Ah, kali ini mau cerita aja. Gak lebih. Siapa sih yang gak kenal sama eyang yang
sangat fenomenal ini. Lahir di Pare-pare , Sulawesi Selatan, 75 tahun lalu ini
masih semangat berdiskusi meski waktu menunukan 23.50 malam waktu Ankara.
Tak lama beberapa waktu lalu ia juga berpidato di depan
ratusan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir dan di Aachen, Jerman. Meski di dua
tempat itu saya tidak bisa menghadirinya. Biasa terkendala doku. Dan saya masih
berharap bisa bertemu beliau kapan dan dimana saja. Siapa sih beliau ini?
Ya, betul, beliau adalah Prof. Dr-Ing. Bacharuddin Jusuf
Habibie, Presiden Republik Indonesia yang ke-3. Saya termasuk orang yang
kebetulan dan bisa dibilang beruntung bisa bertemu eyang Habibie di wisma KBRI
Ankara, kemarin malam (15/9/2011).
Saat bulan puasa lalu saya sempat menghabiskan buku yang
berjudul Ainun dan Habibie dalam waktu tidak lebih dari dua hari. Bagus ceritanya.
Dan beliau pun bercerita tentang Ainun, istrinya, pada ramah tamah malam itu. Cintanya
tak pernah habis. Ia mengungkapkan sebelum tidur ia bertahlil untuk istrinya
agar bisa bertemu di alam mimpi.
12 tahun yang lalu, saat saya menempuh studi di Pondok
Modern Darussalam Gontor, Eyang Habibie yang waktu itu menjabat Presiden datang dan
berpidato di hadapan ribuan santri. Saya bercerita tentang itu kepadanya. Saya juga
bilang kalau kami hanya bisa melihat dan mendengar saja. “Dunia ini memang
sempit,” ungkapnya kepada kami.
Karena sesi waktu itu sesi luang maka saya meminta untuk berpoto
dengannya. Sebelum berpoto saya mengatakan, “Siapa tahu..” tiba-tiba saya
kehabisan kata-kata dan Eyang Habibie meneruskannya, “Siapa tahu ketularan. Kalau
Tuhan sudah menuliskan apapun akan terjadi,” ungkapnya yang membuatku kaget, tersipu
dan bangga.
Saya bertambah kaget saat kami akan berpisah, kami
bersalaman dan bercipika-cipiki.
Ankara, Jumat, 16 September 2011.