(Disampaikan pada
Kajian Ibu-ibu Darma Wanita Persatuan KBRI Ankara, Turki, Rabu, 5 Oktober 2011)
Oleh Deden Mauli
Darajat
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah SWT yang telah memberikan berbagai nikmatNya kepada kita yang tak pernah
dapat kita hitung. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah mencerahkan manusia dari berbagai macam kejahiliyahan.
Beberapa waktu lalu saya dapat
sms dari Mbak Bintari untuk mengisi pengajian atau lebih suka saya sebut
kajian, karena kita sama-sama mengkaji tentang keislaman bersama ibu-ibu DWP
KBRI Ankara. Dalam pesan itu pula saya diharapkan dapat menyampaikan tentang
Idul Adha. Baiklah.
Suatu hari di sebuah kota di Turki
diadakan sebuah pesta besar dan sang tuan rumah mengundang Nasruddin Hoja. Hoja
datang dengan pakaian seadanya. Kedatangannya tidak begitu ditanggapi oleh tuan
rumah dan para tamu undangan lainnya, sebab ia menggunakan pakaian a la
kadarnya.
Ia pun kemudian kembali ke
rumahnya dan mengganti pakaiannya dengan yang mewah. Kedatangannya kembali ke
pesta itu disambut hangat dan disajikan untuknya makanan yang lezat nan nikmat.
Dengan halus Hoja itu mengatakan sembari menyindir yang hadir di sana, “Wahai
baju yang mewah, makanlah makanan yang lezat ini,” ujarnya.
Dalam kisah ini Nasruddin ingin
mengatakan pada kita bahwa, manusia pada hakikatnya hanya melihat dari apa yang
dikenakan. Tapi tidak melihat siapa sesungguhnya orang itu. Hal ini senada
dengan Hadits Nabi Muhammad SAW yang bersabda, Sesunguhnya Allah tidak melihat
dari bentuk kalian, dari kepemilikan kalian, tetapi Allah hanya melihat kepada
hati kalian.
Baiklah mari kita bahas tentang
Idul Adha. Idul secara bahasa artinya kembali, sementara Adha adalah binatang
yang dikurbankan. Atau sering juga kita menyebutnya sebagai Idul Kurban. Kurban
sendiri artinya secara bahasa adalah dekat. Dengan kata lain idul Adha maupun
idul kurban adalah sarana untuk manusia agar dapat mendekatkan kembali kepada
Sang Khaliq.
Sejarah Idul Adha adalah sejarah
yang berkaitan dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kisah tentang pengorbanan
orang tua (Nabi Ibrahim) yang berani menyembelih anaknya (Nabi Ismail) dapat kita
baca dalam surat Ash-Shaffat [37] ayat 100-111.
Singkat kisah dalam ayat-ayat di
atas adalah, suatu ketika Nabi Ibrahim bermimpi bahwa ia menyembelih anaknya. Awalnya
Ibrahim ragu akan mimpi itu, namun setelah beberapa kemudian ia mimpi hal yang
sama, maka ia yakin bahwa mimpi itu adalah perintah langsung dari Allah SWT.
Ibrahim pun kemudian mengisahkan
mimpinya kepada istrinya dan anaknya Ismail. Ismail pun menjawab dengan penuh
keyakinan, “Jika itu perintah Allah maka mari kita lakukan, Ayah,” ujarnya. Keesokan
harinya Ismail berangkat ke tempat yang sudah ditentukan.
Saat penyembelihan akan dilakukan
dengan sangat cepat Ismail digantikan dengan binatang kurban yang bagus, sehat,
putih dan bersih. Dan selamatlah Ismail dari penyembelihan. Maka pada saat itu
para malaikat bertakbir kemudian Ibrahim pun meneruskannya dengan tahlil dan
tahmid. Allahuakbar, Allahuakbar,
Allahuakbar, Lailahaillalah, Allahuakbar, Allahuakbar, Walillahilhamdu.
Konon kabar binatang kurban yang
menggantikan Nabi Ismail adalah binatang kurban yang digunakan oleh Habil
puteranya Nabi Adam AS. Pada saat itu Nabi Adam meminta kedua anaknya untuk
berkurban. Habil berkurban dengan hewan yang terbaik sementara Qabil dengan
hewan yang seadanya. Selain itu Habil berkurban karena Allah semata sementara Qabil
karena ingin mengalahkan saudaranya. Maka Allah menerima kurban yang diberikan
oleh Habil.
Sejak zaman baheula sejarah
berkurban sudah banyak diperaktekkan. Di Mesir kuno, misalnya, setiap tahun diadakan
kontes kecantikan dan yang menjadi juaranya ditenggelamkan ke dalam sungai Nil
sebagai sesaji untuk para dewa.
Di Mesotopamia (Irak) yang
dijadikan sesaji adalah bayi. Di Aztek, pemuka agama yang dijadikan sesaji untuk
para dewa. Jadi, digantikannya Nabi Ismail dengan hewan kurban adalah revolusi
peradaban manusia pada saat itu.
Yang menarik dari kisah Nabi
Ibrahim adalah ia tidak memiliki putera hingga usia 99 tahun. Suatu ketika
sebelum memiliki anak, Ibrahim pernah berkurban karena Allah SWT dengan
menyembelih 1000 domba, 300 sapi dan 100 ekor unta. Semua orang kaget termasuk
para malaikat.
Ibrahim menjawab keheranan
orang-orang itu, bahwa yang ia kurbankan dengan ribuan hewan itu tidaklah
seberapa, bahkan jika memiliki anak lelaki maka ia juga akan mengurbankannya. Maka
setelah 99 tahun ia tidak memiliki anak, lahirlah puteranya dan diberikan nama
Ismail yang artinya, Allah telah Mendengar doa nabi Ibrahim. Maka ketika mimpi
menyembelih anaknya, Ibrahim tanpa ragu melakukannya tentu dengan seizin
Ismail.
Ayat yang mengisahkan tentang
Ibrahim dan anaknya Ismail menggambarkan kejujuran kedua Nabi itu dalam
melaksanakan ibadah kurban, indikatornya adalah:
Pertama, Al-Istijabah
alfauriyah yaitu kesigapan dalam melaksanakan perintah Allah SWT, meski ia
harus menyembelih anak tercintanya. Ini juga terlihat dari perintah memalui
mimpi yang langsung ia laksanakan.
Kedua, Shidqu
al-Istislam, yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Dalam hal
ini Ibrahim tak ragu untuk menyembelih anaknya Ismail. Inilah hakikat kehambaan
yang dipancarkan oleh Ibrahim dan Ismail.
Ayat lainnya yang memerintahkan
untuk berkurban adalah surat Al-Kautsar [108] ayat 1-3. Yang artinya, sungguh,
Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat
dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh,
orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Dari ayat ini kita dapat memahami
bahwa Allah sudah memberikan begitu banyak nikmat. Maka dengan banyak nikmat
yang kita rasakan itu, tidak ada alasan lagi untuk kita untuk tidak beribadah
sholat dan berkurban. Bahkan, jika pohon dijadikan sebagai pena dan lautan
sebagai tintanya maka tidak akan cukup kita menuliskan akan nikmat Allah di
dunia ini.
Secara khusus Allah berfirman
dalam surat Ar-Rahman [55], yakni Allah mengingatkan hamba-Nya, dengan ayat “Maka
nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.” Dalam surat Ar-Rahman ini Allah
mengulangi ayat ini sebanyak 31 kali dari 78 ayat yang ada. Pertanyaannya adalah
masihkah kita mengkufuri nikmat Allah yang tak terhingga ini? Semoga tidak.
Idul Adha memiliki tiga makna,
yaitu:
1. Ketakwaan
manusia atas perintah Allah SWT. Kurban merupakan simbol penyerahan diri
manusia secara utuh. Sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang
dicintai ayahnya.
2. Makna
sosial. Artinya bahwa sebagai manusia yang diberikan banyak kenikmatan maka
kita harus berbagi terhadap sesama manusia.
3. Makna
ketiga adalah apa yang dikurbankan adalah symbol dari sifat tamak dan kebinatangan
yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, menikam sesama rekan, dll
dll.
Selain mendekatkan diri pada
Allah SWT, berkurban juga adalah sarana kita untuk mendekatkan diri pada
manusia. Hablumminallah wa hablumminannas.
Dalam berkurban setidaknya orang yang tidak mampu untuk makan daging dapat
memakannya di hari raya Idul Kurban.
Begitupun dengan hewan yang
disembelih. Hewan memiliki nafsu tetapi tak memiliki akal. Maka yang dilakukan
hewan adalah menghancurkan hewan lainnya yang lebih lemah darinya. Saling
menikam. Sifat-sifat hewani inilah yang sebenarnya kita sembelih saat kita
berkurban.
Mengapa berkurban harus kita
lakukan setiap tahun. Karena Allah Maha Mengetahui bahwa manusia adalah
tempatnya lupa dan khilaf. Untuk itu Idul Fitri dengan puasa Ramadhannya juga
Idul Kurban dengan semangat berkurbannya sangat penting sebagai sarana kita
mendekatkan diri pada Allah SWT sekaligus mendekatkan diri pada sesama manusia.
Hikmah dari Idul Adha adalah,
Allah SWT menjadi muara awal dan akhir kehidupan. Manusia adalah makhluk yang
diciptakan oleh Allah di dunia ini dan akan kembali kepadaNya. Maka berkurban
adalah penyerahan diri manusia sebagai hamba yang bergantung pada Tuhannya.
Ibadah kurban juga dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW setiap Idul Adha membeli dua ekor domba yang
gemuk, bertanduk dan berbulu putih bersih. Setelah mengimami dan berkhutbah
Nabi melasanakan sendiri prosesi penyembelihan kurban itu.
Saat hewan kurban pertama
disembelih Nabi berdoa, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan ummat
Muhammad. Ketika hewan kurban kedua disembelih maka Nabi berdoa, Ya Allah
terimalah ini dari umaku yang tidak mampu berkurban. (HR. Ahmad, Ibnu Majah,
Abu Daud, At Turmudzi)
Pada hakikatnya dalam ibadah
kurban ini Allah tidak menerima darah dan daging kurban melainkan ketakwaan dan
kerikhlasannya dalam beribadah kepada Allah. Hal ini dapat kita baca dalam
surat Al-Hajj [22] ayat 37. Jadi, yang diterima dari beribadah kurban adalah
keikhlasannya.
Sebuah hadits sebagai penutup
dari kajian ini adalah, Nabi SAW bersabda, segala perbuatan tergantung pada
niatnya, dan manusia akan dinilai dari apa yang ia niatkan. Artinya bahwa semua
ibadah yang kita lakukan harus dilandasi dengan niat yang baik dan karena Allah
SWT semata. Karena Allah tidak melihat dari apa yang kita kenakan atau dari apa
yang kita miliki tetapi Allah melihat dari hati kita. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Bila ada kesahalan kata atau
tulisan ini mohon dimaafkan, karena kekurangan itu datang dari diri saya pribadi,
namun kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT.
Billahittaufik wal hidayah
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
0 komentar:
Posting Komentar