Rabu, 21 November 2012

Saudagar Buku dari Kabul dan Pahlawan Kecil dari Pakistan


Malala Yousavzai. Photo: thenews.com.pk
Suhu udara pagi itu tiga derajat selsius saat anak-anak bermain-main di lapangan sekolah sebelum pelajaran dimulai. Anak-anak itu seakan tak merasakan dingin karena saking senangnya bisa bermain dengan teman-temannya. Bahkan salah satu murid ada yang melepaskan jaketnya saat ia mau bermain bola.

Di lapangan itu berkumpul bermacam-macam anak dari berbagai negara. Mulai dari Asia hingga Afrika. Kebanyakan mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris, namun sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa Turki. Maklum, sekolah ini adalah sekolah internasional milik Pakistan. Nama sekolaknya, Pakistan Embassy International Study Group (PEISG).

PEISG merupakan salah satu sekolah internasional yang ada di Ankara, Turki. Sekolah internasional lainnya bermacam-macam, ada sekolah Amerika, Inggris, Perancis dan sebagainya. Tingkat sekolah di PEISG dimulai dari TK hingga SMA.

Pagi itu saya mengantarkan putera dan puteri salah satu staf KBRI. Karena di Turki belum ada sekolah Indonesia, seperti di Mesir, Belanda, Arab Saudi dan negara lainnya yang sudah ada sekolah Indonesianya. Anak-anak Indonesia lainnya ada yang disekolahkan di sekolah Amerika, sekolah Perancis dan lain-lain, sesuka orangtuanya.

Menurut kabar, PEISG merupakan sekolah yang termasuk paling murah diantara sekolah internasional lainnya di Turki. Padahal di PEISG untuk biaya sekolah seorang anak setingkat SD dalam setahun harus mengeluarkan sekitar 5.000 euro.

Sekolah yang memiliki semua perlengkapan pendidikan itu ternyata berbeda jauh dengan kenyataan yang ada di Pakistan sendiri. Baru-baru ini saya membaca berita tentang Malala Yousavzai, aktivis pendidikan usia remaja di Pakistan. Tapi saya lebih suke menyebutnya sebagai pahlawan pendidikan. Karena dia sudah berjuang sedemikian rupa.

Melalui Blog Malala menulis kisah bagaimana dia kesusahan untuk belajar di kelasnya. Ia menyamarkan namanya dalam tulisan di blog itu. Banyak repons positif dari internasional tentang gadis kecil bernyali besar ini. Mereka mendukung Malala.

Sayangnya usaha Malala itu diketahui oleh Taliban. Pihak Taliban tidak menyukainya. Taliban merencanakan pembunuhan. Dan pada 9 Oktober 2012 Malal ditembak Taliban di kepala dan leher. Malala dilarikan ke rumah sakit. Sampai saat ini Taliban masih menginginkan untuk membunuh Malala dan ayahnya Ziauddin.

Gadis yang lahir pada tahun 1997 itu menulis di blog BBC dengan nama samaran. Ia menuliskan bagaimana Taliban mengancam anak-anak untuk menyenyam pendidikan di Pakistan, terutama anak perempuan. Ia mengeritik kekejaman Taliban. Ia menjadi demikian karena ayahnya tak ingin anak-anak di Pakistan mendapatkan pendidikan.

Waktu saya melakukan riset untuk tesis di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat datang ke pameran buku di Senayan. Saya membeli sejumlah buku, baik untuk riset saya maupun bacaan ringan seperti novel dan mendapatkan novel berjudul Saudagar Buku dari Kabul.
Gambar: http://loonilicious.multiply.com

Saya sempatkan baca buku di dalam bus saat terjebak kemacetan di ibukota Jakarta. Sampai saya tersadar bahwa bus yang saya tumpangi sudah hampir sampai dan saya batasi lembaran terakhir dengan sebuah kartu nama. Atau saya membaca itu novel dimana saja saat ada waktu senggang.

Novel yang ditulis oleh jurnalis Norwegia itu bercerita tentang bagaimana perjuangan penjual buku di Kabul, ibukota Afganistan. Sang penjual buku harus hati-hati menyimpan jualannya. Ia mesti tahu mana yang harus dipajang dan mana yang harus disimpan. Sebab Taliban sangat anti dengan buku-buku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan sangat anti dengan kemodernan.

Asne Seierstad menulis seperti halnya laporan berita yang mengalir dan renyah. Selain bercerita tentang susahnya menjual buku yang bagus, di Afganistan juga kaum perempuan susah mendapatkan haknya. Jangankan belajar, menentukan jalan hidupnya saja susah. Otoritas semuanya terletak pada laki-laki dan kepala keluarga.

Di novel itu dijelaskan bahwa perempuan hanya cukup di dapur, sumur dan kasur. Begitu kisah di Kabul, dimana kekuasaan terkontrol oleh Taliban. Taliban tidak mau rakyat Afganistan pintar-pintar dan perempuan-perempuan harus menjadi budak yang bisa diapa-apakan. Astaghfirullah.

Saya tidak mengerti mengapa hak dasar manusia untuk bisa membaca, menulis, belajar, dan mendapatkan pendidikan sangat sulit didapat di negara yang mayoritas muslim itu. Dan ternyata Afganistan dan Pakistan sama keadaannya tentang pendidikan. Mereka ‘terpenjara’ oleh keinginan Taliban.

Dan keriangan anak-anak kecil seperti di sekolah internasional PEISG pagi itu sangat jauh dari kenyataan yang ada, khusunya di Pakistan dan di Afganistan. Padahal perintah Tuhan melalui utusanNya adalah mencari ilmu itu kewajiban bagi seorang muslim baik lelaki maupun perempuan. Ini juga diperkuat dengan ayat yang pertama kali turun ke dunia adalah Iqra!, Bacalah! Belajarlah.

0 komentar:

Posting Komentar