia selalu menjadi Penunjuk jalan kehidupan yang sering tidak
terduga.
Ankara, 13 Agustus 2013