Malala Yousavzai. Photo: thenews.com.pk |
Di lapangan itu berkumpul bermacam-macam anak dari
berbagai negara. Mulai dari Asia hingga Afrika. Kebanyakan mereka bercakap-cakap
menggunakan bahasa Inggris, namun sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa
Turki. Maklum, sekolah ini adalah sekolah internasional milik Pakistan. Nama
sekolaknya, Pakistan Embassy International Study Group (PEISG).
PEISG merupakan salah satu sekolah internasional
yang ada di Ankara, Turki. Sekolah internasional lainnya bermacam-macam, ada
sekolah Amerika, Inggris, Perancis dan sebagainya. Tingkat sekolah di PEISG
dimulai dari TK hingga SMA.
Pagi itu saya mengantarkan putera dan puteri salah
satu staf KBRI. Karena di Turki belum ada sekolah Indonesia, seperti di Mesir,
Belanda, Arab Saudi dan negara lainnya yang sudah ada sekolah Indonesianya. Anak-anak
Indonesia lainnya ada yang disekolahkan di sekolah Amerika, sekolah Perancis
dan lain-lain, sesuka orangtuanya.
Menurut kabar, PEISG merupakan sekolah yang termasuk
paling murah diantara sekolah internasional lainnya di Turki. Padahal di PEISG untuk
biaya sekolah seorang anak setingkat SD dalam setahun harus mengeluarkan
sekitar 5.000 euro.
Sekolah yang memiliki semua perlengkapan pendidikan
itu ternyata berbeda jauh dengan kenyataan yang ada di Pakistan sendiri. Baru-baru
ini saya membaca berita tentang Malala Yousavzai, aktivis pendidikan usia
remaja di Pakistan. Tapi saya lebih suke menyebutnya sebagai pahlawan
pendidikan. Karena dia sudah berjuang sedemikian rupa.
Melalui Blog Malala menulis kisah bagaimana dia
kesusahan untuk belajar di kelasnya. Ia menyamarkan namanya dalam tulisan di
blog itu. Banyak repons positif dari internasional tentang gadis kecil bernyali
besar ini. Mereka mendukung Malala.
Sayangnya usaha Malala itu diketahui oleh Taliban. Pihak
Taliban tidak menyukainya. Taliban merencanakan pembunuhan. Dan pada 9 Oktober
2012 Malal ditembak Taliban di kepala dan leher. Malala dilarikan ke rumah
sakit. Sampai saat ini Taliban masih menginginkan untuk membunuh Malala dan
ayahnya Ziauddin.
Gadis yang lahir pada tahun 1997 itu menulis di blog
BBC dengan nama samaran. Ia menuliskan bagaimana Taliban mengancam anak-anak
untuk menyenyam pendidikan di Pakistan, terutama anak perempuan. Ia mengeritik
kekejaman Taliban. Ia menjadi demikian karena ayahnya tak ingin anak-anak di
Pakistan mendapatkan pendidikan.
Waktu saya melakukan riset untuk tesis di Jakarta
beberapa waktu lalu, saya sempat datang ke pameran buku di Senayan. Saya
membeli sejumlah buku, baik untuk riset saya maupun bacaan ringan seperti novel
dan mendapatkan novel berjudul Saudagar Buku dari Kabul.
Gambar: http://loonilicious.multiply.com |
Saya sempatkan baca buku di dalam bus saat terjebak
kemacetan di ibukota Jakarta. Sampai saya tersadar bahwa bus yang saya tumpangi
sudah hampir sampai dan saya batasi lembaran terakhir dengan sebuah kartu nama.
Atau saya membaca itu novel dimana saja saat ada waktu senggang.
Novel yang ditulis oleh jurnalis Norwegia itu
bercerita tentang bagaimana perjuangan penjual buku di Kabul, ibukota
Afganistan. Sang penjual buku harus hati-hati menyimpan jualannya. Ia mesti
tahu mana yang harus dipajang dan mana yang harus disimpan. Sebab Taliban
sangat anti dengan buku-buku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan sangat
anti dengan kemodernan.
Asne Seierstad menulis seperti halnya laporan berita
yang mengalir dan renyah. Selain bercerita tentang susahnya menjual buku yang
bagus, di Afganistan juga kaum perempuan susah mendapatkan haknya. Jangankan
belajar, menentukan jalan hidupnya saja susah. Otoritas semuanya terletak pada
laki-laki dan kepala keluarga.
Di novel itu dijelaskan bahwa perempuan hanya cukup
di dapur, sumur dan kasur. Begitu kisah di Kabul, dimana kekuasaan terkontrol
oleh Taliban. Taliban tidak mau rakyat Afganistan pintar-pintar dan
perempuan-perempuan harus menjadi budak yang bisa diapa-apakan. Astaghfirullah.
Saya tidak mengerti mengapa hak dasar manusia untuk
bisa membaca, menulis, belajar, dan mendapatkan pendidikan sangat sulit didapat
di negara yang mayoritas muslim itu. Dan ternyata Afganistan dan Pakistan sama keadaannya
tentang pendidikan. Mereka ‘terpenjara’ oleh keinginan Taliban.
Dan keriangan anak-anak kecil seperti di sekolah
internasional PEISG pagi itu sangat jauh dari kenyataan yang ada, khusunya di
Pakistan dan di Afganistan. Padahal perintah Tuhan melalui utusanNya adalah mencari ilmu itu
kewajiban bagi seorang muslim baik lelaki maupun perempuan. Ini juga diperkuat
dengan ayat yang pertama kali turun ke dunia adalah Iqra!, Bacalah! Belajarlah.
0 komentar:
Posting Komentar