Oleh Deden Mauli Darajat
(Disampaikan pada Pengkajian Ibu-ibu DWP KBRI Ankara, Rabu, 7 Maret 2012)
Sebenarnya saya tidak pantas membahas soal ghibah ini. Sebab, disadari atau tidak saya juga terkadang melakukan ghibah. Tetapi, karena manusia makhluk tempatnya salah dan pelupa, juga dianjurkan untuk saling mengingatkan sesama muslim, maka mari kita bersama-sama mengkaji tentang ghibah yang termasuk dalam penyakit hati ini.
Baiklah mari kita awali dengan renungan. Pernahkah kita berpikir, mengapa Allah SWT menciptakan manusia dengan dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga dan hanya satu mulut? Mungkin jawabannya adalah karena Allah ingin manusia di muka bumi ini memperbanyak melakukan sesuatu yang baik dan bukan memperbanyak perkataan yang tidak baik.
Photo: ihaqishop.com |
Rasullullah SAW menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 11-12 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
QS. 49 ayat 12 artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahanorang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Dari hadist dan ayat di atas kita mengambil pelajaran bahwa ghibah adalah menyebut seseorang yang tidak disukainya. Bahkan, dalam al-Quran menyebutkan bahwa orang yang berghibah seperti orang yang makan daging yang sudah mati alias bangkai.
Suatu ketika saat Muhammad SAW dalam perjalanan Isra Mi’raj, sempat melihat pemandangan mengerikan. ”Aku diperlihatkan orang yang mencakar-cakar mukanya sendiri dengan kuku-kuku tajam mereka.” Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada Malaikat Jibril. ”Wahai Jibril siapakah mereka itu?” Malaikat Jibril menjawab, ”Mereka adalah yang menggunjing orang lain dan membuka aib kehormatan dirinya.” (HR Abu Daud).
Imam Al Ghazali dalam bukunya Mensucikan Jiwa, menyebutkan beberapa faktor yang mendorong ghibah. Pertama, melampiaskan kemarahan. Kedua, menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, alias untuk bisa bergaul. Ketiga, ingin mendahului menjelek-jelekkan keadaan orang yang dikhawatirkan memandang jelek ihwalnya di sisi orang yang disegani.
Keempat, keinginan bercuci tangan dari perbuatan yang dinisbatkan kepada dirinya. Kelima, ingin membanggakan diri. Mengangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Keenam, kedengkian. Ketujuh, bermain-main, senda gurau dan mengisi waktu kosong dengan lelucon dan akhirnya berghibah. Kedelapan, melecehkan dan merendahkan orang lain demi untuk menghinakannya. Penyebabnya adalah sombong dan menganggap kecil orang lain.
Macam-macam ghibah ada beberapa macam, yaitu, pertama, ghibah dengan perkataan. Kedua, ghibah dengan isyarat dengan mimik muka. Ketiga, ghibah dengan menirukan kekurangan seseorang.
Dalam prakteknya, ghibah itu menyinggung beberapa hal. Pertama, kekurangan secara fisik. Kedua, pekerjaan. Meski sebenarnya pekerjaan itu halal namun kadang dipergunjingkan. Ketiga adalah keluarga. Dan macam-macam yang lainnya.
Kita juga bisa mencegah untuk melakukan ghibah. Ada beberapa hal yang bisa mencegah untuk melakukan ghibah, antara lain: Pertama, Ghibah dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Kedua, ghibah dapat membatalkan kebaikan-kebaikan di hari kiamat.
Ketiga, dapat memindahkan kebaikan-kebaikan kita kepada orang yang digunjing sebagai ganti dari kehormatan yang telah dinodainya. Jika tidak memiliki kebaikan yang bisa dialihkan, maka keburukan orang yang digunjing itu akan dialihkan kepada kita. Keempat, kita harus mempelajarilah tentang ayat Quran dan Hadits tentang ghibah niscaya lidah kita tidak akan melakuk ghibah karena takut kepada hukum Allah.
Kelima, kita merenungkan cacat diri sendiri sehingga malu jika membicarakan orang lain. Keenam, bahwa orang lain merasa sakit karena ghibah yang dilakukannya, sebagaimana dia akan merasa sakit bila orang lain menggunjingnya. Ketujuh, setiap kali mendengar selentingan, cepatlah berkata kepada diri sendiri, apakah aku mendapat manfaat atau menyeritakan kembali hal ini kepada orang lain?
Kedelapan, kita mengurangi nongkrong di tempat yang nikmat untuk bergosip. Kesembilan, kita mesti rajin membaca Al Qur'an, lalu salurkan bahan gosipmu dengan membahas sesuatu yg bermanfaat atau berdiskusi.
Pertanyaanya adakah ghibah yang diperbolehkan? Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:
Pertama, kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman
kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
Kedua, meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
Ketiga, meminta fatwa kepada mufti dengan mengatakan: “Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Keempat, memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
Kelima, ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
Keenam, menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
Kemudian, bagaimana caranya kita jika sudah berghibah dan ingin bertaubat, apakah kita mesti meminta maaf kepada orang yang kita ghibahi? Ada dua fatwa tentang hal ini. Pertama, sejumlah ulama yang menyatakan bahwa kita mesti meminta maaf langsung kepada orang yang kita ghibahi. Namun ini bisa berefek pada keretakan hubungan pertemanan.
Yang kedua adalah para ulama yang menyebutkan kita hanya cukup beristighfar sebanyak-banyaknya dan bertaubat untuk tidak mengulangi untuk berghibah lagi. Meski begitu kita juga dianjurkan untuk berdoa agar orang yang kita ghibahi dimaafkan dosa-dosanya.
Demikian pemaparan kajian kali ini. Saya meminta maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan pada kajian kali ini, karena hal itu datangnya dari saya pribadi. Jika ada kebenaran itu mutlak datangnya dari Allah SWT yang Maha Benar. Wallahu ‘alam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar